Gangguan

1263 Kata
Prevkaya, 2013 Begitu aku mendengar pekikan, aku sontak menoleh. Di detik yang sama, sudut mataku menangkap penyebab kegaduhan itu: sepasang tangan tak tahu malu menampar dan meremas b****g seorang gadis dengan gerakan lamban dan disengaja—santai, seolah tanpa dosa. Sungguh menjijikkan. Aku langsung menyesali naluri ingin tahuku yang membuatku menoleh. Karena yang kutangkap berikutnya adalah kedipan mata dan senyuman menyebalkan yang dilemparkan langsung ke arahku. “Selamat pagi, Sayang,” katanya, lengkap dengan ciuman terbang dan cengiran menyebalkan. Yang membuatku makin muak, si gadis yang dilecehkan itu malah tersipu malu dan tidak melakukan apa-apa. Ia bahkan tersenyum, tersanjung... seolah menikmati. Padahal aku jelas melihat ekspresi kemarahan dan kebencian di wajahnya sebelum ia tahu siapa pelakunya. Ekspresinya berubah secepat membalik halaman buku ketika ia menyadari pelakunya adalah Kristopher Kristoff—sinting m***m yang kebetulan kaya, generasi ketiga dari keluarga konglomerat, berbalut jas mahal dan celana flanel yang mungkin lebih mahal dari sewa rumahku setahun. Kristopher Kristoff—raja jurusanku. Sampah berpakaian mahal. Kabarnya, hampir semua gadis kampus yang "terkenal" pernah dia undang ke tempat tidurnya. Kaya, tampan, dan b******k: kombinasi sempurna untuk membuat para gadis bergelantungan padanya seperti monyet. Senyumannya saja cukup untuk membuat mereka klepek-klepek. Tapi tidak denganku. Sialnya, dia punya hobi aneh: mengangguku. “Sudah terpikir malam yang pas buat bercinta denganku, Ella Sayang?” bisiknya ke arahku, menambahkan gerakan tubuh bagian bawahnya yang menjijikkan. “Mimpi!” gerutuku, memutar mata sebal. Di antara jutaan penduduk Imakurga, kenapa Tuhan harus mempertemukanku dengan laki-laki pantang menyerah, yang terus-menerus mengganggu waktuku hanya demi aku bersedia berbaring di bawahnya? Alih-alih marah, senyumnya justru semakin melebar. Ia membalas dengan enteng, "Aku memang selalu memimpikanmu, Sayang. Selalu. Dan mungkin selamanya, sampai mimpi itu terwujud. Kapan kita akan mewujudkannya, Sayang?" Aku melotot marah dan ingin mengutuk, tapi memilih pergi dan berjalan tergesa-gesa. Aku ingin segera menjauh dari tatapan penasaran orang-orang di sekitarku. Dan tentu saja, alasan utama supaya menjauh dari Kristopher Kristoff. Dan di antara miliaran detik waktuku yang luar biasa berharga, kenapa dia harus memilih hari ini untuk memuntahkan kata-kata paling menjijikkan kepadaku? Membuat suasana hatiku semakin buruk saja. Padahal, aku sudah cukup dipusingkan oleh kebiasaan ayahku yang terulang lagi pagi ini—pulang dalam keadaan mabuk berat, lalu berceloteh tentang uang, uang, dan uang. Dan seperti biasa dia tidak lelah meneriaki kutukan yang tak habis-habisnya, bahkan mengelantur soal ingin menjualku, dan seperti tayangan berulang, dia bertengkar hebat dengan ibuku. Hampir semua perangkat rumah mendadak punya sayap—terbang, melayang, lalu mendarat dalam keadaan hancur berkeping-keping. Belum lagi melerai dua adik laki-lakiku yang luar biasa nakal, James dan Hewitt, yang bertengkar. Mereka tahu orang tua kami sedang bermain lempar-tangkap barang, tapi mereka malah sibuk memperdebatkan siapa yang berhak memakai sepatu baruku, bukannya menenangkan orang tua mereka. Seharusnya aku tidak menawarkan sepatu yang baru kubeli online dan ternyata kebesaran itu. Aku sama sekali tidak menyangka mereka bakal bertengkar memperebutkannya pagi ini. Padahal semalam, keduanya tampak tidak peduli. Aku memutar bola mataku lagi. "Hari sial," gumamku kecil, membuat dahi Kristopher mengerut samar. Ia masih mengejarku, bahkan berjalan mundur di depanku. Ia menatapku seolah tengah menelanjangiku, padahal aku sudah memakai pakaian longgar—bahkan bisa dibilang kedodoran—untuk menghindari mata keranjang seperti dia. Aku berpaling, berusaha mengabaikannya dan kembali ke tujuan awal: tenggelam dalam aroma roti panggang. Tapi Kristopher Kristoff, si penjahat itu, tidak akan pernah semudah itu melepaskanku. Seperti biasa. "Aku tahu kau sebenarnya amat menyukaiku, hanya saja kau suka bertingkah sok jual mahal. Tapi aku suka permainan ‘susah didapat’ ini, Sayang. Ayolah, aku tahu kau ingin lebih. Katakan padaku, apa yang kau inginkan? Kalau kau mau jadi pacarku—jangankan tas mahal, kampus ini saja bisa kuberikan untukmu," cetusnya begitu sombong luar biasa. Aku ingin muntah. "Ayolah Sayang, katakan sebelum kesabaranku habis," tambahnya. Suaranya menurun satu oktaf. Ancaman halus. Dan dalam suaranya yang rendah, aku mendengar kepercayaan dirinya, bahwa aku bakal luluh dengan tawaran itu. Aku mundur. Dia terlalu dekat. Pendekatannya benar-benar menyebalkan. Hari macam apa ini? Bagus. Ini tahun ketujuh dia berhasil membuatku pusing dan harus memutar otak untuk menghindarinya lagi. "Kalau kau memang kaya, sumbangkan saja. Di luar sana ada ribuan orang yang tak cukup makan," cibirku. Dia mungkin tuli. Buta. Atau luar biasa t***l. Jelas-jelas aku sudah menolaknya ribuan, bahkan jutaan kali. Tapi dia tetap gigih—selalu ingin menaklukkanku, membuatku telanjang di bawahnya. "Tapi aku lebih suka menghabiskan uangku untuk membahagiakanmu. Sayang, kau sebenarnya cuma sok jual mahal, ya kan? Ayo, akui saja," balas Kristopher, masih dengan seringai menjijikkan itu. Aku membuka mulut, hendak membalas pernyataan spekulatif barusan. Tapi sebuah suara memotong lebih dahulu. "Kukira kau tidak bakal kekurangan pasokan s**********n, Kris," sindirnya. Bukan suaraku. Ketika aku menoleh ke balik bahu, suara itu ternyata berasal dari Camilla McKenna—dewi penyelamatku—yang begitu lantang mencemooh Kristopher, membuat beberapa orang menoleh, bahkan terdengar cekikikan. Bukan hal yang aneh jika terjadi percikan api jika Camilla bertemu Kristopher. Mereka terkenal sebagai duo musuh bebuyutan sejak sekolah menengah. "Camilla," pekikku bahagia, berusaha keras tidak melompat kegirangan seperti bocah kecil. Aku nyaris bertepuk tangan. Seseorang baru saja menembak mati sang raja m***m. Dan melihat dia bertemu lawan, aku merasa sangat bahagia. "Selamat pagi juga, Nona Tunangan Kakek Jompo," balas Kristopher. Sama sekali tidak tersinggung. Tentu saja. Kristopher Kristoff memang tidak punya urat malu. Meski wajahnya tampak sedikit kesal, jejak ekspresi mesumnya tidak juga hilang. "Syal yang bagus untuk musim panas, Nona Tunangan Kakek Jompo. Apakah tunanganmu yang tua dan renta itu masih kuat membuat bekas noda di lehermu, atau kau terserang flu musim panas?" tanyanya sinis. "Aku rasa itu opsi kedua." Meski aku tahu ucapannya itu menyinggung bagian terdalam dari seorang Camilla McKenna, gadis berambut pirang panjang bergelombang itu tetap tenang. Sementara aku—justru panas dingin. Camilla memang ekspresif, bebas, dan sudah bertunangan sejak kecil dengan seorang pengusaha pendiam dan kaku—berlawanan dengan dia yang ekspresif. Usianya tiga puluh lima, tidak setua yang dikira Kristopher. Tapi manusia memang suka menghakimi yang tak sesuai dengan pikirannya. "Meski dia tua, dia tidak perlu mengemis-ngemis minta dijepit seorang gadis," balas Camilla, menampar di tempat yang seharusnya. Kristopher tertawa pura-pura. "Aku angkat tangan. Kau menang, Nona Tunangan Kakek Jompo." Dewi kebaikan pasti sedang berada di dekatku. Kristopher, yang tahu dia bakal selalu kalah dari Camilla, akhirnya memilih mengibarkan bendera putih. Setidaknya untuk hari ini. "Dan sampai jumpa, Ella. Aku menunggu panggilanmu. Bye, Sayang," kata Kristopher. Dia mundur. Pergi sambil tetap melempar pandang ke arahku. Aku tidak menjawab, lebih baik diam daripada membuang napas. "Kau menyelamatkanku, Camy." Aku langsung memeluk Camilla—senang, lega. Dia benar-benar datang di waktu genting. Setidaknya jika dia ada, aku tahu aku bakal selamat dari penjahat kelamin kelas kakap bersetelan rapi itu. "Kau bisa membunuhku, Kaella," ringis Camilla sambil mencoba melepaskan diri dari pelukanku yang teramat kuat. "Kau berutang cerita padaku," ujarku sambil melirik ke arah syalnya, ketika ia sudah berhasil melepaskan diri dan mengatur napas. Tatapan jengkel langsung ia layangkan, tapi aku tak peduli. Aku bisa melihat jejak kebahagiaan samar di wajah cantiknya. Camilla mendadak cemberut dan berusaha menjauh. Aku makin penasaran. Terpogoh-pogoh, aku menyusul langkahnya yang ringan. "Ayolah, Camy. Kau tahu aku butuh asupan romantisme untuk menyegarkan otakku yang kacau balau. Aku tak punya cukup waktu menonton film romantis, jadi kau harus menceritakan pengalaman luar biasa romantismu akhir pekan ini," rengekku. Camilla memang tak pernah menyetujui pertunangan itu. Sebab, ia berada di kelompok yang sama dengan Kristopher Kristoff—penjelajah bebas yang benci dikekang. Tapi akhir-akhir ini, dia dan tunangannya jadi sering bertemu. Dan syal itu cukup menjelaskan sesuatu. Camilla berhenti, melipat tangan di d**a, dan menatapku dengan serius. "Justru ada seseorang yang benar-benar berutang cerita padaku," sindirnya tegas, penuh intimidasi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN