SATU tamparan keras diterima Damar di pipi kanannya saat dia meminta maaf karena gak bisa melanjutkan pernikahannya, di hadapan keluarga Amira dan mamanya sendiri. Amira jatuh pingsan karena shock pernikahannya harus batal setelah dengar alasan Damar.
Menghamili perempuan lain katanya? Di mata Amira, Damar bukan orang semacam itu. Dia baik, setia, penyayang, dan cintanya pada Amira tulus. Amira gak pernah tahu kalau badai akan datang saat hari bahagianya hampir tiba. Dia pikir semua akan berjalan baik-baik saja. Dia pikir Damar gak akan pernah ada niat buat berpaling darinya. Tapi, ternyata Amira salah.
“BERANINYA KAMU NYAKITIN ANAK SAYA? DASAR ANAK HARAM KAMU!” Dia memberi bogeman pada Damar beberapa kali dan lelaki itu sama sekali gak melawan. Malah mama dan pihak keluarga Amira yang lain yang menjauhkan Damar darinya supaya dia gak bablas melenyapkan Damar sekaligus hari ini.
Tangis Damar pecah saat mamanya memeluk dia yang jatuh duduk karena lemas dipukul berulang kali dan menangis lebih dulu sebab anaknya mendapat banyak makian dari keluarga Amira. Tapi dia tahu, ini sudah resiko Damar sebagai orang yang bersalah.
“JANGAN SEKALI-KALINYA KAMU MENGINJAKKAN KAKI KE TEMPAT INI LAGI, APA LAGI SAMPAI KETEMU SAMA MIRA! JANGAN PERNAH KAMU MUNCUL LAGI DI HADAPAN KELUARGA SAYA ATAU SAYA BUNUH KAMU. NGERTI?” Marah lelaki itu, benar-benar meledak karena Damar tega menyakiti putri sulungnya. “BUAT KAMU, MARNI! SAYA PECAT KAMU SEKARANG JUGA. BAWA ANAKMU PULANG, SAYA JIJIK LIAT MUKANYA. MENTANG-MENTANG UDAH KAYA BERTINGKAH SEENAK JIDAT. GAK INGAT WAKTU DULU KELUARGA KALIAN SUSAH, KAMI YANG SELALU BANTU. DASAR GAK TAHU DIUNTUNG!”
“Pak, sudah.” Istrinya mencoba meredakan emosi sang suami dan menyuruhnya berhenti bicara karena sudah kelewatan. Berbeda dengan suaminya yang keras dan tegas, Bu Diana orang yang baik dan sabar. Dia menyuruh Damar dan ibunya pulang supaya luka memar di beberapa wajah Damar bisa segera diobati. Tapi saat Damar meminta maaf pada wanita itu, dia cuma membalasnya dengan senyum tipis dan mengulang mengusir mereka secara halus.
Di rumah, Damar meminta maaf pada ibunya berulang kali. Sambil mengobati luka anaknya, ibunya mengangguk dengan airmata yang masih menetes. Di satu sisi dia juga kecewa pada Damar, di sisi lain sebagai seorang ibu dia sedih melihat anak laki-lakinya dikatai sebagai anak haram dan keluarganya dibilang gak tahu diuntung. Pantas sejak kedatangan Damar ke rumah, dia kelihatan berbeda. Lebih pendiam dan wajahnya murung. Sang ibu juga baru tahu kalau dia menghamili gadis lain setelah Damar mengaku di rumah keluarga Amira tadi.
Dulu, Damar memang anak hasil di luar nikah antara ibunya dan mantan pacar saat sekolah. Lelaki itu gak mau tanggung jawab dan malah menikah sama perempuan lain. Akhirnya, dia menikah dengan orang lain yang mau menerima dia dan Damar kecil dengan tulus. Sosok laki-laki dewasa yang mengajarkan Damar untuk selalu berani, bertanggung jawab, dan pantang menyerah. Sosok itu sekarang sudah pergi ke alam yang lain untuk selama-lamanya.
Keluarga Damar dulu sangat sulit, ibu dan bapak tirinya bekerja di tempat keluarga Amira untuk bertahan hidup—bahkan sampai sekarang ibunya masih setia mengabdi di keluarga Amira sebagai asisten rumah tangga walau anaknya sudah sukses di kota. Mereka memang banyak membantu, sampai-sampai rasanya gak tahu bagaimana cara membalas kebaikan keluarga Amira. Tapi sekarang dia sedih saat Papanya Amira mengungkit itu semua dan juga masa lalunya.
“Siapa namanya?” tanya ibu setelah diam cukup lama karena fokus mengobati luka-luka di tubuh sang anak. Tahu Damar yang bingung, ibunya melanjutkan, “Perempuan itu, siapa?”
“Karin, Bu. Dia anak bosnya Damar.”
“Bosmu?” Mata wanita itu melebar. “Dia udah tahu kalau kalian ….”
Damar menggeleng. “Belum, Damar ijin pulang kampung buat selesaiin masalah di sini dulu, baru nanti di Jakarta.” Dia sempat diam sebentar, kemudian melanjutkan ucapan, “Bu, nanti ibu ikut Damar ke Jakarta, ya? Kita tinggal sama-sama di sana, mulai hidup baru.”
“Terus rumah di sini gimana? Ibu gak bisa jual satu-satunya peninggalan dari bapak.”
“Gak perlu dijual, kalau misalnya kita kangen rumah kan bisa pulang ke sini. Tapi Damar gak mau ibu nanti jadi omongan karena ulah Damar. Damar gak mau ibu kenapa-napa di sini, apalagi ibu kan cuma hidup sendiri di tanah kelahiran bapak. Mau ya?” bujuknya memelas. Jujur dia khawatir, keluarga Amira sangat berpengaruh di desa ini jadi dia gak mungkin membiarkan ibunya kesusahan sendirian. “Uang buat beli rumah Damar sama Amira, nanti Damar pakai buat beli rumah di Jakarta dan ditempatin ibu.”
“Kamu masih ada simpanan lagi emangnya?”
“Soal itu ibu jangan khawatir,” lirihnya. “Sekarang ibu beres-beres pakaian dan barang yang mau dibawa pergi, buat sementara waktu sampe Damar dapat rumah yang cocok, ibu tinggal di kos Damar. Ada satu kamar di sebelah kos Damar yang kebetulan kosong, nanti Damar sewa buat ibu.”
“Terserah kamu, ibu ikut aja.”
***
Besok siangnya, Damar dan ibu sampai di kos. Damar sudah bilang sebelumnya lewat chat jadi sampai ke sini ibu tinggal istirahat aja karena kamar udah bersih dan dirapikan sama pemilik kos. Karin lagi-lagi menelpon, menanyakan apa Damar sudah sampai Jakarta atau belum. Sejak dia mendedikasikan diri sebagai calon istri Damar yang baru, Karin terlalu sering menelpon dan mengirim pesan. Kadang Damar sengaja gak buka pesannya dengan cepat, kadang dia memilih mematikan daya ponsel supaya perempuan itu gak terlalu mengganggunya.
“Saya udah sampai, sama ibu,” ucapnya tanpa ekspresi.
“Ibunya Kak Damar datang? Ih, Karin mau ketemu! Karin ke sana sekarang, ya?”
“Tapi kita baru sampai dan ibu juga lagi istirahat di kamar , nanti sore atau malam aja gimana?”
“Oke deh, nanti sekalian Karin bawain makan malam ke sana. Biar kita makan bareng,” katanya. “Oh iya, kalau Kakak mau ngomong sama papa, besok malam papa sampe Jakarta, tadi dia ngabarin aku.”
“Hm.”
“Kak Damar udah bilang sama keluarga calon istrinya Kakak? Terus reaksi mereka gimana?” Damar yang sekarang duduk di pinggir ranjang setelah membuka kancing-kancing bajunya, terdiam cukup lama sebelum akhirnya menyahut,
“Begitu, intinya saya tinggal bicara ke papa kamu besok.” Damar jelas gak mau mengingat kejadian itu lagi. Itu menyakitkan buat dia. “Udah dulu, ya? Saya mau istirahat.”
“Sebelum tidur kasih tau dulu menu kesukaan Kak Damar sama ibu, atau kalian mau dimasakin apa? Nanti biar Karin minta bibi masak.”
“Gak perlu repot-repot.”
“Ih, udah cepetan! Gak apa-apa, kok.”
Damar akhirnya menyebutkan makanan kesukaan ibunya dan juga makanan yang mau dia makan, Karin bilang oke.
Malamnya, Karin datang ke kos Damar diantar supir. Dia senang karena ibu dari lelaki itu baik dan menerimanya dengan tangan terbuka. Karin sempat takut dia akan dapat sumpah-serapah dari calon mertuanya karena sudah buat rencana pernikahan sang anak gagal. Tapi Karin lupa, mereka kan gak tahu kalau semua ini terjadi karena ulah Karin. Ibunya Damar malah minta maaf karena gara-gara kelakuan anak laki-lakinya, hidup gadis kecil kaya Karin yang baru lulus sekolah jadi rusak.
Damar lebih banyak diam dan mendengarkan ibu juga Karin yang banyak bicara satu sama lain. Meski ibu menerima, sorot matanya menunjukkan kalau dia sedih. Ibu mengharapkan Damar bisa bersama Amira yang baik hati dan menyayangi dia dan Damar dengan tulus. Tapi apa mau dikata jika takdir sudah berkata lain?
Besok malamnya, giliran Damar yang datang menemui atasan untuk membicarakan soal dia dengan Karin. Karin sudah bilang Damar akan datang ke rumah, jadi sang papa tidak ke mana-mana. Awal pertemuan malam ini berjalan seperti biasa, mereka mengobrol santai sampai di mana Damar membahas apa yang terjadi dengan dia dan Karin di malam itu. Jelas Papanya Karin marah besar dan mau memukul Damar, tetapi Karin yang duduk di sofa tunggal, langsung bergerak memeluk lelaki yang dia cintai, melindunginya supaya papa mengurungkan niat untuk melakukan sesuatu padanya.
“Ini bukan sepenuhnya salah Kak Damar, Pa. Karin juga salah. Kalau Papa mau pukul Kak Damar, Papa pukul Karin duluan aja,” ucap Karin dengan lantang, raut wajahnya sengaja dia pasang memelas supaya papa luluh.
“Karin … papamu pantas pukul saya,” lirih Damar yang sudah kelihatan pasrah dijadikan pelampiasan untuk kedua kali. Dia gak akan melawan kalau Papanya Karin mau memukulnya sampai babak belur.
“KENAPA KALIAN BISA MELAKUKAN ITU, HAH?” bentaknya. “GAK HABIS PIKIR SAYA! KARIN, JELASKAN SAMA PAPA KENAPA INI BISA TERJADI?” Karin yang masih memeluk Damar, mulai berakting menangis. “PAPA MAU KAMU JAWAB PERTANYAAN PAPA, BUKAN MENANGIS.”
“Saya yang memaksa Karin melakukannya, Pak. Maafkan saya,” kata Damar akhirnya, berbicara sesuai dengan apa yang dikatakan Karin saat itu. Dia sendiri gak ingat pasti kejadian yang sebenarnya.
“ASTAGA!” Lelaki baya itu mengusap wajahnya dengan kasar. Gak menyangka jika karyawan teladan yang dia percayai tega melakukan sesuatu yang fatal pada putri satu-satunya. “Kalau begitu saya mau kita atur waktu supaya kalian bisa menikah secepatnya. Saya takut jika Karin hamil di luar nikah dan beritanya menyebar ke mana-mana. Saya tidak mau nama keluarga saya jadi rusak karena kamu.”
“Baik, Pak.”
“Lalu gimana dengan pernikahan kamu dan calon istrimu, Damar? Kamu sudah bicara ini pada mereka?”
“Sudah, Pak. Pernikahan kami dibatalkan. Saya lebih memilih bertanggung jawab atas Karin.”
“Bagus kalau begitu. Saya tahu kamu bukan pengecut yang kabur begitu aja tanpa jejak.”
Damar hanya membalas perkataan itu dengan senyum tipis. Dia merasakan Karin memeluknya lebih erat dari tadi, tangisnya pun sudah berhenti. Perempuan berusia 19 tahun ini sekarang menyandarkan tubuh di d**a bidang Damar.
Di balik rambut pendek sebahu yang menutupi sebagian wajah, senyum Karin mengembang. Langkahnya menjadi istri Damar tinggal sebentar lagi. Dia akan memiliki Damar sepenuhnya dan berjanji gak akan membagi lelaki itu dengan siapa pun. Damar hanya miliknya.