1

1486 Kata
Di dunia ini siapa yang kuat, dia yang bertahan. ___ Sepasang kaki kurusnya melangkah cepat melewati jajaran manusia di sepanjang koridor. Bisik-bisik terdengar ketika ia mendongakkan kepala sesaat sebelum kembali menunduk, menyembunyikan wajah di balik surai panjangnya yang sedikit tertiup angin. Kemeja putih kusut yang dikenakannya menjadi pusat perhatian orang-orang yang berlalu lalang. Tak sedikit dari mereka yang meledakkan tawa sembari menunjuk Reiko -nama gadis itu- dengan berbagai celaan dan candaan yang memalukan.  Reiko tak melawan. Bahkan ia tak pernah memprotes. Ia hanya bisa menggigit bibir bawahnya sembari menahan tangis setiap teman-temannya -atau bukan- memandangnya remeh. Mungkin karena Reiko sedikit berbeda.  Lahir dari keluarga yang tidak harmonis; Ayah seorang pejudi dan Ibu yang kini mendekam di rumah sakit jiwa karena depresi, membuat Reiko selalu menjadi target pembullyan semenjak berita tentang keluarganya tersebar.  Ia menginjak tanah kota ini untuk menulis kehidupan baru, namun seorang teman yang tak sengaja berada di fakultas yang sama dengan Reiko, menjual aib keluarganya demi status sosial.  Lalu Reiko terkucilkan, sama seperti tahun-tahun SMA-nya.  "Rumor mengatakan dia tidak bisa berbahasa Indonesia."  Reiko berhenti di dekat gerombolan gadis yang mulai memanaskan suasana di sudut koridor. Sementara beberapa mahasiswa bersiap memasang telinga, hal yang paling menyenangkan bagi mereka adalah mendengar berita-berita baru tentang Reiko.  "Ya, ibunya yang gila itu kan berasal dari Jepang," sahut seorang gadis berambut pendek.  Reiko mengepalkan tangan. Ia tahu ibunya depresi, namun bukan berati mereka bisa menghina ibunya dan mengungkit asal-usul keluarganya.  "Kau lucu, teman. Bagaimana bisa ia masuk universitas ini jika tidak menguasai Bahasa Indonesia? Bukankah dia mahasiswi penerima beasiswa?"  "Itulah mengapa dia masuk Sastra Inggris. Pasti dia tertolong dengan nilai Bahasa Inggris-nya."  "Lalu menurutmu, kenapa dia memperhatikan kita?"  Semua tatapan sontak tertuju pada Reiko; begitu dingin dan tajam, seolah Reiko berasal dari dunia lain. Reiko tidak terkejut dan terlalu menaruh sakit hati akan perlakuan mereka. Sekalipun Reiko mengelak, para pem-bully yang tengah menunjukkan topeng simpati mereka di antara kerumunan itu akan segera bertindak sepulang kuliah nanti.  "Yap. Kurasa dia mengerti apa yang kita bicarakan. Benar, Reiko-san?"  Reiko mendesah panjang lantas melanjutkan langkah. Persetan dengan bel tanda jam kuliah akan dimulai, Reiko lebih ingin menyendiri di perpustakaan ketimbang harus bertemu mereka di kelas. ____ Tiada yang lebih menyebalkan dari tugas kelompok. Sayangnya, Reiko harus mengingat fakta bahwa dirinya adalah salah satu penerima beasiswa sehingga ia tak bisa mengabaikan suara bel masuk ataupun melewatkan kelas barang sekali. Reiko tak keberatan dengan hal itu, tetapi ia sedikit menyesalinya.  Ia tidak bisa memberontak dan bermasalah selama di lingkungan kampus dengan peraturan yang mengikat mahasiswa penerima beasiswa. Ia juga membenci segala macam tugas yang melibatkan orang banyak sehingga kini ia duduk sendirian di meja paling depan, tanpa ada satupun anggota kelompok.  Reiko menepikan rambut panjangnya ke belakang sebelum merapikan buku-bukunya, dan memasukkannya ke dalam tas. Ia tidak peduli, sungguh. Ada atau tiadanya kelompok dengan otak cerdas yang Tuhan berikan padanya, Reiko yakin bisa mengatasi masalah seorang diri.  Namun yang menjadi kesulitannya saat ini adalah teguran Dosen Pembimbing Akademiknya beberapa hari lalu. Beliau berkata tidak seharusnya Reiko menghindari hubungan sosial dengan teman-temannya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Reiko hanya terdiam kala itu, setidaknya ia telah beberapa kali mencoba berkomunikasi dengan teman-temannya walau tiada yang mengindahkannya.  Gadis itu tidak bisa mengadu kepada sang dosen. Ia terlalu takut.  "Hei, kau!"  Reiko tersentak. Bola matanya berguling ke arah seorang mahasiswi berjaket merah yang duduk dua bangku di sampingnya. Gadis itu memperhatikan Reiko dari atas ke bawah sambil menyeringai lebar. Telunjuknya mengetuk-ngetuk permukaan meja, terlihat jelas jika ia sedang merencanakan sesuatu. Namun Reiko memilih tak ambil pusing, diraihnya tas ransel cokelat dengan cepat kemudian bangkit dari posisi duduknya.  "Kau cantik, Reiko."  Reiko menahan napas. Tidak. Hentikan. Ia tidak ingin mendengar kata-kata itu lagi. Kata-kata yang menjadi alasan utama pem-bully-annya.  "Kau tahu? Kami kekurangan dua anggota dan kami ingin kau bergabung, yah setidaknya agar Ben menerina tawaran kami," kata gadis itu, tatapan matanya jatuh kepada laki-laki yang duduk dekat jendela.  "Seluruh dunia tahu dia tergila-gila padamu, Rei. Dan well, bukankah kau anak baik? Bergabunglah dengan kelompok kami."  Ya, laki-laki bernama Ben itu memang menyukai Reiko. Tetapi tidak dalam kesan yang positif. Reiko berbalik menghadap gadis itu sepenuhnya; mendekatinya. Setelah selama beberapa saat ia mengumpulkan keberanian, Reiko akhirnya berkata, "Kumohon jangan -"  Plakkk  "Kau! Apa-apaan kau, gadis SETAN!" Hening. Suasana dalam kelas mendadak hening. Rahang Reiko jatuh beberapa senti dengan matanya yang terbelalak. Apa? Untuk kali pertama dalam hidupnya, ia ditampar  seseorang? Kedua tangan Reiko gemetar hebat. Ia melirik tajam ke arah gadis tadi sambil bersiap-siap membalas tamparannya. Namun ada sesuatu yang aneh. Gadis itu memundurkan tubuhnya selangkah dengan pipi yang sudah basah. Wajahnya sarat akan ketakutan, menahan jeritan begitu ia membekap mulutnya dengan telapak tangan. "Kau! Pergi dari sini! Aku membencimu! D-dia gadis setan!" teriak gadis itu sembari berlari ke sudut ruangan, sakan baru melihat sesuatu di belakang Reiko. Kini kelas dipenuhi oleh tanda tanya dan suara bisikan. Reiko memutar kepalanya bingung ke kanan dan kiri sebelum gadis tadi kembali berteriak; "Keluar kau, sialan! Aku tidak ingin melihatmu!" --- Dalam perjalanan pulang Reiko kembali tertunduk, mengabaikan tatapan aneh ataupun bisikan-bisikan penuh celaan yang tertangkap gendang telinganya. Langit terang telah berganti gelap, lampu-lampu di setiap sudut taman Fakultas Sastra telah dinyalakan.  Dalam keremangan cahaya malam, ia terus berjalan. Setiap langkah kaki yang diambilnya menimbulkan suara berderap di tengah keheningan senyap. Ia berjalan dengan langkah pelan, namun perasaannya entah kenapa mulai tak nyaman. Perasaan cemas itu kembali menghantui, seolah terus-menerus meneror dirinya. Ia ingin pulang, membuatnya semakin mempercepat langkah kakinya. Derap demi derap langkah kakinya semakin cepat, hingga tak jarang ia hampir terjatuh karena langkahnya yang terburu-buru. Reiko tak pernah menyukai sekolah, kampus, atau apapun yang mengharuskannya beraktivitas di luar apartemennya. Ia selalu merasa bahwa kehidupan di luar kamarnya itu adalah sesuatu yang menakutinya, semuanya penuh dengan orang-orang jahat. Setahu Reiko, semua manusia di luar itu jahat, mereka selalu memandang rendah dirinya, mereka selalu berusaha mencelakainya, semuanya jahat, picik, bermuka dua. Dan Reiko sangat membenci mereka semua. Ketika tengah sibuk mengatur langkahnya yang tak beraturan karena rasa cemas yang dirasakannya, dari arah belakang dapat didengar suara motor yang melaju ke arahnya. Ia tak mempedulikannya, terus berjalan hingga ketika motor tersebut berhasil menghadang langkah kakinya. Reiko terhenti, perasaannya semakin  cemas. Mencoba menoleh ke sekelilingnya dan hanya mendapati sepi dengan cahaya remang yang berpendar di sekitarnya. Ia ingin lari, tapi orang tersebut kembali menghalangi. Lengan Reiko tercekal, menghalanginya untuk kabur. Ia semakin panik, ingin berteriak namun ia tau itu percuma. Dalam keadaan ramai pun ia tau tidak akan ada seorang pun yang mau menolongnya, apa lagi dalam keadaannya yang terpojok seperti saat ini. Oleh sebab itu Reiko sangat membenci adanya kebijakan kuliah malam, karena dia pasti selalu pulang paling akhir, dengan tujuan agar tak ada seorang mahasiswa pun yang menggagunya. Meski tak jarang masih ada saja yang berusaha mengganggunya, entah dari fakultasnya, maupun dari fakultas lain. "Tolong lepaskan aku," berusaha memberontak, namun pegangan di lengannya semakin erat hingga memebuat lengannya terasa sakit bahkan mungkin akan memar kebiruan setelahnya. "Setelah kau ikut denganku," laki-laki itu tersenyum. Namun bukan sejenis senyum yang baik, akan tetapi senyum penuh kelicikan. "Nggak mau, kumohon lepaskan aku." Reiko sedikit merintih saat rasa nyeri di pergelangan tangannya terasa akibat laki-laki itu semakin memaksanya agar ikut dengannya. "Kumohon sakit," bahkan setitik air mata telah menetes saat ia tidak kuat lagi menahan kuatnya cengkeraman laki-laki itu. "Cepat naik motorku, maka akan kulepaskan setelahnya." lagi-lagi hanya senyum iblislah yang dilihatnya saat laki-laki tersebut kembali merayunya tanpa mengendorkan cekalan tangannya pada lengannya. Ia tidak tahan lagi jika terus berlama-lama dengan laki-laki seperti ini, dan dengan penuh tekad Reiko berinisiatif menendang tulang kering laki-laki itu hingga cengkeraman pada lengannya akhirnya terlepas. "Cewek b*****t!" Spontan saat ia hendak melarikan diri laki-laki itu dengan segera menggambil segenggam rambut Reiko, membuatnya kembali merasakan pening di kepalanya saat laki-laki tersebut menarik rambutnya kuat. "Mau kabur hah?" "Lepaskan, apa salahku?" kembali menangis, kepalanya semakin terasa pening saat pria tersebut kembali menarik rambutnya kencang. "Salah lo, mau tau? Lo terlalu sok jual mahal. Emang apa susahnya jadi cewek gue? Kalo jadi cewek gue lo gak bakal di-bully lagi di kampus, tapi  sebagai gantinya..," cowok tersebut akhirnya melepaskan jambakannya pada Reiko sebelum kembali berkata tepat di belakang telinganya, "lo harus manjain gue setelahnya." PLAKK! Entah mendapat keberanian dari mana secara spontan Reiko langsung melayangkan tamparannya pada cowok kurang ajar tersebut. Dari arah belakang terdengar suara sepeda motor yang sepertinya hendak lewat, sepeda motor tersebut melaju pelan, menyorot tepat ke arah Reiko dan cowok yang menghadangnya. Tak ingin memperpanjang masalah, dengan segera Reiko memanfaatkan kesempatan itu untuk kabur dengan menendang tulang kering cowok kurang ajar tersebut untuk yang kedua kalinya. "F*ck, cewek b*****t! Awas lo ya!" Dengan cepat ia segera berlari, napasnya terengah, tapi ia tak peduli. Yang ia inginkan untuk saat ini hanya segera sampai di apartemennya. Dari arah yang berlainan sosok yang mengendarai motor tadi melajukan motornya dengan pelan, mengamati langkah lari Reiko yang tak beraturan. Hanya sekedar mengamati sebelum kemudian melajukan motornya dengan kencang. To  be Continue..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN