Pertemuan Pertama

1620 Kata
"Terus kalau kamu sekolah lagi, kapan nikahnya?" tanya Ibu dari sambungan telepon. Ibu langsung menelepon Dysa setelah mendapat kabar bahwa Dysa mendapat beasiswa untuk melanjutkan sekolah S2. "Dysa udah bilang nggak mau nikah lagi, Bu. Pengin fokus aja sama karir." Dys tetap tidak mau menikah lagi meski ibunya sudah berharap banyak. Ya, Ibu sangat ingin anak perempuan tunggalnya itu hidup bahagia dengan seorang pria lagi. "Umur kamu udah 25 tahun." "Emang kenapa sih kalau umur Dysa udah 25 tahun? Ibu mau jodohin Dysa kayak di sinetron yang sering Ibu tonton? Tolong, Bu. Ini dunia nyata. Bukan sinetron." Terdengar suara helaan napas dari telepon. "Maaf, Bu. Dysa ngerti Ibu pengin lihat Dysa berumah tangga lagi, tapi Dysa nggak bisa beneran. Udah kapok nikah. Toh, tanpa nikah Dysa bisa menghidupi diri sendiri. Malah bisa ngirim uang tiap bulan ke Ibu. Sekarang Dysa mau fokus sama karir dan pendidikan aja." "Ya, udah. Terserah kamu, tapi kalau ada yang deketin kamu, sebaiknya dijalanin dulu aja. Nggak ada salahnya nikah lagi. Mungkin sekarang kamu merasa baik-baik aja hidup tanpa suami dan anak, tapi di masa tua nanti kamu pasti merasa kesepain kalau nggak nikah, Dysa." Ibu berusaha meluruskan pemikiran Dysa soal menikah. "Hmm, tapi nggak bisa janji." Setelah jawaban itu sambungan telepon terputus. Sepertinya Ibu sudah lelah berdebat dengan Dysa. Menikah mungkin menjadi impian semua wanita dewasa di planet bernama bumi ini. Tentu saja, karena pernikahan membawa kebahagian tersendiri bagi seorang wanita. Namun, hal itu tidak berlaku untuk Wendysa Sonya. Perempuan yang biasa dipanggil Dysa itu tidak ingin menikah lagi setelah mengalami kegagalan pada pernikahannya dulu. Ya, tidak semua pernikahan membawa kebahagiaan. Dysa mengalami hal sebaliknya. Kebahagiaan pernikahannya hanya terasa semu setelah terlalu banyak kenangan buruk yang membuatnya enggan untuk menikah lagi. Dysa menikah di usia 22 tahun, dan ia bercerai di usia 22 tahun juga. Pernikahannya dengan sang mantan hanya berjalan selama enam bulan. Sangat singkat. Apalagi usia 22 tahun terbilang usia yang sangat muda untuk menjadi seorang janda. Ya, Dysa memang menikah mudah tepat setelah wisuda S1. Ia sempat menjadi ibu rumah tangga yang tinggal di rumah mertuanya dan terpaksa membuang impiannya untuk menjadi ilmuan hebat. Namun, usai perceraiannya dengan sang mantan, Dysa langsung melebarkan sayapnya di dunia penelitian sains. Ia diterima bekerja sebagai peneliti di sebuah lembaga penelitian ternama. Sekarang ia dibebastugaskan dari lembaga tersebut karena mendapat beasiswa untuk kuliah lagi. Jadi, ia bisa fokus dengan pendidikannya. "Mbak, gue mau order pisang nuget. Lo mau order juga nggak? Biar ongkirnya lebih murah," tawar Tarissa—teman satu kontrakannya. "Boleh. Yang topping cokelat, ya." "Oke, Mbak." Tarissa mendaratkan pantatnya di karpet berbulu ruang tengah, sedangkan Dysa masih duduk di sofa dengan kaki bersila. "Mbak Karin kapan pulang, Mbak?" Dysa menggedikkan bahu. "Nggak tahu. Dia kan masih sibuk sama nasabahnya di luar kota." Di kontrakan ini Dysa tinggal bersama Tarissa dan Karin. Tarissa bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan, sedangkan Karin bekerja sebagai banker yang super sibuk. Karin yang lebih dulu tinggal di kontrakan ini sebelum Dysa dan Tarissa ikut bergabung. "Mbak, berarti kalau kuliah lagi lo bakal bebas tugas dari lembaga?" tanya Tarissa. "Iya, Tar. Udah gitu masih digaji lagi. Meski nggak full, tapi tetap lumayan kalau digabung sama duit beasiswa." "Banyak duit dong lo, Mbak." "Iya, dong. Entar pisang nuget lo biar gue yang bayarin." "Makasih, Mbak. Mentang-mentang banyak duit." "Iya, dong. Gue tuh udah pernah ngalamin jadi orang miskin dan dikucilkan, Tar. Lo aja yang kagak tahu." Tarissa membelalakkan matanya. "Masa sih, Mbak?" "Beneran. Gue waktu kuliah S1 jualan gorengan di kampus. Malemnya ngelesin anak sekolah. Kalau nggak percaya tanya aja sama si Karin. Gue kan satu kos sama dia dulu." "Tapi lo hebat, Mbak. Bisa bangkit sampai jadi kayak yang sekarang. Jadi ilmuan sukses, dapet beasiswa S2, mandiri lagi. Ya, tapi ... satu hal yang kurang dari lo." "Apa? Status janda gue?" "Iya," jawab Tarissa. "Kampret, lo." Dysa merebahkan tubuhnya di sofa panjang ruang tengah. Tiba-tiba ponsel di saku piayama polkadotnya bergetar. Ada telepon dari Edgar—temannya kerja di lembaga yang juga mendapat beasiswa seperti dirinya. "Halo, ada apa?" "Cuma mau ngingetin besok masuk kuliah perdana, Mbak." "Iya. Inget kok gue." "Besok ada matkul filsafat sains dan bioetika, ekologi lanjut dan metodologi penelitian kualitatif." "Iya, makasih udah ngingetin gue." "Sama-sama, Mbak. Jangan sampai telat lho besok, Mbak. Lo ke kantor sering telat. Jangan bilang hari pertama masuk kuliah juga mau telat." "Kagak. Lo tenang aja." "Sip, Mbak. Sampai ketemu besok di kampus baru, Mbak.” Sambungan telepon terputus. Edgar itu sudah seperti adiknya sendiri. Meski sesama ilmuan biologi, mereka punya konsentrasi bidang masing-masing. Edgar lebih fokus pada bidang kultur jaringan tumbuhan. Sementara Dysa mengambil bidang zoologi[1], lebih tepatnya fokus ke bagian entomologi. Jadi, ia setiap hari nimbrung di laboratorium entomologi[2]. Sebelum mengambil cuti untuk kuliah lagi, Dysa mengerjakan penelitian tentang kumbang. Setiap hari ia berjaga di tenpat penyimpanan spesimen. Kalau ada spesimen baru yang datang, ia akan menyortirnya lebih dulu. Kemudian dibuat spesimen basah atau pun kering. Saking seringnya berkutat dengan serangga, Dysa sampai mendapat julukan peternak serangga oleh Tarissa dan Karin. Tidak mudah bagi Dysa untuk bisa bangkit sampai seperti sekarang ini. Perceraiannya membawa luka batin mendalam bagi Dysa. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa keputusannya menikah muda malah membawanya ke dalam jurang penyesalan. Ia menikah dengan anak dosen pembimbing skripsinya sendiri. Dulu pertemuannya dengan sang mantan terjadi di laboratorium fisiologi. Lebih tepatnya saat Dysa menunggu sang profesor untuk bimbingan skripsi, seorang laki-laki yang ada di dalam laboratorium memandangnya lekat. Sampai beberapa hari kemudian laki-laki itu mengajak Dysa berkenalan dan berlanjut kencan. Hingga setelah Dysa sidang skripsi, laki-laki itu melamarnya. Langkah mereka terwujud ke pelaminan usai Dysa wisuda. Sayangnya, hubungan manis itu harus kandas karena suatu hal. Ah, Dysa tidak ingin mengingatnya lagi. *** Keesokan harinya Dysa berhasil bangun lebih awal. Ia pun tidak telat menghadiri kuliah perdana pagi ini. Jam pertama untuk perkuliahan hari ini adalah matakuliah filsafat sains dan bioetika. Untung ia satu kelas dengan Edgar. Setidaknya ada yang nyambung diajak ngobrol karena kebanyakan teman sekelasnya berasal dari kampus yang berbeda saat S1. Sebenarnya Edgar juga berbeda kampus saat kuliah S1 dengan Dysa. Mereka hanya satu lembaga penelitian. Kampus tempat kuliah S1 Dysa pun bukan di kampus tempat S2-nya sekarang ini meski masih berada di Kota yang sama. Dysa sengaja tidak memilih kampusnya yang dulu agar tidak bertemu dengan Prof. Wisnu—mantan mertuanya. "Mbak, ini kesempatan lo buat deketin cowok," ucap Edgar pelan. "Apaan sih, lho." "Lihat tuh banyak mas-mas ganteng di deretan bangku depan yang kayaknya lebih tua daripada lo." "Nggak minat gue." "Belum bisa move on dari mantan suami ya, Mbak?" tanya Edgar. "Sok tahu, lo." Edgar terkekeh. "Tapi, Mbak. Emang cinta itu tuh kayak teori dogma sentral di biomolekular." "Maksud lo apa, sih? Sok ilmiah banget." "Kalau teori dogma sentral kan seolah udah ditakdirkan kalau molekul DNA sebagai pembawa materi genetik. Terus DNA diterjemahkan dalam bentuk mRNA, yang kemudian ditranslasi untuk produksi protein fungsional. Kayak cinta, Mbak. Berawal dari getaran-getaran hati yang dinamakan rasa suka, lalu diterjemahkan menjadi cinta. Terus cinta itulah yang akan menghasilkan kebahagiaan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Semuanya udah ditakdirkan." "Perumpaan lo aneh. Nggak nyambung tahu." "Lah, emang gitu, Mbak. Semua udah digariskan. Lo bisa aja bilang nggak mau nikah lagi, tapi siapa tahu di kemudian hari lo berubah pikiran mau nikah lagi. Siapa tahu juga lo bakal rujuk sama mantan suami lo." "Amit-amit. Jangan sampai." "Ya siapa tahu takdir lo gitu, Mbak. Emangnya Mbak Dysa beneran nggak mau ketemu mantannya lagi?" "Ogah. Jangan sampai. Gue udah lupain dia." "Ya udah gue doakan moga ketemu sama mantanya. Terus baper nggak ketulungan." Dysa memukul lengan Edgar pelan. "Jelek amat sih doa lo, Gar." Edgar terkikik. Namun, Dysa tak membalasnya lagi karena mendadak kebelet buang air kecil. Dysa langsung berlari meninggalkan ruang perkuliahan. Kakinya berjalan tergesa menuju toilet yang ada di ujung gedung. Setelah berhasil menyelesaikan urusannya di toilet, ia bisa bernapas lega. Jam tangan Dysa menunjukkan pukul 7.05, sedangkan kuliah dimulai pukul 7.00. Gawat, gara-gara buang air kecil ia jadi telat lima menit mengikuti perkuliahan. Satu harapan Dysa, semoga dosennya belum datang. Langkah kaki Dysa berjalan cepat menuju ruang kelas lagi. Sialnya dosen pengampu matakuliah filsafat sains dan bioetika sudah datang. Pria yang sepertinya masih muda itu duduk menunduk sambil membaca nama-nama mahasiswa di daftar presensi. Setelah mengetuk pintu, Dysa berjalan pelan memasuki ruangan. Jelas saja ia akan memberitahu ke dosennya dulu kalau ia keluar sebentar ke toilet tadi. Entah mengapa jantung Dysa berdetak lebih keras saat mendekati dosennya itu. Mungkin takut akan kena semprot. "Maaf, Pak. Tadi saya ke toilet sebentar," ucap Dysa selembut dan sesopan mungkin. Pria itu lantas menoleh ke arah Dysa. Detik selanjutnya jantung Dysa rasanya mau copot. Dosen di depannya ini memang punya wajah ganteng di usianya yang sudah berkepala tiga. Rambut yang disisir rapi, kulit kuning langsat yang bersih, baju yang rapi dan kacamata yang semakin memancarkan aura kecerdasan sang dosen. Namun, ada hal lain yang membuat jantung Dysa nyaris keluar dari rongga dadanya. "Saudari Wendysa Sonya?" tanya dosen muda itu. "I-iya, Pak," jawab Dysa terbata. Lidahnya masih terasa sangat kelu untuk meerespon dosen muda itu. Kalau saja bisa, Dysa ingin mengundurkan diri dari kuliah S2-nya, tapi itu tidak mungkin akan dilakukannya mengingat ia mahasiswa berbeasiswa. Ia tidak mungkin mengundurkan diri karena resikonya sangat berat untuk ditanggungnya sendirian. Pasalnya Dysa harus mengembalikan semua uang beasiswanya jika ia mengundurkan diri. Mau pindah kampus pun juga sulit karena administrasinya akan sangat ribet dan memakan waktu lama. "Lama tidak bertemu." Demi Tuhan, rasanya tulang selangka Dysa melorot ke bawah. Sosok itu sangat dikenalnya. Ia tahu betul bahwa dosen pria yang ada di depannya ini adalah Jevano Wirayudha. Pria yang pernah menjadi cinta pertamanya dulu. Sepertinya doa Edgar terkabul. *** [1] Cabang ilmu biologi yang mempelajari tentang hewan. [2] Cabang ilmu biologi yang mempelajari tentang serangga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN