Tetangga

877 Kata
Baru dua minggu Aisyah dan keluarganya tinggal di kompleks perumahan Merah Delima—perumahan elite yang terletak di pusat kota. Suasana di kompleks ini bisa dibilang tidak bersahabat, orang-orang lebih bersifat individu. Mungkin karena semua fasilitas tersedia lengkap di rumah masing-masing, sehingga mereka lupa cara bersosialisasi. “Assalamualaikum Umi, Aisyah pulang,” kata Aisyah tak seceria biasanya, namun ia berusaha untuk terlihat biasa saja di depan wanita paruh baya yang telah melahirkannya itu. “Waalaikumsalam,” sahut Umi dengan ramah, “Bagaimana sekolahnya hari ini, Syah?” “Alhamdulillah Umi,” jawab Aisyah singkat, ia tidak ingin membuat Umi cemas jika mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. “Umi, Aisyah naik ke atas dulu ya.” Aisyah berbalik dan berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Wanita paruh baya itu tersenyum melihat putrinya yang sudah semakin dewasa dan sudah bisa membuat keputusan yang membuat kedua orang tuanya bangga. Di usia muda, Aisyah telah berani memilih jalan yang tidak diminati oleh semua raja zaman sekarang. Keputusan berjilbab dan bercadar membuat mereka benar-benar bersyukur memiliki putri yang sholeha “Syah, siap-siap entar malam kita mau silaturahmi ke rumah tetangga sebelah, kebetulan ternyata sahabat lama Abi waktu mondok.” “Naam Umi,” jawab Aisyah berusaha terlihat ceria. ***   “Alex!” panggil seorang pria paruh baya. Walau Alex mendengar panggilan itu, tapi sedikit pun ia tidak berniat menjawabnya. “Alexander, berhenti atau—” kata pria itu pelan, namun mampu menghentikan langkah putra tunggalnya. “Alex, hari ini ada tamu, Papa harap kamu mau menyambut mereka bersama.”  “Saya keberatan!” “Alex, Papa mohon kali ini jangan membantah,” tegasnya dan seperti biasa, Alex tidak pernah menghiraukan ‘Ayahnya’ itu. Ralat, pria tua itu bukan lagi Ayahnya setelah insiden lima tahun lalu.   ***   Rumah bernuansa Eropa ini lebih besar dari rumah yang mereka tempati, Aisyah rasa jika ia bermain petak umpet di sini, akan sangat sulit untuk mencarinya. Begitu luas. Aisyah tersenyum kecil membayangkan hal itu. “Assalamualaikum.” Tidak perlu menunggu lama, pintu berukuran besar telah terbuka di hadapan Aisyah, Umi, dan Abi. Terlihat pria paruh baya menggunakan kemeja hitam rapi, menyambut kehadiran mereka. “Waalaikumsalam, Daud" Pria itu langsung merangkul Abi, dan mereka saling melepas rindu satu sama lain, layaknya sahabat lama yang baru berjumpa. Usai melepas rindu, kini sahabat Abinya itu menatap ramah Aisyah yang berdiri di sebelah Uminya. “Ini anak saya yang kedua, namanya Aisyah,” kata Abi memperkenalkan. Aisyah tersenyum ramah meski pada kenyataannya, senyum manisnya tidak dapat terlihat oleh pria paruh baya itu. “Ayo, sekarang kita masuk dulu.” Begitu memasuki rumah, kesan elegan akan sangat terasa. Aisyah tak menyangka akan disambut hangat di rumah semewah ini. “Sudah lama rasanya kita tidak bertemu.” “Ya ... sudah sangat lama. Begitu sulit bertemu bos tekstil,” Abi tertawa diikuti Troy yang ikut tertawa. “Bukan aku yang sulit, tapi kamu Daud. Kamu pindah tiba-tiba tanpa mengabariku,” protes Troy. “Beruntunglah Allah mempertemukan kita lagi. Aku masih tak percaya, ternyata kita sekarang bertetangga.” “Ya. Takdir Allah sangat sulit ditebak.” Keduanya lalu berbincang ringan layaknya sahabat lama yang baru saja bertemu. Bercerita banyak hal mengenai kehidupan mereka sekarang. Acara diakhiri dengan makan malam. Makan malam kali ini terasa begitu hangat dan bersahabat, tidak ada kesan perbedaan status, antara Troy yang berprofesi sebagai pemilik perusahaan tekstil terkenal di Indonesia, dengan Abi yang hanya sebagai dosen di salah satu Universitas. “Alex!” seru Troy tiba-tiba. Saat terdengar derap kaki mendekat, mata Aisyah membulat. Ia melihat sosok laki-laki yang berjalan ke arah mereka, beruntung tidak ada yang memperhatikan ekspresi Aisyah, karena sekarang semua mata tertuju pada Alexander Darwin. Laki-laki itu masih sama seperti di sekolah, datar dan tak ada ekspresi yang dapat dibaca dari wajahnya. Meski malam ini ia sedikit menyunggingkan senyum pada wajah dinginnya itu. Aisyah menunduk dalam, mencoba menyembunyikan wajahnya dari sorot mata tajam milik Alex. Aisyah berharap laki-laki itu tidak mengenalinya, sepertinya tidak. Alex mengenal jelas sorot mata biru hazel gadis ini. Meskipun ia tak mengetahui rupanya. Dan seperti biasa, tiap kali Alex melihat Aisyah, rahangnya seketika mengeras dan wajahnya merah menahan marah. Aisyah semakin menunduk dalam berharap laki-laki itu tidak melakukan sesuatu yang bisa merusak hubungan persahabatan Abinya itu.   ***   “s**l,” umpat Alex dalam hati. Ya, hanya u*****n pelan dari hatilah yang mampu ia lakukan sekarang. Karena apa? Sudah pasti karena pria tua itu mengancam akan memblokir semua ATM yang Alex miliki jika malam ini ia berlaku tidak baik. “Baiklah, gue setuju untuk menjadi good boy hari ini. Ya, hanya hari ini! Pria tua itu tak akan bisa mengancam gue untuk jadi anak baik selamanya!” “ARGH! s**l. Kenapa bak permen karet gadis bercadar itu terus saja menempel di hidup gue sekarang?” Terjebak dengan orang-orang aneh itu sangat membosankan, begitu menurut Alex, terlebih lagi Daud beberapa kali melontarkan pertanyaan kepadanya, membuat pemuda itu semakin kesal. Dan sorot mata gadis itu semakin memperburuk keadaan. “Ah s**l!! Kenapa mataku terus menatapnya, andai saja tatapan seseorang mampu membunuh, sudah dipastikan dua menit yang lalu gadis ini tewas.” “Ha. Kau memang jahat, apa salah gadis ini. Mengapa aku begitu membencinya, apa masuk akal aku membencinya karena cadar?” “Ah s**l!! Kenapa sisi lemah hati ini kembali muncul, setelah bertahun-tahun pergi meninggalkanku! Kenapa kini dia kembali?! s**t!” ***   “Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari segala kejahatan yang ada di dunia ini, kejahatan setan yang membisikan keburukan pada setiap manusia. Lindungilah hamba-Mu ini dari segala niat buruk yang terucap dari bibirnya. Sungguh tiada daya dan upaya hamba selain hanya memohon perlindungan-Mu, Wahai Zat Yang Maha Agung.” Doa Aisyah dalam hati. Aisyah tertegun, laki-laki itu menatapnya penuh kebencian, entah apa yang membuatnya begitu. Apa mungkin karena waktu itu, pertemuan pertama mereka? Ada yang bilang kesan pertama tidak akan pernah menggantikan kesan kedua. “Apa mungkin Alex membenciku karena hal itu?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN