Bab 18- Back to Imperfect Part 1

1028 Kata
“Makan malamnya enak banget,” ujar Davina dengan senyum lebar. “Senang kalau kamu menyukainya,” ujar Devon seraya mengunci pintu di belakangnya. Mereka kini sudah kembali ke vila, dan Davina merasa ia harus memberikan ucapan terima kasih pada Devon. Mungkin dengan sebuah kecupan di bibir bisa mewakili ucapan terima kasihnya. Sebenarnya Davina ingin melakukannya sejak tadi. Namun ia terlalu malu karena di tepi pantai tadi ada beberapa petugas yang menyiapkan makan malam mereka. Di sana ia dan Devon tidak sedang berada dalam area private. “Kenapa?” tanya Devon karena sejak tadi Davina hanya memandangnya. “Kamu baru sadar kalau suami kamu ini ternyata sangat tampan?” ujarnya narsis. Davina terkekeh. “Percaya diri banget sih,” jawabnya sambil menahan senyum. “Harus dong,” ujar Devon nyengir. Davina melangkah mendekati Devon. Mereka kini sudah saling berhadapan dalam jarak yang teramat tipis. Davina berencana mencuri ciuman cepat dari pria itu, lalu ia akan langsung kabur ke kamar mandi. Namun sayangnya, sebelum Davina berhasil berjinjit dan mencium Devon, ponsel pria itu tiba-tibas saja berbunyi. Interupsi itu membuat Davina seketika mundur selangkah, sementara Devon sendiri langsung mengecek ponselnya. Wajah pria itu tampak begitu serius menatap layar ponselnya yang menyala. “Apa ada masalah?” tanya Davina mendadak khawatir. Ia jadi cukup heran karena baru kali ini melihat wajah Devon tampak cemas saat melihat ponselnya. “Dev...” panggil Davina lagi karena Devon tampaknya sama sekali tidak mendengar ucapan Davina. Davina kemudian menyentuh lengan Devon hingga pria itu tersentak dari fokusnya pada ponsel. “Eh, apa?” tanya Devon tampak kebingungan. “Ada apa?” tanya Davina dengan dahi berkerut. “Bukan apa-apa,” ujar Devon, lalu menyimpan kembali ponselnya. “Tapi kamu...” Devon meraih pinggang Davina, membuat gadis itu gagal menyelesaikan ucapannya. Tubuh mereka kini saling menempel karena Devon mengunci Davina begitu erat dengan kedua lengannya. “Sepertinya tadi kamu mau melakukan sesuatu padaku. Ayo lanjutkan,” ujar Devon dengan senyum usil seperti biasa. “Aku? Aku nggak berencana melakukan apa-apa kok,” bantah Davina. Matanya mencoba menatap hal lain selain Devon, ia takut ketahuan. “Ah, yang benar? Yakin kalau kamu nggak merencanakan sesuatu? Bibirku udah siap kok,” goda Devon. Sialan! Jadi dia tahu kalau aku berniat menciumnya, ujar Davina dalam hati. Kenapa Devon jago sekali sih dalam urusan seperti ini? Davina tidak terima dirinya selalu kalah. Tapi, meski demikian, Davina cukup merasa lega karena raut cemas yang ia lihat sebelumnya tadi telah lenyap dari wajah Devon. “Bibir? Untuk apa?” tanya Davina dengan senyum tertahan. “Kamu pasti tahu apa yang aku maksud,” jawab Devon yang semakin menarik tubuh Davina merapat padanya. “Aku tadi cuma mau bilang makasih, karena tadi kamu sudah repot-repot menyiapkan sunset dinner yang sangat-sangat romantis. Makanannya juga enak-enak,” ujar Davina. “Aku sudah cukup sering mendengar kamu mengucapkan terima kasih sejak kita melihat matahari terbenam tadi,” ujar Devon. Jelas ia tidak puas dengan jawaban Davina. “Kamu yakin cuma mau bilang makasih?” Davina terkekeh. “Jangan cuma tertawa dong,” kata Devon sambil mengusap pipi Davina. “Ayo, cepat lakukan apa yang kamu ingin lakukan tadi.” Davina menggeleng. “Dasar nggak sabaran,” ujarnya gemas. “Tentu saja aku nggak sabaran,” balas Devon. “Memangnya kamu nggak mau?” tanyanya sambil menaikkan alis. Davina lagi-lagi tertawa. Lalu, ia pun segera berjinjit dan mencium bibir Devon sekilas. “Makasih untuk makan malamnya, suami,” ujar Davina sambil tersenyum malu. Devon benar-benar gemas. Baru kali ini ia melihat sisi lain dari Davina. Istrinya ini sekarang tampak malu-malu. Biasanya Davina akan selalu tampak berani dan menantang semuanya. Bahkan sebelumnya Davina tidak segan-segan menggodanya lebih dulu. Namun kali ini, hanya dari ciuman sekilas, Davina malah terlihat malu. Benar-benar menggemaskan. “Cuma itu?” tanya Devon. “Iya, kenapa? Kurang?” tanya Davina balik. Devon nyengir. Davina kembali ke mode berani. Gadis ini menantangnya. “Ya, nggak berasa,” jawab Devon. Davina kembali terkekeh. Ia lalu berjinjit sekali lagi untuk mencium Devon. Namun, kali ini Devon tidak membiarkannya lepas begitu saja. Ketika Davina hendak menjauhkan diri, Devon menahan kepala Davina dan menggigit bibir gadis itu agar membuka. Devon memperdalam ciuman mereka hingga Davina merasa bahwa ciuman yang ia berikan sebelumnya tadi tidak ada apa-apanya dibandingkan yang diberikan Devon saat ini. Devon benar-benar pencium yang handal. Bukan Devon saja yang tidak ingin melepaskan diri, Davina pun juga jadi ikut terbuai. Masih mencium Davina, Devon mengangkat tubuh gadis itu. Davina langsung melingkarkan kakinya ke pinggang Devon. Devon menjauhkan wajah mereka lalu segera melangkah menuju kamar. Setibanya di kamar, Devon perlahan menurunkan Davina ke kasur. Davina memandang Devon selama beberapa saat, hingga pria itu kemudian mengurung Davina ke bawah tubuhnya dan kembali memagut bibir gadis itu. Ciuman ini semakin memanas. Alarm peringatan di dalam kepala Davina berbunyi. Kemarin mungkin Devon bisa menahan diri dan mereka hanya berakhir make out. Namun kali ini, siapa yang bisa tahu? Devon sudah cukup pandai menahan diri kemarin. Apa kali ini ia juga sanggup melakukannya? Seharusnya, yang Davina lakukan adalah mendorong Devon menjauh. Namun, kini ia sendiri merasa tidak ingin melepaskan pria itu. Ia sangat menyukai apa yang mereka lakukan sekarang. Ia suka merasakan ciuman Devon. Ia suka Devon mengurung tubuhnya seperti ini. Ciuman Devon bergerak ke bawah telinga Davina, memberinya sensasi geli. “Dev, geli,” ujar Davina sambil tertawa. Devon terus bergerak turun dan memberikan ciuman sepajang lehernya. “Jangan tinggalkan tanda seperti kemarin,” bisik Davina. “Nggak akan,” ujar Devon. Jemari Davina menyentuh rambut Devon yang jatuh ke dahi. Rambutnya sangat halus, Davina senang menyentuhnya. Keduanya saling menyentuh, menggoda, dan terbuai dalam pusaran yang memabukkan. Kali ini Devon berhasil membuat Davina terbuai dan tidak bisa berkata-kata. Devon berhasil menemukan titik lemahnya. Mendadak ia jadi merasa tak berdaya. Ini adalah pengalaman pertama Davina. Pengalaman lain yang ia punya hanya sebatas menonton dan mencoba beberapa hal pada Devon di malam pengantin mereka kemarin. Yang Devon lakukan padanya saat ini adalah hal yang masih belum pernah ia rasakan. Kini, baik napas Davina maupun Devon sama-sama memburu. Keduanya semakin lama jadi semakin tidak sabaran. Davina terkesiap karena kini Devon mulai menyentuhnya di sana. “Kamu sudah siap sekarang,” bisik Devon. *** Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN