“Terlambat?”
Seorang guru piket sudah berdiri di pos satpam ketika Naraya masuk. Dari sorot matanya, bapak itu terlihat tidak senang akan keterlambatan Naraya. Apalagi dia datang pukul sembilan dengan wajah tidak berdosa.
Naraya yang sudah memarkirkan skuter lantas meraih lipatan kertas yang sudah dipersiapkannya di kantong samping tas. Surat sakti itu disodorkan ke guru tersebut. “Saya dari menghadap Pelatda, Pak.”
Perlahan, sang guru mulai membaca surat pengantar yang ada. Surat tersebut menerangkan kepulangan Naraya dari Pelatihan Nasional (Pelatnas) panjat tebing di Yogyakarta yang kemudian proses latihannya dialihkan di bawah pengawasan Pelatihan Daerah (Pelatda) atas permintaan pihak sekolah. Guru itu mengangguk dan mengembalikan surat ke Naraya. “Lain kali, kalau bisa jangan sampai memotong waktu belajar.”
Naraya tersenyum tipis dan berlalu dari pos satpam. Budi, sang satpam, juga meliriknya. Dari tatapan Budi, Naraya tahu kalau pria itu terkejut. Mungkin Budi tidak percaya Naraya yang terkenal sebagai tukang melompati dinding belakang, kali ini, malah datang dari pintu depan.
Senyum miring di wajah Naraya masih berlekuk. Diam-diam, dia menertawakan kebodohan mereka.
Tentu saja, sekarang dia punya surat sakti. Surat yang membuatnya bebas dispensasi kegiatan belajar mengajar. Nama Naraya masuk ke dalam deretan atlet yang akan mengharumkan nama Indonesia. Sehingga saat ini, jika terlambat sekalipun, Naraya tidak perlu lagi melompat dinding diam-diam seperti yang dilakukannya saat kelas sepuluh, dahulu.
Kaki dengan sepatu gunung itu mulai berjalan santai di koridor yang membentang sepanjang lantai satu. Naraya mendengkus, begitu menyadari beberapa pasang mata dari dalam kelas di lantai satu melirik ke arahnya. Ya, dia tahu akan menjadi perhatian. Di saat adik-adik kelas itu sedang belajar, dia malah cuek menyandang ransel di depan d**a.
Cukup kontroversional mungkin. Ketika murid telat akan terlihat sebagai makhluk paling mengenaskan seluruh dunia, dia malah melangkah jemawa nan percaya diri.
Dengan mengantongi tangan di saku rok, matanya mengamati sekitar. Sebulan setengah tidak mendatangi tempat ini, tak ada yang banyak berubah dari bangunan sekolah. Bangunan sekolah bertingkat tiga yang berbentuk seperti huruf U, memutari lapangan badminton dan juga taman di depan koperasi. Kanopi lebar menutup lapangan itu seolah menyatukan bangunan kanan dan kiri. Gentingnya berwarna merah marun, terlalu mencolok dari jauh. Lapangan basket yang lantainya baru diperbaiki berada di samping bangunan, lapangan itu sering dipakai juga sebagai lapangan futsal.
Yang berubah hanya warna cat, sekolahnya kini dicat berwarna krem. Syukurlah, tidak berwarna hijau kampungan lagi. Setidaknya itu tidak membuat murid baru yang akan mendaftar ke sekolah negeri favorit ini jadi mundur karena tampilan norak. Siapa sih yang dulu memilih cat tembok berwarna hijau menyala? Rendah sekali seleranya, ejek Naraya dalam hati.
Dia mulai menimbang, masuk ke kelas dengan waktu yang mepet bukan prioritasnya. Kakinya lalu berjalan cepat ke arah kantin. Lagi pula untuk apa ke kelas yang berada di lantai dua sedangkan sebentar lagi bel istirahat? Ah, itu sih buang-buang energi saja.
Cewek bertubuh kecil nan kokoh itu memasuki kantin yang masih sunyi. Surat sakti tadi diselipkannya ke dalam tas, lalu tas tersebut ditaruh sembarang di kursi. Tangannya mulai mengeluarkan baju yang tadi dimasukkan rapi guna mengecoh guru, juga melepas lencana nama dan logo sekolah yang tadi ditempel buru-buru menggunakan double tip.
Perunya mulai lapar dan para penghuni perutnya sudah berdemo.
“Nay! Kangen, deh!”
Makwo, si pemilik kantin, menjawil pipinya setelah meletakkan bakso. Naraya hanya menyengir sebagai balasan. Di sekolah ini terdapat empat kantin dan satu koperasi. Ada kantin depan yang isinya penuh dengan koloni cewek, kantin belakang disebut kantin biru tempat berkumpulnya murid kelas 12, kantin Makwo biasa disebut kantin Pasuspala atau Pespel, kantin umum atau kantin netral-lah yang bisa dimasuki siapa saja.
Jika kantin depan hanya dimasuki siswa perempuan dan kantin biru hanya dimasuki senior kelas dua belas, kantin Pespel hanya anak-anak Pasuspala dan simpatisannya yang leluasa masuk. Siswa lain yang biasa-biasa saja akan memilih kantin netral atau koperasi.
Sebelum makan, Naraya mengeluarkan handgrip dari kantong. Tangan kirinya menekan-nekan benda keras tersebut, sedangkan sebelah tangan lagi dipakai untuk meracik bakso dengan banyak sambal dan sedikit kecap. Tugas dia selama kembali ke Jakarta adalah menguatkan otot pergelangan tangan kiri. Makanya selalu membawa handgrip ke mana pun.
Naraya mulai melahap bakso dengan santai. Sebentar lagi, penghuni kantin ini akan berdatangan.
Orang yang pertama datang ke kantin setelah bel istirahat berbunyi adalah Gesna. Teman sebangkunya itu langsung menjamah minuman Naraya. “Ampun, panas banget! Bagi minum.”
Naraya yang lagi duduk bersila sembari mengusap hidung beringus karena kepedasan, tidak sempat menghentikan pergerakan Gesna. Gerakan tangan cewek itu lebih cepat dari kedipan mata.
Tak lama, Gesna mengaduh. Kepala cewek itu sudah ditoyor Naraya dengan handgrip.
“Gege! Apa sih falsafah hidup lo?” tanya Naraya tajam begitu menyadari gelasnya kosong sedangkan dia kepedasan.
“Buset. Gue cuma habisin minum, lo tanya falsafah hidup. Ribet amat hidup lo, Nay.” Gesna terkekeh lalu mengambil sebuah teh botol dari lemari pendingin. “Mana oleh-oleh dari Yogya?”
Mata Naraya kembali mendelik kala Gesna bertanya sambil menyomot satu bakso dari mangkoknya dengan jari. Gesna dan serampangan memang paket komplit. Toyoran tadi rupanya kurang keras, tidak memengaruhi kerja isi kepala sang kapten basket putri di sampingnya. Dia kemudian memutar mata malas dan menerima teh yang disodorkan Gesna.
“Capek sama baju kotor, mau lo?” jawab Naraya sembari menghirup teh yang mulai habis.
“Yaelah. Gue pikir oleh-oleh bakal dipeperin waktu istirahat. Kecewa penonton,” protes Gesna sambil menuju ke dapur hendak memesan makanan. Gesna dekat dengannya sejak kelas sepuluh. Gesna memang bukan anak Pasuspala, tetapi bisa dengan santai masuk-keluar kantin ini. Kedekatan Gesna dengan Naraya juga sikap ramai cewek itu menjadi tiket masuk seumur hidup ke kantin yang dikenal angker oleh penghuni sekolah.
Naraya meneruskan kunyahan tanpa menggubris omongan tadi. Dia ke Yogya bukan untuk jalan-jalan atau liburan, peduli apa tentang oleh-oleh. Tidak bawa oleh-oleh saja kedatangannya tetap ditunggu, kok. Lihat saja, sekarang Naraya mulai kesulitan menjawab sapaan penghuni kantin yang mulai berdatangan satu per satu, menanyakan kabarnya, menanyakan bagaimana progresnya selama berada di asrama atlet.
Mau tak mau, Naraya sedikit menjelaskan bahwa pelatih akhirnya memulangkannya dari Pelatnas karena pihak sekolah mulai protes atas ketidakhadiran dia lebih dari satu bulan dalam kegiatan belajar mengajar. “Biasa, gue memang ngangenin,” tambah Naraya menutup penjelasan singkatnya.
“Siapa yang kangen? Pak Indro kali yang kangen. Sekarang, nggak ada murid yang bisa dikejarnya lagi. Secara cuma lo yang kalau lari kayak maling apalagi kalau udah mau cabut lompat dinding,” sela Gesna mengejek.
Naraya mencibir. Pendapat itu adalah pendapat paling garing yang pernah dia dengar, mengingatkan bagaimana berkenalan dengan Gesna, pertama kali. Mereka tidak berkenalan baik-baik dan wajar. Cewek itu dulu mengikutinya lompat dinding agar tidak tertangkap guru piket yang sedang patroli. Naraya tidak pernah merasa mengajak atau mengajari Gesna akan hal itu. Namun, Gesna sepertinya sangat berterima kasih telah diselamatkan dalam kondisi genting. Semenjak itu, Gesna mendekatinya dan menganggap dia sahabat.
Sahabat? Naraya kembali tersenyum miring. Masih saja ada orang yang percaya hubungan penuh bualan kosong dengan alasan saling mengerti. “Udahlah, akuin aja. Gue memang ngangenin orangnya. Ya, ‘kan?” tanyanya dengan mengedarkan pandangan mengeliling.
“Kami cuma kangen ditraktir lo kok, Nay,” canda Gesna yang diamini beberapa orang.
“Memang murahan lo!” balas Naraya pedas namun tidak ada satu orang pun tersinggung. “Ya, udah. Makan sono lo pada, gue bayarin. Gue nggak bawa oleh-oleh soalnya.”
Terdengar suara ‘Yessss!’ dan beberapa orang mulai memesan makan sesuka hati.
“Ada apaan rame-rame?” tanya Adji yang baru sampai di pintu kantin.
“Ditraktir Nay,” jawab penghuni yang lain.
Adji mengedarkan pandangan mencari lantas tersenyum begitu melihat sosok Naraya. Di tangannya ada sebuah botol berisi cairan berwarna pekat. “Naraya Hardiyanto. Tebak! Apa yang saya bawa?” tanya Adji dengan gaya seorang pembawa acara.
“Racun tikus?” jawab Naraya asal, tidak tertarik dengan tebak-tebakan Adji.
“Salah. Silakan diulangi,” pinta Adji dengan tegas. Kontras dengan bibirnya yang masih tersenyum. Senyuman yang bikin dedek-dedek gemes di kantin depan menjerit histeris, tapi nggak berefek apa-apa sama Naraya.
Tangan kiri Naraya memindahkan handgrip ke kanan, dia masih tidak peduli dengan tebakan Adji. “Hadiahnya berapa juta? Kalau cuma satu-dua juta, bagus nggak usah ajak gue tebak-tebakan. Diketawain sama saldo OVO gue, nanti.”
Adji terkekeh lantas menjitak kepala Naraya dengan gemas. “Serius, oi. Jawab, kenapa?”
“Idih, sukanya yang serius-serius? Baper lo nanti.”
“Tebak aja, deh.”
Naraya menggaruk pelan kepala sambil memperhatikan yang dipegang Adji. Rambut pendeknya tampak acak-acakan. “Ini sih palingan kencing codot yang lo tampung buat lo raupin ke muka. Biar susuk lo mujarab.”
Adji mulai tergelak. Alis tebal kakak kelasnya itu sudah berkerut seperti ulat bulu, mengingatkan Naraya dengan wajah seseorang. “Asal aja lo. Ini madu hutan Kalimantan. Buat stok madu lo, gue lihat udah mulai habis. Sengaja madunya yang nggak begitu manis, kan lo udah manis. Baik ‘kan gue?”
Mengenai madu, satu kantin juga sudah tahu, Naraya suka minum air putih dingin dicampur madu. Bukan hanya itu, jika minum jus juga ditambahkan madu sebagai pengganti gula. Madunya sendiri selalu Naraya stok di kantin dan siapa pun boleh mengambil jika mau.
“Ya, ampun! Kamu memang paling tahu ya kalau aku tuh udah manis dari lahir. Tengkyu, Beibi,” puji Naraya berusaha lembut. Dia bahkan menyempatkan diri berkedip-kedip manja agar terlihat terpukau.
Sedangkan Adji mencibir, sebab tahu sekali yang dilakukan Naraya adalah ejekan. Kalau orang mendengar ucapan tadi merasa itu ucapan manis, tentu salah. Naraya selalu memanggilnya dengan ‘Babi’. Jika yang mendengar adalah orang awam pasti mengira itu adalah umpàtàn kasar. Padahal tidak, itu seperti panggilan kesayangan saja. Malah aneh kalau Naraya ngomong ‘Beibi’ karena bagaimanapun maksudnya tetap sama, tetap babi.
“Udah baik, ganteng lagi, lucu, imut, menggemaskan,” ujar Naraya menaik-naikkan pujiannya.
“… tapi sayang, jones,” tambahnya lirih sekali hampir tidak terdengar.
“Apa lo bilang?” Mata Adji membulat mendengar kalimat tambahan yang datang.
Naraya kontan terbahak-bahak membuat teman dekatnya itu memiting leher dia selama beberapa detik. “Lepas, Babi!”
Tangan Naraya kemudian menyikut dengan sàdis dan memukulkan handgrip pelan ke kepala Adji. Teh botolnya sudah habis tetapi dia terus mengisap hingga terdengar suara srot-srot-srot yang memprihatinkan, dan tak lama, Naraya serdawa dengan keras.
Adji hanya menggeleng heran melihat kelakuan absurd barusan, dan Gesna menyebut perilaku Naraya itu dengan satu kata.
Gendeng.
“Apa?! Lo mau bilang gue gendeng?” tebak Naraya sambil mengetuk-ngetuk pàntàt botol kosong yang sudah dipegang terbalik. Seolah siap dipecahkan di kepala Gesna.
Gesna mengatupkan bibir. “Bujug. Galak amat, Non, jodohnya jauh nanti.”
“Masih mending jodoh gue jauh, diumpan juga ngedeket. Lah, jodoh lo mati di kandungan. Kapok!” balas Naraya menyeringai seolah-olah habis membaca mantra kutukan.
“Idih, sàdis bibirnya. Gue doain nanti jodoh lo kayak babi,” protes Gesna.
“Bibir lo kali yang karet dua. Kalau jodoh lo masih hidup, palingan juga dia males ketemu sama lo. Jomlo terus deh lo sampe kiamat.” Naraya tetap tidak mau kalah.
“Naaaay! Tega amat doanya. Amit-amit. Amit-amit!” ucap Gesna sambil mengetuk meja kantin tiga kali. Tidak puas mengetuk meja kantin, Gesna lalu berjongkok untuk mengetuk lantai tiga kali guna melenyapkan kutukan dari Naraya.
Orang-orang di kantin tertawa oleh kelakuan Gesna dan Naraya. Hanya Gesna yang bisa santai mengimbangi mulut pedas Naraya.
“Eh, Nay. Lo nggak ke sekre? Tadi, gue dengar anak-anak Pespel pada kumpul ke sana.”
Naraya diam lalu mengamati sekitar. Pantas saja dari tadi anak Pasuspala tidak terlihat di kantin ini. “Kenapa lo baru bilang sekarang, Gege?!” protesnya sambil kembali menoyor kepala Gesna.
Dengan segera, Naraya bergerak hendak berlari keluar kantin. Namun, kakinya tersangkut oleh sebuah kaki panjang dan dia sukses jatuh berlutut ke lantai. Tunggu, bukan tersangkut! Sengaja dijegal lebih tepatnya.
Naraya menoleh tajam dan terlihat Adji sedang menahan geli. Dia bangkit sambil memicingkan mata. Seandainya yang menjegal tadi bukan Adji, tentu saja sudah habis dibabatnya. Namun, Adji ini Babi kesayangan satu kantin, teman bercanda serta memaki tanpa batasan.
“Tunggu balasanku, Cu Pat Kai!” ancam Naraya berlalu.
Adji tertawa sangat lepas. Diam-diam cowok itu rindu menjaili Naraya.
Di tanah lapang depan kantin, Naraya membalikkan badan dan berteriak, “Makwo… Semua tagihan makanan anak-anak atas nama gue tadi, dibayarin Kak Adji, ya!”
Dia lalu tertawa keras penuh kemenangan begitu melihat mata Adji yang mau keluar karena pemalakannya.