Aku kira akulah anak yang paling pintar diseluruh Indonesia. Dari kelas satu SD aku berhasil menjadi juara satu bukan hanya dikelas tapi diseluruh SD yang ada di Indonesia. lalu anggapan itu berubah ketika seorang anak perempuan datang sebagai murid baru dengan cerita hebohnya. Tak pernah masuk SD, hanya mengenyam pendidikan agama tapi dia berhasil masuk langsung kelas 6 SD dengan ujian tes masuk mengikuti PAT bersama kelasku dan dia berhasil dengan nilai sempurna sama denganku. Aku melihat namanya tertulis dibawahku.
Mulai saat itu para Ibu yang sering nongkrong menunggu anaknya pulang sekolah sering membicarakan hal itu. mereka ada yang takjub dengan anak perempuan itu, ada juga yang merasa tidak adil karena anak itu tidak pernah masuk SD sebelumnya, dan itu artinya dia tidak sama dengan anak mereka yang berjuang mati-matian, ah mati-matian terlalu serius aneh banget buat anak SD, pokoknya anak mereka yang berusaha keras belajar di SD malah tersalip oleh anak yang tidak pernah belajar dari nol dan hanya menghafal bahan materi untuk ujian itu, mana dong bandingan usaha anak mereka lima tahun sebelumnya buat belajar mempersiapkan masuk kelas 6.
Yang intinya mereka iri ada anak jenius belajar pelajaran kelas 5 langsung paham tanpa cape-cape harus belajar dari kelas 1 dulu.
Padahal kan yang penting dia juga jawab soal PAT yang sama dengan kami.
Lalu setelah desas desus Ibu-Ibu itu sampai ke kepala sekolah, dia pun menjelaskan bahwa anak itu juga sudah mengikuti PAT untuk kelas satu sampai empat hanya saja didahulukan agar dia bisa ikut PAT kelas lima berbarengan dengan kami dan dirahasiakan agar soal PAT kelas lain tidak bocor lebih dulu. Yang artinya dia itu juga seperti anak-anak anda Ibu-Ibu cuman beda otak aja, anak-anaknya jawab soal PAT setahun sekali lah dia jawab cuman Sehari sekali.
Desas desus pun akhirnya ganti topik.
Saat aku kembali melewati papan pengumuman hasil PAT, aku melihat anak gadis itu berdiri disana, iseng aku kemudian berdiri disampingnya.
"Genta Alexander, itu nama mu kan?" ia bertanya.
"Iya."
"Nama kamu yang ada dibawah ku kan?" Aku balas bertanya, basa basi karena sepertinya dia sudah tidak akan bertanya lagi. Aku masih ingin bicara dengannya.
"Iya."
Aniqah nama yang belum pernah ku temui. singkat banget.
"Apa nama kamu selalu diatas sana?" aku kaget ternyata dia masih mau bicara, gak kelihatan banget dari wajah datarnya.
"Iya, dari kelas satu."
"Emang kenapa?"
"Dimaragin gak kalau turun?"
"Ngga sih, soalnya kata mamah yang penting naik kelas."
Mama memang tidak terlalu menekankan jadi juara. Akulah yang selama ini berambisi untuk tidak turun semenjak mendapat juara satu lagi pas kelas dua. Makanya aku belajar sangat rajin sampai-sampai waktu bermain pun ku kurangi. Papahku sempat khawatir sih melihat tingkahku yang begitu dan hampir bertengkar dengan mamah karena dikira dipaksa mamah, tapi mau bagaimana lagi, aku kadang tidak mengerti keseruan permainan yang dibicarakan teman sekelasku. kalau mukaku kelihatan banget gak tertarik pasti mereka langsung nyinyir.
"Anak jenius sih yah... mana mau main sama kita. kaya lagi."
Beneran nih yah, mamah ku aja sering ngerasa miskin kalau gabung sama Ibu Ibu yang lain, bukan rendah diri atau gak tau diri, tapi masih banyak yang lebih kaya dari keluargaku dikelas.
Si Aniq mendengar itu tersenyum. agak horor sih tiba-tiba senyum habis pasang muka datar.
"Kenapa senyum?"
"Seneng aja, ada ternyata yang gak dimarahin."
"Eh?" sumpah gak ngerti.
"Mamah kamu baik banget. jangan sering ngambek yah sama beliau."
Aku gak ngerti sama inti kata-kata Aniq dan sering kepikiran pas liat dia lewat. sejak saat itu kami tidak berbicara lagi, bukan karena berantem tapi aku sibuk belajar dan dengan muka datar Aniq gak enak juga langsung ngajak ngobrol basa-basi tanpa ada keperluan. teman kelas yang lain juga kelihatan gak peduli'in dia, sampai-sampai aku merasa aneh tapi Aniqnya juga gak keliatan peduli ama sedih juga duduk dipojokan belakang padahal badannya lebih kecil dari satu kelas.
Gak kerasa hasil PTS pun keluar, Aniq keluar dari daftar sepuluh besar, dan isi namanya kembali seperti dulu. pas berdiri melihat papan pengumuman sekarang Aniq yang mendatangiku.
Aku terkejut dengan kepalanya yang dia tutupi dengan jilbab putih. dulu pertama kali melihat kalau tidak salah rambut hitamnya panjang melewati bahu.
"Kenapa pakai jilbab?"
dia memandangiku sebentar.
"Udah biasa pakai jilbab kalau keluar, pas lepas gak enak rasanya."
"Terus dulu kenapa pake?"
"Pengen ngerasain aja, abisnya anak SD jarang ada yang pakai jilbab."
Jarang? di sekolah ini aku baru melihatnya sekarang.
"Gak panas?"
"Panas lah kalau cuacanya panas. sekarang kan lagi musim hujan."
"Kalau musim kemarau ntar lepas lagi dong."
"Ya nggalah."
"Tapi kan panas.."
"Tapi gak harus lepas kan?"
iya juga sih.
"Kenapa gak juara lagi?"
"Ga enak."
"Kenapa ga enak?"
"Abisnya pas aku juara kemaren, anak yang juara dibawah pada dimarahin Ibunya."
"Kasian mereka mau nangis tapi gak berani."
"Dimana kamu tahu?"
"Ngga sengaja liat pas keliling sekolah."
"Trus kamu sengaja dong gak juara?"
"Iya."
Aku tadi bertanya kenapa gak juara berharap dia jawab 'gak belajar kemaren' 'gak fokus' 'ih ternyata kelas 6 susah ternyata beda ma madrasah'. ga nyangka alasannya emang sengaja gak juara.
"Gak sedih, gak juara?"
"Gak."
"Ibu aku kayak mamah kamu kalau gak juara gak papa, asal lulus."
"Semalam aku gak tau berapa standar nilai buat lulus tes masuk jadi jawab bener semuanya."
"Kalau kemarin aku tanya Ibu wali kelas berapa standar nilai paling bawah tapi masih bisa lulus. pas udah tahu jadi jawab soalnya ampe sampai segitu aja."
Aku pun mencari namanya di urutan paling terakhir. dia tepat urutan sebelas dari bawah. itu juga dia gak masuk golongan sepuluh terbawah. wah.
"Kok kamu bisa sih jawab sampai tepat jadi urutan segitu?"
"Ya dihitunglah."
Fix Aniq emang jenius tapi aneh.
"Kalau sekolah aku dulu gak ada peringkat nomor gini. kalau cepat hafal dan paham pelajaran aja udah dipindahin kelasnya."
"Kok kamu pindah sekolah sih?"
"Karena aku udah lulus disana."
"Hah?"
Ini sistem sekolahnya gimana sih?
"Padahal aku maunya masuk lanjutin sekolah yang cabang itu juga tapi untuk tingkat yang lebih tinggi, tapi Abang aku maunya aku sekolah SD dulu, karena Ayah aku lupa, aku blom diajarin baca tulis latin."
Gak mau hah lagi. ntar jangan-jangan ada yang lebih aneh lagi.
Aku pun kembali melihat nilai Aniq.
"Itu kenapa cuman bahasa Inggris yang nilainya sempurna."
"Pengen aja."
"Biar gak dikhawatirin teman teman sekolah dulu yang takut aku gak lulus bahasa Inggris."
Itu sebenarnya mau nyombong aja kan?