Lira dan Elang

2154 Kata
Elang's POV “Hai jangan ganggu dia.” Aku setengah berteriak pada kedua pemuda yang mencoba menarik tangan gadis aneh itu. “Siapa lo?” Seorang pemuda berjambang tipis melotot ke arahku. Bersamaan dengan itu gelegar suara halilintar terdengar begitu bergemuruh. “Gue suaminya. Lepasin dia,” jawabku dan membuat si gadis terbelalak. Tiba-tiba hujan mengguyur begitu saja. Memang, sedari tadi langit seakan memberi tanda dengan nuansanya yang mendung. Tapi aku tak menyangka akan sederas ini. “Gawat hujan... Ayo cepet ke markas, kalau kita telat bos bakalan marah.” Teman pemuda berjambang itu segera berlalu meninggalkan kami. “Lo selamat ya hari ini. Kalau nanti kita ketemu lagi, habis lo!” Pemuda berjambang itu menatapku sinis lalu melangkah mengikuti temannya. Lega rasanya. Aku tak perlu menunjukkan kepiawaianku dalam berkelahi. Dulu aku pernah ikut pencak silat. Setidaknya aku tahu dasar-dasar bela diri. “Ayo ikut gue. Malem-malem begini terlalu bahaya buat cewek di luar.” Gadis itu membisu. Tangannya bersedekap dan seluruh badannya basah bermandikan hujan. Begitu juga denganku, basah di semua bagian. Aku melangkah menuju mobil. Tidak ada derap langkah yang mengikuti. Sepertinya gadis itu masih mematung. Kutoleh ke belakang. Benar saja, gadis itu masih terpekur dan sama sekali tak bergerak dari tempatnya yang tadi. “Ayo ikut. Lo mau hujan-hujanan terus?” Gadis itu terperangah dan akhirnya dia melangkahkan kakinya mendekat padaku. Kubuka pintu mobil dan kupersilakan dia masuk. Kami kembali bersama dalam perjalanan menuju apartemen. Aku terpaksa membawanya pulang ke apartemen karena berada di luar di jam-jam ini sangat tidak aman untuk perempuan. Gadis itu melepas cardigannya yang sepertinya terlalu berat karena menyerap air. Tangannya bersedekap. Aku lihat bibirnya sedikit gemetar, sepertinya dia kedinginan. Agak terkejut juga kala tatapanku terbentur pada bekas luka di punggung pergelangan tangan dan lengannya, seperti luka sayatan yang cukup panjang dan begitu kentara. Tak hanya itu, ada lebam-lebam membiru di lengan dan tangannya. Apa dia habis dipukuli? Apa urusannya denganku? Sepuluh menit kemudian kami tiba di apartemen. Setelah memarkirkan mobil, aku tuntun dia memasuki pelataran apartemen. Kalau tidak dituntun, dia hanya akan berdiri mematung, tatapannya seperti tak fokus dan melamun. Entah dia ini berasal dari planet mana. Setiap melihat kedua bola matanya sepertinya selalu kosong, tanpa arah. Kami memasuki lift. Gadis itu tak bersuara. Tangannya terus bersedekap. Rambut panjangnya yang basah menutupi sebagian wajahnya, sudah mirip dengan peran kuntilanak di film horor. Pintu lift terbuka, aku kembali menggandengnya dan kutuntun menuju kamarku. Kalau tak aku gandeng mungkin dia akan tertinggal di lift. Entahlah hari ini mungkin menjadi hari tersial untukku karena bertemu dengan seorang gadis yang hopeless, depresi dan selalu ingin mati. Saat memasuki kamarku, dia tampak sedikit tersentak. Pandangannya menyisir ke setiap sudut ruang depan. Aku mengambil handuk dan satu gaun peninggalan mantan pacarku yang ia tinggal begitu saja di sini. Mungkin dia memang sengaja meninggalkannya agar suatu saat punya alasan untuk kembali ke sini dan berpura-pura hendak mengambil gaunnya. Aku tersenyum kecut dan menatap gaun ini dengan nanar, teringat bahwa mantan pacarku itu kini sudah bertunangan. “Ini handuknya, keringkan badan lo. Ini satu-satunya baju cewek yang gue punya. Baju mantan gue yang masih tertinggal di sini. Lo ke kamar mandi aja kalau mau ganti baju. Atau masuk kamar gue, gue tunggu di sini.” Gadis itu tampak ragu, tapi akhirnya dia ambil juga gaun dan handuk itu. Dia melangkah masuk ke kamar sedang aku mengganti baju dan celana di ruang depan secepat kilat sebelum gadis itu selesai dan keluar kamar. Aku duduk di sofa dan kuganti-ganti channel televisi yang sedari tadi menayangkan acara yang membosankan. Terdengar desis pintu kamar terbuka. Kulihat gadis itu melangkah keluar dengan gaun warna hitam yang panjang roknya beberapa senti di atas lutut, tanpa lengan, dengan belahan d**a yang agak rendah. Aku seperti melihat bayangan Raline, mantan pacarku ada padanya. Tidak, tentu mereka jauh berbeda. Raline terlihat begitu sempurna saat mengenakan gaun itu. Kulitnya mulus, halus, dan bersinar cerah. Dadanya tampak berisi dan selalu menggodaku untuk meremasnya atau memberi sedikit kecupan di sana. Sedang gadis ini, langsing sih tapi cenderung kurus. Lihat saja tukang belikatnya, tampak menonjol. Tinggi badannya sekitar 160an dengan berat badan yang mungkin cuma sekitar 40-42 kg. Over all badan Raline lebih berisi, seksi dan menggairahkan dibanding gadis aneh yang saat ini tampak kikuk di hadapanku. Seluruh tubuhnya dipenuhi lebam biru dan bekas luka sayatan ada di mana-mana. Pahanya sebenarnya tampak sedikit menggoda, tapi bekas luka sayatan yang melintang di salah satu pahanya mengurangi keindahannya. Bekas luka sayatan juga terlihat di atas dadanya, bagian tubuhnya yang sebenarnya menjadi salah satu aset penting. Bagaimana pria bisa b*******h melihatnya apalagi saat bermesraan dengannya, kalau bekas-bekas luka itu begitu mengganggu? “Ada baju yang lebih panjang dari ini nggak?” Tanyanya seraya berusaha menutupi belahan dadanya yang sedikit rendah dengan kedua tangannya. Akhirnya dia mengeluarkan suara juga. “Itu satu-satunya baju cewek yang gue punya. Besok lo cuci aja baju dan celana lo di mesin cuci. Nggak sampai seharian juga kering.” Kulirik dia yang masih berdiri. “Lo nggak pengin duduk?” Kutatap dia dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku pikir aku tak akan pernah tertarik padanya, tapi melihatnya mengenakan gaun mini seperti ini menerbitkan sedikit desiran dan yang di bawah sana agak sedikit mengeras. Astaga Elang, kendalikan dirimu. Bagaimana mungkin seleramu jadi turun kelas begini. Gadis itu duduk dan membuat pahanya menjadi lebih terekspos. Kedua tangan gadis itu berusaha menutupi pahanya. Aku rasa dia sangat tidak nyaman mengenakan gaun ini. “Nama lo siapa?” Dia terhenyak dan menatapku dengan tatapan matanya yang sendu, kali ini bukan tatapan kosong. “Aku Lira, kamu?” jawabnya agak pelan. “Gue Elang.” jawabku datar. Lira.. Nama yang bagus. Ketukan pintu mengagetkanku. Sepertinya dia juga sedikit kaget. “Elang ini Mela.” Suara itu terdengar lantang. Mela salah satu gadis yang aku kenal di night club dan terang-terangan mengejarku. Aku cuma pernah membawanya sekali ke ranjang, dan aku tak akan mengulang untuk tidur dengan perempuan yang sama kalau aku tak benar-benar tertarik padanya. Sepertinya Mela ketagihan, ingin mengulang kembali adegan panas kami. Semua perempuan mengakui, aku ini hebat di ranjang. Begitu kubuka pintu, Mela langsung memelukku dan menciumku serampangan, memagut bibirku dengan liar. Tanganku refleks memeluk pinggangnya. Ciuman itu selalu menenangkan dan aku bisa melakukannya dengan siapapun tanpa perasaan sekalipun. Mela menghentikan ciumannya dan menatap Lira yang tengah tercenung menatap kami. “Siapa gadis itu? Oh ya gue paham.. Selera lo yang kayak begini ya? Dekil, nggak menarik, nggak cantik, ya ampun bekas luka sayatan ada dimana-mana.” Mela menghela napas lalu menatapku tajam. “Gue pulang...” Mela melangkah keluar pintu lalu membantingnya. “Dia pacarmu? Sepertinya dia salah paham.” Lira menatapku datar. “Bukan, dia bukan pacar gue.” “Kenapa kalian tadi ciuman? Oh... ya aku paham.” Balasnya masih dengan raut wajah yang datar. “Paham apa?” tanyaku menyelidik. Aku hanya ingin tahu bagaimana gadis yang terlihat polos ini berargumen tentang pemandangan yang baru saja ia lihat. “Aku udah biasa ngliat cowok nyium cewek tanpa ada rasa. Aku tinggal di lingkungan yang rusak moralnya. Banyak preman yang suka minum bahkan juga ngeseks di semak-semak. Aku sering lihat tiap pulang kerja. Tapi tetap aja pandanganku tentang seks atau ciuman itu selalu sama.” Aku jadi lumayan tertarik dengan pembicaraan ini. Aku duduk dan menatapnya, “Memang pandanganmu seperti apa?” “Ciuman dan seks adalah sesuatu yang sangat sakral, tak cukup dilakukan dengan orang yang kita cintai, tapi harus ada ikatan pernikahan diantara keduanya.” Aku tertawa mendengarnya, “Pikiran lo konservatif. Dengan kata lain lo mau bilang kalau ciuman dan seks hanya boleh dilakuin kalau udah menikah? Dengan pasangan yang sah? Lo nggak jauh beda dengan orangtua gue. Kolot, konservatif. Berapa umur lo?” Lira tertegun sejenak, “Sembilan belas.” Aku berdecak, “Ya ampun masih anak-anak ternyata.” “Aku bukan anak-anak. Aku terbiasa dituntut untuk berpikir lebih dewasa dari umurku.” Selanya dengan nada bicara yang tinggi. Kuelus daguku dan tersenyum sinis menatapnya, “lebih tepatnya sok dewasa. Lo ini masih labil. Buktinya lo udah nyoba bunuh diri berkali-kali kan? Lihat bekas luka lo itu, jangan-jangan ini hasil percobaan bunuh diri. Terus lebam-lebam itu kenapa? Lo dipukulin atau lo mukulin diri lo sendiri. Orang yang selalu ingin mati kayak lo ini pasti nggak takut buat nyakitin diri sendiri.” Mimik wajahnya berubah pias. Dia memejamkan matanya sejenak lalu menatapku tajam. “Seenggaknya aku cukup dewasa untuk nggak melakukan seks sebelum nikah apalagi seks bebas. Aku nggak minum, nggak ngedrugs. Aku masih sayang sama diriku sendiri dan nggak mau merusak lebih dalam.” Lagi-lagi aku terkekeh, “Apa dengan mencoba bunuh diri dan nglukai diri lo sendiri, itu bukan namanya merusak diri sendiri?” “Okay, kamu benar. Sekarang aku tanya, lebih merusak mana, self harm atau free s*x?” Pertanyaannya begitu menohok, menusuk dasar hatiku. Aku balas tatapannya dengan tatapan yang tak kalah tajam. Raline bilang, tatapan setajam elang, seperti namaku. “Yang jelas lebih enak seks dibanding nyayat-nyayat kulit. Lo belum pernah ngrasain makanya lo sentimen begini. Atau emang nggak ada satupun cowok yang minat sama lo. Lihat aja bekas luka lo dimana-mana. Badan kurus kayak papan penggilesan, datar, sok-sokan jual mahal. Padahal emang nggak ada yang suka sama lo. Kalau ada yang suka sama lo dan lo juga suka sama dia, gue nggak jamin lo bakal bertahan dengan prinsip lo.” Aku tersenyum sinis. Ekspresi wajahnya berubah makin garang. “Aku tuh punya prinsip. Aku mempertahankan kesucian aku bukan tanpa rintangan. Ayahku berkali-kali mencoba menjualku ke rumah bordil dan teman-temannya untuk melunasi hutang-hutangnya dan aku selalu berhasil lolos. Aku sudah melangkah sejauh ini. Jadi aku nggak punya alasan untuk mundur.” Aku tercekat mendengarnya. Aku terbayang akan perempuan-perempuan yang aku kenal atau yang aku temui di club. Mereka bahkan dengan mudahnya menyerahkan tubuh mereka pada laki-laki yang hanya membawanya untuk one night stand saja. Okay, aku akui gadis ini tak hanya aneh tapi juga langka. “Fine, gue akui lo hebat ngejaga prinsip lo. Tapi bukan berarti juga lo berhak ngejudge orang seenaknya dan merasa diri paling bener. Lo sering nglukai diri lo itu sama aja lo zalim ama diri lo sendiri kan? Kita sama berarti. Nggak ada yang lebih baik.” “Kita nggak sama.” Tukasnya tegas. “Resiko dari self harm mungkin banyak bekas luka, tapi aku melakukannya bukan untuk bunuh diri. Aku sudah dalam tahap kecanduan dan selama ini tidak ada resiko berarti, aku baik-baik saja. Sedang kamu, kebiasaan kamu tidur sama sembarang orang itu beresiko tinggi. Tanpa aku jelasin, kamu sudah paham. Belum lagi kebiasaan minum, have fun nggak jelas." Lanjutnya masih dengan pongahnya. “Lo masih aja ngrasa paling bener ya. Ngejudge gue seenak lo. Gue nggak pernah main sama sembarang orang. Gue pastikan sebelum main, cewek itu bersih, gue kenal dan gue juga selalu pakai pengaman. Gue bukan tipe cowok yang doyan ONS. Gue emang suka minum tapi jarang sampai mabok.” “Tapi tetap aja dosa lo sama kayak yang doyan ONS. Sama-sama berzina.” Buru-buru dia memotong pembicaraanku. “Oh sekarang ngomongin dosa ya. Gue banyak dosa. Terus lo manusia suci gitu? Lo pikir menyakiti diri sendiri, nyayat-nyayat tangan dan paha lo itu bukan dosa? Allah juga nggak suka ama orang yang zalim sama dirinya sendiri.” Emosi juga aku dibuatnya. Dia terdiam. Mungkin dia tengah merenungi perkataanku dan aku yakin dia membenarkannya di dalam hati. “Kalau diri lo sendiri juga berlumur dosa, jangan pernah bicara frontal soal dosa orang lain,” ucapku ketus. “Gue ngantuk. Gue mau ke kamar. Lo tidur di sofa ini. Kalau lo pingin makan atau minum, buka kulkas aja. Besok setelah pakaian lo kering, lebih baik lo cari jalan lo sendiri. Gue nggak bisa terus-terusan nampung lo,” aku beranjak. Dia ikut beranjak dan kami saling berhadapan, “Aku nggak tahu mesti kemana. Aku nggak punya tujuan. Aku bisa kok ngebersihin tempat ini, masak, nyuci, aku udah terlatih ngerjain kerjaan rumahtangga. Aku lihat tempat ini lumayan berantakan. Aku nggak akan minta bayaran. Ehm nggak..nggak.. Kamu cukup bayar aku dengan beliin beberapa potong baju. Setelah itu aku akan cari pekerjaan. Setelah aku dapet pekerjaan, aku akan keluar dari tempat ini.” Kupicingkan mataku. Lira ini memang penuh kejutan. Dan lagi-lagi sikapnya begitu aneh. Dia menawarkan diri jadi asisten rumahtangga sampai dia dapat pekerjaan? Kulihat sekeliling ruangan. Memang sih berantakan. Aku rasa tak apa jika aku menggunakan jasanya. Toh dia cuma minta dibayar beberapa potong baju. “Okay, anggap saja ini kesepakatan kita,” ujarku lalu segera berlalu darinya. Kuambil satu buah bantal dan selimut untuknya. “Pakai bantal dan selimut ini.” Kuletakkan selimut dan bantal itu di meja. “Makasih,” ucapnya pelan. “Ingat akan kesepakatan kita. Setelah lo dapat pekerjaan, tinggalin tempat ini. Gue nggak bisa terus-terusan nampung lo,” sahutku tanpa menolehnya. Aku kembali masuk ke kamar. Kututup pintunya. Kutarik napas pelan, lalu mengembuskannya. Ini bukan pertama kali aku mengizinkan seorang perempuan tinggal di apartemenku. Raline dulu pernah tinggal bersamaku, hanya beberapa minggu sebelum kami putus. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN