Harriet Pindah Ke Menara

1001 Kata
“Jadi setiap hari Madamku lah yang memandikan aku?”  Pria itu begitu dekat, bangun dan berdiri di belakang Harriet. Perasaan lega yang diselimuti peraasan lain yang membuncah di d**a Harriet menenggelamkannya. Harriet merona, tapi rasanya sedikit kesal. Kenapa hal pertama yang pria itu lakukan begitu bangun adalah menggodanya? “Milord!” Harriet ingin protes. “Ya, Madam?” Suara dalam dan napas lembut yang Harriet rasakan di belakang telinganya membuat Harriet semakin berdebar.  “Sa-sa-saya adalah istri Anda! Mengapa Anda menggoda saya saat saya mencoba melayani Anda sebagai seorang istri atau karena saya tidur bersama Anda–” “Pfft…” Harriet semakin kesal mendengar pria yang sedang menahan tawanya itu. Hatinya sedikit sedih mengingat bahwa ia bukanlah Destined Mate pria ini, yang pastinya menjelaskan alasan mengapa pria ini mungkin tidak suka Harriet dekat-dekat dengannya. Di tengah tawanya, dengan polos Liam bertanya, “Apakah Madam tidak mempertimbangkan perasaanku? Aku masih seorang pria yang memiliki harga diri. Saat aku tahu Madam lah yang memandikanku saat aku tidak sadar, apa Madam kira aku tidak merasa malu?” “Anda tidak terlihat malu sama sekali!” Harriet menoleh pada pria itu. Dan benar saja, Liam sama sekali tidak terlihat malu. Ia justru memasang ekspresi penuh kemenangan di wajah tampannya. Senyum di wajah pria itu melebar melihat kekesalan di wajah Harriet. “Madam benar, aku tidak malu, tapi sedikit tertarik. Apa Madam tahu? Aku merasa banyak memimpikan Madam belakangan ini,” ucap Liam. “Apakah itu karena Madam setiap hari memandikanku, atau karena dalam hati aku merindukan Madam?” Harriet tidak mengerti. Impresinya soal pria ini semakin kesini semakin jauh dari impresi pertamanya. Pangeran tampan? Frasa itu segera tercoret di benak Harriet. Pada saat itu, Harriet melihat alis pria itu perlahan mengerut dan tubuhnya menjadi sedikit goyah. Harriet dengan cepat menahan tubuhnya agar tidak jatuh. “Milord?” “Ah, kali ini waktuku lebih singkat dari sebelumnya…” gumam Liam, membuat Harriet semakin khawatir. Pria itu tersenyum lembut pada Harriet.  “Kapan sampai bulan purnama berikutnya, Madam?” suaranya semakin lemah, dan Harriet terus mencoba membantunya kembali ke ranjang. Setelah mereka sampai di ranjang, Harriet menjawab pria itu. “Lima hari lagi… adalah bulan purnama.” Liam tersenyum dan menuruti Harriet yang menekan bahunya untuk berbaring. Keduanya secara bersamaan bertanya-tanya dalam hati bagaimana bisa pria itu bangun. Tubuhnya seharusnya sudah terlalu rusak untuk bisa bangun secara acak seperti ini. “Mari kita mengobrol dengan para tabib soal kondisi badanku saat bulan purnama… karena kita punya lebih banyak waktu saat… itu nanti…” ucap Liam dengan suara lirih. Harriet mengangguk-angguk. “Madam…” bisik Liam pelan. “Ya, Milord?” jawab Harriet. “Mari kita… berdua… bicara juga…” kelopak mata Liam semakin berat. Harriet mengiyakan dengan sabar dan menahan perih di dadanya melihat pria di hadapannya jelas-jelas mencoba sekuat mungkin untuk melawan rasa lelah dan kantuknya. Tepat ketika Liam kembali dalam tidur pulasnya, pintu ruangan diketuk dan dibuka dari luar. Semua orang melihat Harriet berlutut di sisi ranjang dengan kedua tangan bertautan dengan tangan Liam, memandangnya dengan tatapan sedih. Sejenak mereka merasa tidak tega mengganggu momen itu. Daniel maju ke depan bersama para tabib, dan mendengar suara langkah mereka, Harriet menoleh ke belakang.  Wanita itu tersenyum menenangkan. “Young Lord baru saja tertidur kembali. Mari kita periksa beliau sebelum matahari terbenam agar tidak mengganggu istirahatnya,” ucap Harriet lembut. Daniel mengangguk. Harriet mundur ke belakang dan menghela napas panjang diam-diam. Setelah semua tabib selesai memeriksa Liam dan berdiskusi antara satu sama lain, mereka merasa tidak melihat ada perubahan apapun di tubuh Liam, seperti sebelumnya. Para pelayan dan tabib mengundurkan diri, meninggalkan Daniel dan Harriet di ruangan menemani Liam yang tertidur. Harriet tidak sekalipun melepaskan tatapannya dari tubuh Liam, dan Daniel merasa khawatir. “Mulai hari ini, aku akan beristirahat di menara ini setiap malam,” ucap Harriet. Daniel mengerjap bingung. “Bukankah Madam sebelumnya menolak karena Madam tidak suka tempat tinggi?” tanya Daniel. “Mau bagaimana lagi?” tanya Harriet dengan sebuah tawa kecil. “Suamiku hidup di menara seperti seorang putri yang terkurung–” Daniel menahan tawanya. Harriet tersenyum menyembunyikan perasaan sedihnya. Ia meminta Daniel mempersiapkan makan malamnya di atas sini juga. Ia tenggelam dalam lamunan melihat suaminya yang kembali tak bergerak di atas ranjangnya.  ***  Daniel berjalan menuruni menara, dan di dasar menara sudah berkumpul para pelayan dan tabib yang sebelumnya ada di atas melayani. Daniel mengumumkan kondisi Young Lord mereka dan menenangkan semua orang. “Young Lord sepertinya sangat menyukai sang Luna baru,” ucap salah satu pelayan. “Benar… aku berdoa semoga Young Lord bisa mendapatkan kedamaian di hari-hari terakhirnya,” ucap yang lain. Daniel tersenyum hambar mendengarnya.  Selama puluhan tahun kastil ini terus dipenuhi kesedihan karena kondisi sang Young Lord yang terus memburuk. Semua orang telah menerima bahwa pria itu akan mati cepat atau lambat, dan kadang mereka tidak lagi merasa heran melihat perubahan pada tuan mereka. Itu karena mereka sudah terbiasa menganggap Liam sekarat dan sudah satu kaki di dalam kuburan. Tapi bagi pendatang baru seperti Madam, pasti itu masih sulit diterima. Apalagi ia adalah istri barunya. Semua orang melihat sikap Harriet sebagai sikap seorang istri bersuami sekarat yang normal, dan semua orang merasa itu adalah hal yang positif. Mereka senang mendapat seorang calon Duchess yang benar-benar mengkhawatirkan Young Lord mereka. Namun Daniel merasa ini bukanlah hal yang baik. Daniel berharap Harriet tidak akan jatuh terlalu dalam ke kesedihan setiap melihat kondisi Young Lord. Oh, tak ada yang lebih mengkhawatirkan Young Lord selain semua orang di kastil ini, namun semua orang telah menerima hal itu dan siap jika sesuatu yang buruk terjadi pada Young Lord. Namun, Harriet tentunya berbeda. Daniel yakin Harriet akan bersedih. Meskipun ia hanya seorang Mate pengganti, meskipun mereka tidak pernah bertemu atau berinteraksi sebelumnya, meskipun mereka mungkin tidak saling mencintai satu sama lain hingga kini… Daniel merasa Harriet akan menjadi yang paling terpukul jika Young Lord meninggalkan mereka. Ini hanyalah intuisi Daniel.  “Jangan lupa untuk antarkan makan malam untuk Madam dan siapkan kebutuhan sehari-harinya untuk tinggal di menara mulai sekarang.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN