2. Merinding Sebadan-badan

1567 Kata
"Kalia Locita." "Hadir!" Diabsen saat dalam kelas perkuliahannya, Kalia benahkan kacamata baca. Maklum, agak minus dia. Tidak besar, sih, tetapi cukup untuk membuatnya buram menatap tulisan dosen ala dokter di papan tulis depan. "Ya sudah, jangan lupa tugasnya dikumpulkan pada pertemuan berikutnya." "Baik, Bu ...." Itulah akhir dari kelas Akuntansi. Mumet kepala isinya angka dan perhitungan uang, Kalia rapikan mejanya. Tak terasa telah tiba saat untuknya pulang. Kalia masukkan kacamata tersebut ke dalam tasnya. "Kal." "Oit?" "Jadi nonton konser, kan?" "Jadi, dong! Masa nggak?" "Haha. Sip!" Nada mengacungkan jempolnya, sesama K-Popers. "Ya kali nggak jadi? Ayang udah jauh-jauh ke Jakarta. Iya, nggak?" "Yup." Kalia pun berjalan bersama teman-temannya. Tak hanya Nada, tetapi ada Dena dan Atika juga. Dena bilang, "Insaf, dong, kalian. Nggak sayang apa sama uang orang tua?" "No, no, no!" sahut Atika. Di perkumpulan mereka, hanya Dena yang kontra, tetapi tetap ditemani. Ini pertemanan secara profesional. Beda pendapat dan aliran bukan berarti langsung jadi musuh. "Dena Sayang ... uangnya emang bersumber dari orang tua, tapi konsepnya beda, ini uang hasil menabung alias nggak jajan dalam waktu lama. So, ini jerih payah kita." "Bener," imbuh Kalia atas ucapan Nada. "Apalagi aku, tuh, dapet modal buat nonton ayang ini dari kerja keras aku bantuin Mbak Dila." "Nah, itu. Jadi lo mending diem aja, deh, Den," tukas Atika. Si paling 'lo-gue' bahasanya. Dena geleng-geleng kepala. "Ya udah, ya, see you! Aku duluan." Tahu-tahu Kalia sudah menaiki motornya, di parkiran. Mereka pun bubar berpulang. Ah, tiba di rumah Kalia langsung rebahan di sofa. Mentang-mentang bungsu, dia malas-malasan dulu. Fangirling sejenak sebelum beranjak. Well, kemarin Kalia sudah lapor ke Mbak Nadila bahwa acara taarufnya berlangsung singkat, itu berarti masnya nggak akan mau ada pertemuan berikutnya, dan itu terbukti. Dua minggu ini tak ada kabar-kabari, membuat Kalia merdeka sebagaimana tiket konser sudah dia dapatkan. Besok dia akan cus ketemu para suami sejuta umatnya. Uh .... Kalia nggak sabar. "Kalia! Ibu panggil-panggil nggak nyaut! Malah senyum-senyum! Sini, kamu!" Aduh. Lekas dia hampiri ibu. "Bantuin Ibu." "Apa itu, Bu?" Di dapur. Ibu menoleh dan menitah Kalia untuk menggantikannya menguleni adonan di baskom. Sebab ada Nadila yang kerjanya shif sore pun tak mempan ibu mintai bantuan, jadilan Kalia yang dikorbankan. "Cuci tangan dulu, sana! Ibu mau bikin pastel tiga isi." "Sebanyak ini?" "Ya, iya. Keluarganya calon besan Ibu, kan, banyak! Cepet cuci tangan!" "What? Calon besan?!" Nadila yang sejak tadi fokus dengan ponselnya mendatangi ibu dan Kalia di dapur. Kaget, dong, mendengar 'calon besan.' "Ish, nggak mau! Itu, kan, keluarga calonnya Mbak Dila, kenapa Kalia yang repot, Bu?" Lagian si masnya juga sudah ilfeel, kok. Dalam hati Kalia lanjutkan ucapannya. Lalu dia melirik sang kakak, Nadila tampak berdecak. "Ibu nggak usah repot-repot, lagi pula nanti siapa coba yang nganterin kue pastelnya?" tukas Nadila. Tentu saja, Kalia! Dengan identitas palsu sebagai kakaknya, sementara Nadila pergi main ke rumah pacarnya selama Kalia bertugas mengantarkan pastel di sore itu. Ugh, sebal! Perannya diperpanjang. Ah, ya, di sinilah Kalia sekarang, memarkir motor matic ungu tepat di depan pagar rumah mewah. Katanya, sih, ini rumah orang tuanya mas-mas itu. Ibu cuma sebut, "Nadila, ini udah mateng. Cepet anterin! Nggak jauh, kok. Perumahan anu, tau? Rumah nomor 50, paling megah di sana pokoknya." Terus ketika di luar membawa serta Kalia dengan berbagai alasan dan tak ada ibu, Mbak Nadila bilang, "Selama kamu ngasih itu ke doi, jangan sampe dia berubah pikiran. Pertahankan keengganan dia sama kamu. Yuk, Mbak antar sampe ke rumah Mas Wisnu. Nanti ke sananya kamu sendirian nggak pa-pa, kan? Pulangnya jemput Mbak di sana, oke?" Wisnu. Itu nama pacar Mbak Nadila. Kalia mencebik mendengarnya. Well, selama dua minggu ini Kalia sudah hidup tenang tanpa direcoki Nadila perihal ini, ia yakin Mas Langit--yang tak Kalia sebut namanya ketika lapor ke Mbak Nadila itu--memang tak mau lanjut taaruf ke jenjang lebih serius. Huh, ibu macam-macam saja! Kalia yang repot. "Permisi!" Dia pun mau tak mau, ya, bertamu. Hingga pintu di depannya terbuka lebar, menampilkan sosok perempuan cantik yang menyahut. "Iya ... siapa, ya?" Senyum sopan. Ehm! "Nadila, Tante." "Siapa?!" Itu suara dari dalam. "Nadila, Pi." "Oh, Nadila? Suruh masuk, Mi! Masuk!" Ah, rupanya sosok dua itu adalah pasangan mami-papi. Kalia pun senyum. Harmonis sekali! Masuk dan duduknya Kalia di sofa ruang tamu, diberi suguhan teh hangat, sampai ia angsurkan bingkisan di tangan kepada gerangan. "Ini kue pastel dari ibu, Tante, Om." Begitu, kan, ya, manggilnya? Meski dari sudut pandang Kalia, pasangan 'mami' itu tampak tidak seperti om-om yang seumur dengan si 'tante,' tetapi sudahlah. "Wah ... repot-repot. Makasih, ya, Nak." Kalia senyum. "Sebentar Papi teleponin Langitnya dulu, ya? Masih di kantor kayaknya." "Eh, nggak usah, Om." Kalia panik seketika. "Nadila ke sini cuma mau antarin kue aja, kok. Udah sore, keburu malam, jadi mau langsung pulang." "Ssst, nggak apa-apa di sini dulu. Kalau malam, ya, kan, ada Langit. Nah, ini udah diangkat teleponnya." Aduh, Buyung!!! Kalia meremas jemari. Ngomong-gomong, dia ngibulnya sudah kejauhan, ya? Menjadi Nadila versi KW di depan orang tua, Kalia merasa berdosa. Ini lain cerita dengan perannya di pertemuan pertama. "Pulang, Lang! Ada pacar kamu, nih. Awas, lho, ge-pe-el!" Seperti itu. Entah bagaimana reaksi masnya. Kalia menunduk menutupi ringisan lirihnya. Mampus sajalah! *** "Nunggu lama?" Sudah bubar mami dan papi itu, sisa Kalia bersama sosok yang baru saja datang, melepas jas dan kini terpampang sudah kemeja putih pas badan di tubuh yahud gerangan, dengan dasi yang dilonggarkan. Kok, ya, sesak banget gitu kelihatannya? Kasihan itu kemeja butuh napas buatan. "Nadila?" "Eh ... iya?" Kalia mengerjap terseret ke daratan. Mata, plis, mata! Zina terus, heran. "Ada keperluan apa?" Tentu, ada yang tepuk jidat di dalam sana. Kalia memergokinya, sosok papi yang mengintip dan menguping. Kalia menggaruk tengkuk. Sedang Mas Langit fokus menatapnya, tatapan serupa intimidasi. "Itu ...." Kalia mau ngupil biar masnya ilfeel juga nggak mendukung situasinya. "Ibu bikin kue pastel, diminta antarin ke sini." "Oh. Udah?" "Udah, Mas." "Ada lagi?" Buset, dah. Kaku bener masnya. Kalia pun menggeleng. "Itu aja, sih." "Ya, dia mau ketemu kamu!" Demi apa pun, itu bukan suara Kalia. Tampaknya Mas Langit pun tahu itu suara milik siapa. Si papi-papi tea! Di depannya, Mas Langit menghela napas pelan. "Kalau udah, yuk, ikut saya." "Eh, ke mana?" "Ikut saja." Yang akhirnya Kalia pamit, disuruh menunggu di mobil, padahal Kalia bilang bahwa dia bawa motor, tetapi ujungnya Kalia berakhir di kuda besi Mas Langit. Motor Kalia digarasikan. Wah .... Mau ke mana, nih? "Sabuk pengaman." Oh, oke. Langsung Kalia pasangkan. Mobil pun melaju meninggalkan pelataran. Sip, sekarang waktunya Kalia beraksi. "Mas." Tak menoleh, tetapi berdeham. "Sebelumnya maaf kalo aku terkesan nggak jelas, tapi datangnya aku ke sini hari ini bukan karena mengharapkan Mas, kok. Dan aku nggak lagi caper biar Mas mau taarufan lebih lanjut sama aku. So, tetap jadi Mas Langit yang selama dua minggu ini nggak ada kabar, ya?" "Saya sibuk." Ow, oke. "Nggak ada waktu buat itu." Kalia langsung mingkem, tetapi dia curi-curi pandang ke wajah masnya. Lempeng banget kayak triplek, asli! Dan saat tatapan Kalia bersirobok dengan masnya, Kalia lekas melengos. Astaga. Ber-damage sekali. "Ngomong-ngomong kamu anak pertama, kan?" Eh, tiba-tiba? "Iya. Kenapa, Mas?" Jangan sampai salah fokus, Kal! "Punya adik berapa?" "Satu." "Laki-laki?" "Nggak, dia cewek." "Umurnya?" "Dua puluh satu tahun." "Kuliah atau kerja juga?" "Oh, dia mahasiswa. Masih semester enam. Kenapa?" Mereka tiba di lampu merah. Sebenarnya mau dibawa ke mana, Kalia tidak tahu, dan sekarang atensinya teralihkan pada tiap lontar kata yang Mas Langit tanyakan. "Ya, tanya saja. Daripada sepi dan diam-diaman, kan?" Menatap Kalia, yang Langit hujam tepat di bola matanya. Kalia mangap seketika, mingkem lagi. Mendadak ... kok kayak ada yang menabuh bedug, ya? Dag-dig-dug. "Adik kamu suka apa?" Ya ampun. Itu pertanyaan normal, kan? Mobil kembali dilaju. Kalia pun menjelaskan serinci mungkin apa yang disukainya, mengalir begitu saja. Jajaran suami online pun tak luput dia sebut. Detail. Semoga Mas Langit berniat sedekah, Kalia akan terima. Makanya dia jabarkan seruntut mungkin apa hal yang adiknya Mbak Nadila sukai. Eum .... Mas Langit manggut-manggut. "Sudah sampai." Oh, akhirnya! Eh, tapi .... "Ini di mana?" Yang sedang Langit buka sabuk pengamannya, dia jawab, "Apartemen saya." Hiiiiy! Kalia mundur mentok ke jendela pintu, nggak mau turun. Dia pegang erat-erat sabuk pengamannya. "Selera saya tinggi, tenang saja." Dengan tatapan yang jatuh tepat di wajah, turun ke d**a, lalu paha, meski sedatar-datarnya. Namun, Kalia tampak memberengut di sana, sebal. Masih masa pertumbuhan, kok! Akhirnya dia turun juga, mengekori Mas Langit yang demi apa pun, Kalia berasa jadi sugar baby-nya. Oh, pintu apartemen pun terbuka. Kata masnya, "Kamu terserah mau apa, dan kita di sini dulu dua jam. Papi saya orangnya beda, dan saya tau papi menginginkan kita jalan berdua. Jadi tolong kerja samanya, salah sendiri kamu datang." W-what?!!! "Saya pake ruangan itu." Yang Langit tunjuk sebuah ruang berdinding kaca dari tempatnya, banyak alat-alat gym di sana. Ah, pantas saja .... Kalia tampak terpesona. "Kalau mau ikut ke sana juga, boleh. Tapi jangan jadi beban." Hei!!! Kalia syok sejak penuturan Langit sebelumnya. Hih, similikiti! Membuat Kalia ingin keluarkan jurus dari dunia persilatan. Yang dia tatap sengit sosok Mas Langit. Namun, percayalah, tatapan Kalia berangsur-angsur lumer di detik dia lihat kemeja putih lelaki itu dilepasnya. Oh, tidak! Ibuuu! Kalia sedang berdosa. Mematung memandang lurus ke sana, pada otot punggung pria yang tengah melakukan pemanasan, lalu berikutnya mulai mengangkat beban. Kalia meleyot dadakan. Pemandangan macam apa itu?! "Ah ...." "Hmph ...." "Uh ...." "Sssh." Argh! Cukup! Kalia tutup pintu kaca itu, yang entah sejak kapan kakinya berjalan, Kalia merah padam. Su-suaranya kok gitu?!!!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN