"Hmmmm."
Gendis bergumam di antara suara-suara racau burung yang terdengar. Di tengah matanya yang masih terkatup. Seperti biasa di setiap pagi, gadis itu menggerakkan tangannya. Mencari benda pipih persegi yang selalu ia sapa ketika pertama kali ia membuka mata. Geraknya seketika terhenti ketika tekstur yang biasa ia kenali setiap pagi mendadak berubah. Seprei lembut serta adem kini terasa... Keras, basah dan... kotor?
Perlahan Gendis memaksakan dirinya membuka mata. Bulu mata lentik itu tertepa semilir angin, menambah hawa kantuk yang berusaha ia tepis semakin menggulungnya. Jika tak bergelut dengan rasa penasaran, mungkin yang akan gadis itu lakukan adalah kembali memeluk guling dan menenggelamkan wajahnya ke sana. Namun, saat ini rasa penasaran mendobrak rasa malas yang masih menyergap.
Gendis berhasil membuka mata. Awalnya yang terlihat hanya kabut yang masih menempel di kedua matanya. Namun setelah gadis itu membuka matanya secara sempurna. Gendis terperangah. Yang ia lihat pertama kali bukanlah lampu tidur berwarna putih, atau jendela bergorden putih dengan motif bunga lili, semua benda di kamarnya tiada. Berganti dengan pohon beringin yang tampak berdiri gagah dengan akar gantung yang menjuntai dari atas yang semakin menambahkan kesan menyeramkan.
Gendis terperanjat. Gadis itu segera bangun dari tubuhnya yang semula menelungkup. Pamandangan aneh ini tak ayal membuat hawa takut kembali menyerang, membuat tubuhnya kembali mengigil. Hilang sudah kantuk yang awalnya masih menyergap. Kini gadis bertubuh mungil itu sibuk memutar pandangan ke segeala arah, mencari pembenaran bahwa dia—
“Aku mimpi lagi?”
“Haha benar, aku mimpi!”
“Apa akan ada makhluk menyeramkan itu lagi?”
“Tapi ini siang, dan-“
Suara Hentakan kaki terdengar dari arah belakang punggungnya. Gendis menoleh dan melihat dua anak lelaki yang sedang berlarian. Kedua anak itu berhenti bersamaan saat melihat Gendis duduk tepekur di atas tumpukan jerami. Ke dua anak lelaki yang mengenakan totopong, baju pangsi serta sandal terompah itu saling memandang satu sama lain. Kemudian kembali mengarahkan pandangannya ke arah Gendis. Mereka menatap aneh pada gadis yang terlihat kebingungan itu.
“Bukan mimpi. Sepertinya aku sedang ada di lokasi syuting kolosal. Ahahahah benar Di mana tempat syutingnya?” Gendis mencoba menenangkan hatinya.
Mata gendis kembali mengedar. Mencari lampu sorot, kamera, serta monitor kecil yang biasa pada sutradara pakai. Namun, sialnya sepanjang mata memandang yang ia lihat hanya pohon-pohon besar yang terasa hidup. Gendis bahkan bisa mendengar pohon tersebut seperti memperhatikannya. Sama halnya dengan dua anak yang masih berdiri terpaku dengan kedua halisnya yang menyatu.
"Kalian." Tangan Gendis bergerak, memberi isyarat memanggil.
"Kemarilah." Bukan mendekat, kedua anak tersebut justru berlari terbirit seolah mereka sedang melihat hantu.
"Cih. Kalian kira aku hantu. Kalian justru yang seperti hantu." Gendis merenggut sebal. Dia membangunkan tubuhnya dari tumpukan jerami. Kemudian menepuk pakaian juga celananya yang digelayuti oleh helaian jerami. Seolah tak cukup dengan tubuhnya, jerami itu menempel pula pada rambutnya yang kini sudah seperti rambut anak singa. Mengembang, berantakan pula!. Membuat Gendis semakin frustrasi.
"Aku ada di mana si? Kenapa akhir-akhir ini rasanya hidupku—" ucapan bernada kesal Gendis seketika terpotong saat liukan angin yang mendesau terdengar di Indra pendengaran. Rasa dingin seketika masuk ke dalam pori-pori kulitnya. Gendis mengangkat kepalanya, memandang sekelilingnya. Pohon beringin di hadapannya, pohon yang pertama kali ia lihat ketika ia membuka mata, pohon itu seolah hidup. Suara angin yang mendesau terasa seperti cara pohon itu berkomunikasi. Seketika bulu kuduk Gendis berdiri. Luar biasa, ini menyeramkan.
“Aku harus mencari tahu di mana aku sekarang. Tapi ke mana arahnya? Ke sana? Ke sana? Atau ke sana?” Gendis bertanya pada dirinya sendiri. Telunjuknya menunjuk ke segala arah.
Perjalanan di mulai. Sepanjang jalan hanya ada pohon-pohon besar berdiri gagah mengapit jalan setapak. Gadis itu terus berjalan mengikuti arah jalan setapak yang entah akan membawanya kemana.
Gendis terengah, perjalanannya terhenti saat ia merasa jalan setapak yang ia lalui tak berujung. Tak ada perbedaan, sampai di titik ini kondisi sama sepinya dengan tempat sebelumnya. Punggung tangannya menghapus titik-titik air di pelipis. Rasa kering tenggorokan membuat Gendis merasa harus menemukan air. Dengan langkah gontai, gadis itu berjalan terseok bersama rasa lelah juga haus.
Dari arah belakang, Gendis bisa mendengar samar suara ringkikan kuda, juga hentakkan kaki kuda yang terasa sedikit menggetarkan tanah. Semakin lama suara pacuan kuda itu semakin terasa dekat terdengar. Instingnya mengatakan bahwa gadis itu harus bersembunyi. Ia mengedarkan pandangan, mencari tempat perlindungan. Tatapannya tertuju pada pohon besar yang dimungkinkan dapat menutupi tubuhnya yang mungil tersebut. Dengan tenaga yang tersisa, ia menyeret langkahnya, menelungkup kan tubuhnya di bawah pohon besar.
Suara pacuan dan kuda yang meringkik kini terdengar tepat di belakang punggung Gendis yang ditutupi pohon besar. Ada tiga lelaki berseragam hitam dengan rompi berwarna kuning cerah. Salah satu di antaranya mengangkat satu tangan, mengisyaratkan untuk dua orang penunggang di belakang untuk memberhentikan kudanya.
"Aku mencium bau yang tidak biasa." Wajah sengit berompi kuning itu berujar sembari mengendus hidung ke udara. Mencari aroma yang terasa tidak lazim di Indra penciumannya.
"Apa yang kau lakukan? Kita dikejar waktu." Salah satu lelaki— berompi biru—yang tak kalah garang di belakangnya protes.
"Benar. Kau ingin darahmu dijadikan isi cawan untuk persembahannya bulan purnama?" timpal lelaki yang berada di posisi paling belakang.
Lelaki yang terlihat yakin bahwa ada aroma yang berbeda itu menghela napas kasar. Menyayangkan sekali rasanya ketika ia harusnya menemukan sesuatu justru harus menyimpan semangat berburunya karna sang raja sudah menunggu mereka di acara persembahan yang mereka sebut sebagai acara purnama suci.
"Baiklah," jawabnya setengah mendengkus. Dengan berat hati ia mengalah. Dan ketiga orang itu kembali memacu kuda mereka, melewati tempat di mana Gendis sedang menahan tubuhnya yang bergetar hebat.
“Apa tadi dia bilang. Darah? Persembahan? Astaga ada di mana aku sebenarnya?”
Kedua iris mata Gendis berembun. Tapi kemudian ia sadar bahwa yang ia harus lakukan adalah melawan. Melawan hawa takut.
"Itu tadi... Itu hanya skrip. Benar! Mereka kan sedang syuting. Hahahaha untuk apa aku takut? Toh mereka sedang berlakon. Ah Gendis, zaman sekarang mana ada orang yang memakai pakaian seperti itu kalau tidak sedang dalam acara, atau sedang dalam seni peran" ia berbicara sendiri menenangkan hatinya.
"Baiklah, yang harus kamu lakukan saat ini hanya terus berjalan. Sampai kami bertemu dengan sekelompok orang. Mencari sutradara dan bertanya 'kamu sedang di mana'. Ya... Kamu harus berjalan... Berjalan... Dan berjalan."
Gendis terus berjalan. Mengabaikan rasa lelah, haus juga tumit kakinya yang sepertinya sudah tampak bengkak. Menyusuri jalan setapak yang dikelilingi pohon-pohon besar. Akhirnya Gendis sampai di satu tempat. Mata Gendis berbinar. Melihat tempat itu ramai oleh orang-orang. Hampir saja melompat saking senangnya.
"Akhirnya... Aku bisa pulang" ucapnya dengan mata setengah basah.