PART 2 Kebohongan (Lagi)

1119 Kata
Arga sampai pada sore hari di sebuah rumah minimalis yang terletak di tengah-tengah perkebunan teh. Rumah yang diperuntukkan untuk Sarah tinggal ini sedikit jauh dari pemukiman warga. Meski begitu desas-desus Sarah yang menikahi adik iparnya terdengar sampai ke pegawai kebun. Membuat beberapa pegawai memilih diam karena tidak berani mengusik. "Assalamualaikum." Sarah yang pada saat itu sedang menyuapi Fabian sontak menoleh ke pintu, dia menghampiri Arga dan mencium punggung tangannya. "Waalaikum salam. Dari pabrik dulu tadi?" "Iya." Arga meletakkan kopornya dan beralih mengambil Fabian dari gendongan Sarah. Bayi sembilan bulan itu tampak tenang dan tertawa ketika Arga mendaratkan beberapa kecupan di pipi Fabian. "Jagoan Papa kok tambah gendut pipinya." Arga terus mendaratkan kecupannya di pipi gempil Fabian, membuat tangan bayi mungil itu mendarat di wajah Arga dan mendengungkan protes khas suara bayi dengan bibir mencebik karena di ciumi Arga beberapa kali. Arga segera menjauhkan dirinya sebelum Fabian menangis sambal mengerling jahil menggoda bayi itu. "Biar Bian makan dulu, Mas. Jangan di godain terus.” "Aku rindu sama Si Gembul, Sayang. Apa salah? Mana, aku yang menyuapi Bian. Tolong buatkan aku teh dan siapkan air hangat untuk mandi ya?" Sarah mengangguk meninggalkan Arga setelah menyerahkan mangkok makanan Fabian. Dengan telaten Arga menyuapi Fabian dan sesekali menciuminya. "BaaBaa." "Papa, Sayang." Ujar Arga membenarkan. Suapan terakhir selesai begitu juga teh yang dibuatkan Sarah. Sarah duduk di sofa begitu juga Arga, Sarah meraih gelas minuman Fabian dan membantu putranya minum dari sendok. "Enak ya, Sayang?" Fabian tersenyum, membuat Arga dan Sarah juga melakukan hal yang sama. "Sudah ya, kita mandi sekarang." Sarah mengelap bibir anaknya dengan tissue, lalu meraih Fabian dari gendongan Arga. "Biar Bian mandi sama aku. Sekalian." "Biar sama aku aja, Mas. Kamu buruan mandi, nanti airnya keburu dingin kan nggak enak." Arga mengangguk, tapi tak kunjung beranjak karena menghabiskan tehnya terlebih dulu. Sedangkan Sarah sudah berlalu membawa Fabian masuk ke dalam. Mata Arga menerawang, menatap rimbunan pohon teh di luar rumah dengan perasaan kacau. Dia mulai memikirkan Luna. Tidak selamanya dia akan menyembunyikan kebenaran bahwa dia menikahi sahabat istrinya. ** Luna Mas, aku malam ini tidur di rumah Papa. Pesan itu sudah di baca Arga sejak beberapa menit lalu. Juga sudah ia jawab. Arga meletakkan ponselnya di meja samping ranjang dan menatap ke sepenjuru kamar. Kamar ini tidak begitu luas. Hanya terdapat satu ranjang berukuran sedang, satu meja rias dan satu almari. "Belum tidur, Mas?" Tanya Sarah sembari mendekati suaminya. Arga tersenyum dan menepuk tempat kosong di sampingnya. "Bian sudah tidur?" "Sudah," Arga memandang wajah Sarah yang malu-malu. Tangannya terulur menyentuh dagu Sarah dan meminta menatapnya. "Kamu cantik." "Jauh lebih cantik Luna, Mas." Tangan Arga berpindah, menyentuh Bibir Sarah dan mengusapnya pelan. "Boleh aku cium kamu?" Wajah Sarah bersemu. Tidak mungkin dia menolak suaminya. Walau pernikahan ini bukan berlandasan cinta tetap saja, tujuan menikah salah satunya juga menyambung raga. "Sarah.." Manik mata Sarah yang bening menatap Arga. Meskipun Arga terlihat sama dengan Agra, tapi dua orang itu berbeda. Arga bukan Agra begitu juga sebaliknya. "Kalau aku ingin melakukan lebih. Apa boleh?" Tanya Arga dengan suara serak. Sarah tau suami sirinya itu tengah menahan gairahnya. "Tidak perlu meminta izinku, Mas. Kamu sudah sangat berhak memiliki aku." Dan di detik berikutnya, Arga menarik tengkuk Sarah dan mulai berciuman panjang sembari merasa kenikmatan surgawi. ** Suara dari ponsel cukup mengusik tidur Arga. Masih dengan mata terpejam, tangannya terulur, meraih ponselnya, tanpa melihat siapa yang menghubunginya, Arga segera mengangkatnya. "Assalamualaikum, Mas. Ih, kok baru di angkat teleponku." "Waalaikum salam. Hemm iya." Jawab Arga dengan suaranya yang serak seperti bangun tidur. "Loh, kamu masih tidur? Ini sudah jam 8 lho. Nggak ke pabrik? Nggak subuhan tadi?" Sontak mata Arga terbuka lebar. Dia melirik ke samping di mana Sarah biasanya berbaring dan tempat itu ternyata kosong, lalu Arga bangun dan memijat kepalanya yang pusing. "Oh habis ini ke pabrik. Kamu masih di rumah Papa?" "Iya. Buruan bangun, terus mandi." Ujar Luna. "Iya, Sayang." "Aku sejak semalam was-was. Kamu makannya teratur kan?" Bertepatan dengan itu pintu kamar terbuka, dan Sarah masuk. Arga segera meletakkan jari telunjuknya ke bibir meminta Sarah tidak bersuara. "Iya teratur kok. Sudah ya? Aku mau mandi." "Iya. Ya sudah aku tutup." Panggilan itu di matikan. Arga menatap Sarah yang menyodorkan handuk di depannya. "Mandi dulu. Habis itu sarapan. Nanti keburu siang, jadi mau antar Bian imunisasi kan?" "Iya jadi." Arga menerima handuk itu, Sarah berbalik ingin keluar, namun Arga segera mencekal tangannya. "Luna kemarin bertanya, kamu seakan menghindar dari dia dan teman-teman kalian." "Lebih baik seperti itu Mas, rasanya aku nggak punya muka di depan Luna dan yang lain." "Keadaan yang membuat kita seperti ini, Sar. Kamu tidak perlu menjauhi mereka," "Menikah dan tidur denganmu sama saja menjadikanku orang jahat di mata mereka jika mereka tau, Mas." "Kita ini sudah sangat berdosa membohongi Luna dan aku tidak ingin memupuk kebohongan lain." Lanjut Sarah dengan desah risau. Matanya menatap mata Arga. Menyelami mata suaminya. "Apa kamu ingin kita jujur bahwa kita diam-diam menikah di belakangnya?" "Kamu yakin? Itu akan sangat menyakitinya, Mas." "Maka dari itu lebih baik kita sama-sama diam. Dengan kamu yang tidak perlu menjauhi mereka. Kalau kamu tetap menjauhi mereka, mereka akan curiga dan mencari tau kenapa kamu menjauhi mereka.” “Hmm.. akan aku lakukan,” “Aku suka istri yang penurut. Terima kasih sudah menuruti keinginanku,” Sarah mengangguk dan tersenyum tipis, lalu wanita itu keluar kamar lebih dulu diikuti Arga setelahnya. ** Sore itu kedua sahabat Irna datang berkunjung, mereka berenang bersama di kolam renang yang ada di rumah Luna. "Gue ngerasa ada yang aneh sama Sarah." Ujar Hesti, sahabat Luna yang bertubuh jangkung dengan kulit sawo kecoklatan. "Aneh gimana?" Kali ini Firda yang menyahut, gadis bertubuh agak gempal itu memilih menyeruput orange jus kesukaannya. Kini mereka tengah duduk bersantai di gajebo setelah berenang bersama. "Semenjak Agra nggak ada, gue rasa dia jauhin kita deh." Luna yang lebih suka diam hanya mendengarkan. "Tau-tau dia sekarang mutusin pindah ke Bandung dan lost contact sama kita." Lanjut Hesti. "Ya sudah, kapan-kapan aja kita ke Bandung, datang ke rumahnya. Gue juga rindu Fabian," Ujar Luna pada akhirnya. "Sekalian gue ngasih kejutan sama suami gue gitu, dia kan kalau Jumat sampai Sabtu ada di Bandung." "Hah? Ngapain suami lo ke sana?" Tanya Firda. "Ngurusin kantor cabang. Lo tau sendiri kan sekarang tanggung jawab Arga di perusahaan dua kali lipat?" "Ya sudah deh, kapan? Jumat berangkat?" Tanya Hesti. "Deal, jumat minggu depan aja ya? Kalian ingat kan alamat rumah Sarah?" "Ingat, gue catat kok alamatnya." Ujar Firda menjawab pertanyaan Luna. "Eh, pulang yuk. Sudah sore, Hes." Ajak Firda. Luna mengerucutkan bibirnya, kesal karena dia sendiri lagi di rumah sebesar ini. "Yah jangan pulang dong. Masih jam segini," "Yee.. mangkanya buruan punya anak, jangan di tunda, biar lo nggak kesepian." Ejek Hesti dan Firda bersamaan. "Sialan!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN