Keesokan harinya, ketika Sakugo berjalan santai di koridor sekolah untuk pergi menuju kelasnya, dia dikejutkan oleh gerombolan siswa yang berkerumun di depan majalah dinding. Desas-desus yang terdengar dari para siswa itu menyebut-nyebut nama Sakugo, tentu saja itu mengkhawatirkan, dia jadi cemas kalau dia terlibat kasus yang membuat namanya terpampang di majalah dinding, bagaimana ini? Tanpa banyak pikir lagi, Sakugo lekas mendekati kerumunan itu dan menyelip ke tubuh-tubuh siswa yang berdiri untuk maju ke posisi paling depan agar dia bisa melihat majalah itu dengan jelas.
"Wah, yang dibicarakan hadir di sini."
"Menjijikan."
"Apa dia tidak tahu malu menampakkan diri setelah,"
"Ssst, nanti dia bisa dengar!"
Setelah Sakugo berada di posisi paling depan, siswa-siswa lain langsung memperhatikannya dan pergi menjauhinya, seakan-akan Sakugo adalah sesuatu yang menjijikan. Memang kesal sih menyadari teman-teman sekolahnya tiba-tiba menjauhinya begitu, tapi itu wajar saja karena majalah yang dimuat di dinding sekolah memaparkan berita yang menjelaskan bahwa Sakugo adalah pelaku p*****l yang menyembunyikan seorang gadis kecil di kamarnya untuk dijadikan bahan bejadnya, dan disertai foto-foto hasil jepretan kamera amatir.
Sakugo yang telah membaca majalah itu langsung keringatan, seluruh pori-pori kulitnya mengeluarkan keringat dingin, wajahnya pun pucat mendadak, bibirnya bergetar dan amarah bergejolak di dadanya seperti kobaran api yang mengamuk.
Semuanya. Semua yang diberitakan di majalah dinding ini mengenai dirinya tidak benar, itu semua adalah kesalahpahaman, tapi tetap saja, Sakugo bingung harus menjelaskan bagaimana karena seluruh siswa sudah terlanjur membaca berita itu dan menyimpan rasa jijik pada dirinya. Masa mudanya sudah berakhir, Sakugo sudah tak tahu lagi akan dibawa ke mana nasibnya di sekolah ini. Jika wali kota sampai tahu mengenai berita palsu ini, mungkin beliau akan menghentikan bantuannya pada Sakugo dan sepertinya ini sudah saatnya dia untuk hidup mandiri.
Hanya karena masalah ini, Sakugo bahkan langsung memikirkan nasibnya ke depan, selain itu, dia juga penasaran siapa dalang yang telah menyebarluaskan berita palsu ini dan mempostingnya di majalah dinding sekolah, jika Sakugo tahu orangnya, tidak peduli siapa pun itu, dia akan menghajarnya sampai babak belur, karena ini sudah menyangkut kehidupannya.
Siapa yang menuliskannya. Siapa yang memotretnya. Siapa yang mempostingnya. Sakugo benar-benar penasaran terhadap pelaku yang melakukan ini. Andai saja kemarin Sakugo menutup pintu kamarnya cepat-cepat setelah tahu ada gadis imut di dalam, mungkin dia tidak akan tertimpa masalah seperti ini. Ini juga termasuk kesalahan Sakugo karena lupa menutup pintu kamarnya, tapi, yang paling bersalah di sini adalah Karlia, karena dia secara tidak sopan masuk seenaknya ke kamar Sakugo tanpa izin terlebih dahulu.
"Ka-Kalian semua salah paham." Sakugo sampai gemetaran ketika memandang siswa-siswa lain memutarinya dengan pandangan jijik, rasa gugup menjalar di pikirannya, malu karena berita itu sudah mencoreng nama baiknya.
Sebelum Sakugo kembali berbicara pada mereka untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya, satu-persatu para siswa pergi meninggalkannya dan mengabaikannya, tanpa peduli pada Sakugo yang ingin memberitahu kebenarannya pada mereka. Alhasil, Sakugo akhirnya berdiri sendirian di depan majalah dinding dengan kepala menunduk karena kesal pada masalah ini.
Padahal ini masih pagi, tapi dia sudah tertimpa masalah seperti ini. Benar-benar sial sekali.
***
"Jadi, Sakugo-kun," ucap wali kelasnya pada Sakugo ketika mereka sedang berada di kantor guru yang berisik oleh ocehan-ocehan guru lainnya yang sedang mengobrol. "Apa benar kalau selama ini kau menyembunyikan seorang gadis kecil di kamarmu untuk dijadikan bahan pelampiasan nafsu bejatmu?" Wali kelas Sakugo adalah seorang guru wanita yang mengajar matematika dan memiliki rambut putih seputih salju dengan wajah manis khas orang dewasa.
Mendengar pertanyaan itu membuat Sakugo menarik napasnya dalam-dalam dan dikeluarkan secara halus, degup jantungnya semakin cepat saat mata wali kelasnya tertuju pada wajahnya. Ini mirip seperti penjahat yang diinterogasi oleh seorang polisi dengan tegas.
"Percayalah padaku, Bu," kata Sakugo dengan nada yakin seyakin-yakinnya. "Berita itu tidak benar, mereka salah paham. Gadis kecil yang ada di kamarku sama sekali tidak kugunakan untuk hal-hal aneh begitu. Kumohon, Zelda Sensei! Percayalah padaku."
Zelda, wali kelas Sakugo, menggelengkan kepalanya setelah mendengar penjelasan dari anak didiknya yang terkena masalah. Sebagai wali kelasnya, tentu saja Zelda tidak langsung menyalahkan Sakugo atau pun membelanya karena dia tidak akan mengambil kesimpulan secepat itu sebelum melihat orang-orang yang terlibat dalam kasus ini. Maksud Zelda, dia ingin bukan hanya Sakugo saja yang disalahkan di sini, gadis kecil itu, sang penulis majalah, sang pemotret, sang pemosting, mereka juga harus bertanggung jawab atas masalah ini tanpa menumpahkan semuanya pada Sakugo.
"Tenang saja, Sakugo. Aku percaya padamu, kalau begitu, kau boleh kembali ke kelas sekarang, tapi ingat, kasus ini belum selesai. Aku akan berusaha untuk memecahkannya."
Kata-kata Zelda terdengar seperti seorang detektif di televisi yang sering Sakugo tonton, tapi setidaknya, berkat itu, dia bisa bernapas lega karena wali kelasnya tidak langsung memberikan hukuman padanya. Sakugo yakin, Zelda sensei pun tengah menanggung malu di kalangan para guru karena anak didiknya terlibat masalah serius, tapi Sakugo kagum pada wali kelasnya, walau semua guru terlihat menggosipinya, wanita berambut putih itu tetap bersikap seperti biasa, tidak tampak rasa gugup, malu, atau takut karena dibicarakan oleh orang-orang disekitarnya.
"Baik, terima kasih, Zelda Sensei."
Masalah ini memang belum selesai, Sakugo tahu itu, tapi entah mengapa, setelah berbicara dengan wali kelasnya, dia merasa lega sekali.
Kini, dirinya sudah ada di kelas, duduk sambil memainkan ponsel pintarnya di meja. Matanya terlalu fokus pada ponselnya hingga tak sadar kalau dirinya sedang jadi target pusat perhatian teman-temannya sekelasnya. Bukan hanya itu, ada korban yang ditujukan di majalah itu yang sedang berdiri di depan meja Sakugo, dengan tersenyum tipis menatap wajah fokus lelaki itu, benar sekali, dia adalah Karlia. Tanpa peduli setiap orang terkejut dengan kemunculannya yang tiba-tiba di depan meja Sakugo, Karlia santai berdiri sambil menanamkan tangan kanannya di pinggang.
"Sakugo Kiwasaki," ucap Karlia dengan suara yang begitu lembut, membuat suasana riuh kelas menjadi sepi mendadak. "Seperti janjiku, aku datang lagi ke hadapanmu."
Mendengar ada suara gadis yang tak asing di telinganya, kedua bola mata Sakugo dialihkan dari ponselnya menuju seseorang yang sedang berdiri di depan mejanya, dan astaga, Sakugo sangat kaget dengan kemunculan Karlia di dalam kelasnya tanpa sadar kalau seluruh teman-temannya sedang menatap benci padanya. Sebenarnya apa yang ada di pikiran Karlia sampai ceroboh datang ke kelas Sakugo di saat situasinya sedang panas begini.
"K-Kau!?" pekikan Sakugo membuat teman-temannya berbisik bersamaan.
"Cih, dia sepertinya kaget karena gadisnya ada di sini."
"Benar, dengan ini, bukti sudah semakin kuat bahwa dia memang seorang p*****l busuk."
"Mampus kau, Sakugo, bahkan gadis itu akan meminta pertanggung jawaban padamu di sini."
"Aku jadi penasaran bagaimana reaksi Sakugo."
Suasana kelas semakin berisik oleh bisikan-bisikan teman-teman sekelas Sakugo, membuat Karlia mengerlingkan bola matanya ke setiap wajah-wajah pembisik yang tak tahu malu pada bisikannya yang sengaja dikencangkan agar terdengar oleh Sakugo. Ini sudah sangat keterlaluan.
"Sakugo," Karlia kembali memperhatikan Sakugo setelah terganggu dengan wajah para pembisik di kelas ini. "Bagaimana? Kau sudah tenggelam dalam masalah di sini, tidak ada lagi alasan bagimu untuk tetap melanjutkan hidupmu di sini. Jadi kemarilah, ikutlah denganku ke Wilayah Kesengsaraan agar kau bisa melupakan orang-orang bodoh ini yang mudah sekali termakan gosip konyol," sindir Karlia pada teman-teman sekelas Sakugo dengan mantap. "Keputusan sepenuhnya ada pada dirimu. Ingin mengubah hidupmu ke tempat yang tak pernah terbayangkan olehmu atau ingin tetap melanjutkan hidupmu di tempat orang-orang t***l ini bernapas?"
Mendengar tawaran dari Karlia di dalam kelasnya yang juga hadir teman-teman sekelasnya membuat Sakugo sedikit ragu untuk menjawabnya.
"A-Aku," Sakugo mendadak jadi terbata-bata. "Harus menyelesaikan masalah ini dahulu, barulah akan kujawab tawaranmu, Karlia."
Karlia langsung tersenyum setelah Sakugo menjawab ajakannya. "Jadi begitu," Kepala gadis itu langsung ditolehkan ke orang-orang yang masih saling berbisik di sekitar. "Kuanggap jawabanmu itu positif, yang artinya, kau mau ikut denganku setelah menghabisi wajah-wajah dari orang-orang busuk ini."
"Bu-Bukan oi! Maksudku--"
"Diam dan lihat saja, aku akan membongkar masalah ini dengan caraku sendiri yang terbilang cukup mematikan." ucap Karlia dengan tersenyum miring.
BERSAMBUNG ...