Bab 6

1015 Kata
Dara melihat ke gambar bestek sekilas."Bisa. Tapi enggak terlalu bagus." "Besarin, lah." "Jelek dan enggak bagus juga dari nilai estetikanya." "Biar enak loh, Ra kalau besar." "Apanya enak? Biayanya juga lebih gede, Mas. Tapi, ya terserah juga sih. Rumah-rumah kamu juga," kata Dara nada suara tinggi. "Ya udah...kan rumah-rumah aku, kenapa kamu jadi sewot. Tugas kamu cuma desain aja. Mana boleh ngelawan owner,"balas Dimas dengan nada tak kalah tinggi. "Kan dari awal aku udah enggak mau. Kamu aja yang maksa supaya aku arsiteknya. Pengen banget kan bareng aku tiap hari?" Dimas menyipitkan matanya."Iya, biar pemandangannya bagus." "Apanya?" "Pemandangannya,Dara. Pegunungan dan sawah-sawah. "Dimas menatap Dara dengan tatapan m***m, tapi Dara tidak peduli. Tatapan seperti itu sudah biasa ia dapatkan sejak kuliah dulu. Yang penting saat ini ia mengenakan pakaian sopan dan tertutup. "Badan kamu bagus loh, Ra,"kata Dimas. "Masa?" "Iya." "Bodo." Dimas langsung terdiam, kemudian memerhatikan gambar bestek lagi."Ini kamar utama enggak bisa dipindah ke atas?" Dara mendengus di dalam hati. Lalu berusaha menjawab dengan sabar,"kemarin kamu minta kamar utama di bawah." "Masa sih? Padahal lebih enak di atas loh daripada di bawah," kata Dimas yang lagi-lagi pembicaraannya ambigu sekali. "Masa? Aku lebih suka di bawah tuh. Enggak capek,"balas Dara membuat Dimas jadi deg-degan. Tapi, pikirannya langsung mengingatkan bahwa ucapan Dara bisa saja bermakna sebenarnya. Tapi, bisa juga sedang membalas ucapannya tadi. "Terus...kamu maunya gimana?" "Ya terserah kamunya aja. Kan kamu yang punya kuasa. Aku sih ngikut aja." Ucapan Dara membuat Dimas menjadi gemas,ingin melumat gadis itu sekarang juga, menindihinya dengan keras. Makanan Dara datang. "Makan dulu ya...nanti kita lanjutkan diskusinya,"kata Dimas yang diikuti dengan anggukan Dara. Mereka makan dengan hening. Tidak ada yang mengajak bicara. Dimas menatap ke arah luar yang tiba-tiba saja hujan deras."Kamu naik apa tadi?" "Taksi," jawab Dara. "Mobil kamu kemana?" tanya Dimas sambil mengakhiri makan siangnya. "Lagi males aja naik mobil. Pengen suasana baru." Dara meneguk air mineral. Gerakannya begitu seksi di antara Dimas. Pria itu sampai tercengang melihatnya. "Pulangnya mau kuantarin?" tawar Dimas. "Memangnya kamu tahu rumahku dimana?" tanya Dara dengan nada jutek. Padahal di dalam hati ia sedang berteriak bahkan sampai salto-salto saat Dimas menawarinya mengantar pulang. Dimas terkekeh."Ya kalau aku enggak tahu rumah kamu dimana, kan ada apartemenku, Ra." "Mau ngapain di sana?" tanya Dara curiga. "Main dokter-dokteran." Dimas memainkan kedua alisnya yang tebal. "Aku belum niat ganti profesi, Mas." "Kan cuma main-main." “Aku udah gede...enggak suka main-main." "Ya udah nanti main yang beneran...yang cuma orang dewasa yang bisa lakukan." "Kamu ini kenapa, sih, Mas...omongannya nyerempet ke sana terus. Kayaknya kepengen banget ya? Makanya...jangan bawel jadi cowok. Rasain enggak ada yang mau," balas Dara ceplas-ceplos. Dimas jadi malu sendiri mendengar jawaban Dara. Wanita itu ternyata cukup berani mengeluarkan kalimat-kalimat ajaib yang biasanya wanita lain akan sungkan mengatakannya."Ya namanya usaha, Ra." "Nikahlah sana...tuh kan udah ada calonnya yang namanya Namira itu." "Aku enggak ada hubungan apa-apa sama Namira. Kan kami cuma dikenalin aja. Sejak awal ketemu aku langsung bilang ke Mama kalau aku enggak mau sama Namira." Dimas menjelaskan seolah-olah Dara memang meminta klarifikasi atas hubungannya dengan Namira. Dara memekik di dalam hati. Ia cukup bahagia mendengar kabar tersebut."Padahal keliatannya Namira itu baik loh. Enggak boleh menyia-nyiakan wanita baik dan Soleha." "Kenapa jadi bahas Namira...padahal kamu cemburu kan kalau aku sama dia." Kali ini Dimas kembali menyerang Dara. Dara mencebik."Apaan sih?" Dimas mencolek dagu Dara."Iya, kan, sayang?" Dara terkekeh."Duh...sebenarnya kamu tuh yang punya perasaan sama aku. Pake panggil sayang segala." Dimas mendekatkan wajahnya ke arah Dara."Jadi, kamu enggak punya perasaan sama aku?" "Enggak!" "Yakin?" "Yakin!" "Nyesel loh...punyaku besar?" "Apanya yang besar? Coba sini lihat," kata Dara menarik tangan Dimas. "Yang besar itu...hatiku, tanggung jawabku...rasa sayangku." Dimas kembali menyerang Dara. Dara memanyunkan bibirnya atas serangan Dimas yang membuatnya tak bisa melawan lagi. "Bodo amat. Jadi gimana gambarnya...ACC enggak. Ini udah tiga kali revisi dalam seminggu ini loh, Mas." Dimas terdiam, memikirkan desainnya lagi."Ya udah...gini deh, supaya kamu nyaman. Kamu kan udah survey juga ke lokasi ya. Kamu desain sesuai dengan hati kamu, seolah-olah itu akan menjadi rumah kamu. Gimana?" "Enggak mau,ah. Nanti revisi lagi. Capek mikirnya loh, Mas." "Loh...kamu punya pikiran, Ra?" "Punya...tapi di dengkul! Puas?" balas Dara ketus. Dimas tertawa."Oke. Aku janji enggak bakalan revisi lagi. Tapi, kamu juga desainnya sesuai dengan hati kamu ya. Aku percayakan ke kamu." "Oke. Gitu dong...jadi kan urusan kita enak." Dara menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi.    "Aku enggak ngerasa enak," balas Dimas. “Sini aku enakin...." Mata Dimas terbelalak. “Mau!” Dara tertawa."m***m!" "Kamu juga!" balas Dimas sambil mencolek hidung Dara. Tanpa sengaja mata mereka bertemu, keduanya jadi salah tingkah. "Pulang yuk," kata Dimas. Dara melihat ke arah luar."Masih hujan, Mas. Kamu kan juga...mau balik ke kantor." "Kamu ke kantor juga?" Dara menggeleng."Enggak. Aku pulang ke rumah sih." "Loh kerjaan kamu gimana?" "Kan aku punya usaha sendiri bareng temen-temen aku. Jadi, ya enggak terikat jam kantor juga." Dimas mengangguk-angguk."Ya udah kuantar sekarang aja. Kan aku juga naik mobil. Tuh di depan disediain payung sama satpamnya." " Ya udah deh." Dara memakai tasnya dan membiarkan Dimas mengeluarkan uang untuk membayar makanan mereka. Mereka dipayungi oleh satpam sampai ke dalam mobil. Dimas melajukan mobilnya dengan pelan setelah Dara memberi tahu dimana rumahnya. Selain karena berhati-hati di saat hujan, ia juga sengaja mengulur waktu agar lebih lama bersama Dara. Di dalam mobil, Dara berkali-kali menerima telpon dari Vania dan Gia. Menanyakan masalah pekerjaan. Dimas sampai penasaran sebenarnya usaha apa yang sedang sedang dijalankan oleh Dara sampai ia sesibuk itu. "Mas, itu rumahku." Dara menginstruksikan agar Dimas berbelok ke sebuah rumah minimalis bewarna abu-abu."Masuk aja, Mas ke garasi." Dimas mengangguk. Mobilnya langsung masuk ke garasi. Ia mengembuskan napas,jantungnya berdegup kencang karena sudah dipastikan dia diajak mampir di rumah Dara. "Yuk turun," ajak Dara. Dimas turun mengikuti Dara ke dalam rumahnya. Rumah Dara tidak begitu besar. Bahkan tampak depannya juga biasa saja seperti rumah-rumah minimalis pada umumnya. Namun, karena wanita itu adalah arsitek, ia mampu merubah isi rumahnya menjadi luar biasa. Elegan, simple, dan terlihat 'mahal'. "Mau minum apa, Mas?" tanya Dara yang kemudian pergi ke dapur. Dimas yang sedari tadi memandang isi rumah Dara dengan takjub, kini tersentak kaget."s**u, Ra." "s**u apa, Mas?" "s**u kamu."   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN