Bab 1 : Anak Yang Tidak Bisa Berbicara 1

1413 Kata
# Arruna menarik napas panjang. Hari ini adalah hari pertama ia resmi menjadi salah satu karyawan dari ibunya sendiri setelah tujuh bulan lamanya di rumah sakit dan dua minggu pemulihan di rumah. Beberapa luka di tubuhnya akibat kecelakaan yang ia alami juga hanya tertinggal bekas yang tidak terlalu kentara. Ibu dan kakaknya menggunakan seluruh tabungan mereka untuk membelikannya obat-obat mahal agar tidak ada bekas luka di tubuhnya, mereka berkorban seperti itu untuknya, mana mungkin ia bisa lebih lama lagi berdiam diri di dalam kamar dan menyesali kejadian yang sudah lewat bertahun-tahun lamanya? Yah meskipun saat ia sadar dari koma, semuanya terasa seperti baru terjadi kemarin. Arruna mengira dirinya masih delapan belas tahun, sebentar lagi sembilan belas dan baru saja menerima beasiswa di fakultas seni. Kenyataannya, ia sudah berusia dua puluh enam tahun dan ia tidak bisa lagi melukis ataupun bermain musik. Karena kecelakaan yang ia alami sekitar tujuh tahun lalu, ia kehilangan kemampuan untuk melukis ataupun bermain musik. Tangannya gemetaran saat memegang kuas ataupun gitar. Ia bahkan tidak bisa memainkan piano atau biola yang dulu sangat ia sukai. Awalnya Arruna sama sekali tidak bisa menerima kenyataan itu. Tapi setelah berkali-kali mencoba, ternyata, ia memang telah kehilangan kemampuannya, sekaligus harapannya untuk meniti karir di bidang seni. Setelah beberapa waktu, pada akhirnya Arruna menerima kenyataan kalau ia tidak lagi memiliki bakat yang dulu ia banggakan. Tapi, saat melihat betapa kerasnya ibu dan kakaknya berusaha agar mereka bisa hidup layak, Arruna tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan. "Kakak...biar aku yang kerjakan." Ucap Arruna. Syeni menatap Arruna. "Kau yakin?" Tanya Syeni. Arruna mengangguk mantap. Syeni tersenyum. Ia menatap jam dinding, sebentar lagi ia memang harus berangkat kerja. "Aku akan bersiap untuk berangkat kerja kalau begitu. Masalah membuka toko roti ini, mulai sekarang aku serahkan pada dirimu dan Mama ya," ucap Syeni. Arruna tertawa. "Baik Ibu bos....," ucap Arruna. Syeni hanya tertawa mendengar adiknya memanggilnya seperti ketika mereka remaja dulu. "Kak...kau pasti bisa. Jangan menyerah. Suatu saat kau akan menjadi pengacara seperti yang kita cita-citakan dulu." Ia mencoba memberi kakaknya semangat. Sejak kecil Syeni ingin menjadi pengacara dan Arruna ingin menjadi seorang pelukis atau mungkin pemain biola terkenal. Mereka sangat yakin dengan cita-cita mereka, tapi sekarang kenyataannya hanya Syeni yang mampu menggapai cita-citanya, jadi Arruna ingin kakaknya lebih bersemangat. Syeni menatap Arruna dengan pandangan sedih dan memeluknya. "Maafkan aku. Aku tidak bisa melindungimu dengan benar," ucap Syeni. Arruna menepuk pelan punggung kakaknya. "Tidak apa-apa..aku akan menemukan cara untuk mencapai apa yang aku inginkan dan hidup dengan baik. Meski rasanya aneh tiba-tiba sudah berusia dua puluh enam tahun, tapi tampaknya tidak buruk juga," ucap Arruna. Syeni mengangguk pelan dan melepaskan pelukannya. "Aku paham. Kau bukan orang yang akan menyerah dengan mudah," ucap Syeni akhirnya. Syeni berlalu ke kamar mandi dan bersiap-siap untuk berangkat kerja. Saat tinggal ia sendiri di tempat itu, Arruna tertegun sejenak. Ia menatap kedua tangannya yang dulu sangat ia banggakan. Berbicara memang gampang. Pada kenyataannya, ia tidak tahu kapan ia bisa menemukan tujuan lain selain menjadi seorang seniman. Menjadi pekerja kantoran jelas bukan bidangnya. Arruna memejamkan matanya sejenak. "Bodo amatlah. Yang penting sekarang, kerjakan saja dulu yang ada di depan mata," ucapnya pada dirinya sendiri. Arruna bekerja menata roti seperti yang diajarkan oleh ibu dan kakaknya kemarin, ia menyapu dan mengepel, kemudian bersiap membuka pintu toko dan membalik tanda toko. Betapa terkejutnya ia saat melihat sebuah mobil BMW hitam diparkir di halaman toko rotinya. Tanpa sadar, Arruna berdiri menatap mobil BMW itu. Perlahan kaca jendela mobil diturunkan dan tampaklah penumpang mobil itu yang ternyata seorang anak kecil. Anak itu menatap Arruna dari jauh. Arruna tetap berdiri di depan tokonya terpesona pada anak laki-laki kecil tampan yang tengah menatapnya dengan sorot sedikit aneh. Beberapa saat kemudian seorang pria paruh baya berpakaian rapi masuk kedalam toko dan langsung mengambil dua buah roti srikaya dan sebuah s**u kotak rasa strawberry. Pria paruh baya itu kemudian menghampiri Arruna di meja kasir. "Anu Non, maaf...saya dari tadi mencari roti kelapa tapi tidak ketemu. Tuan kecil saya soalnya tidak mau sarapan kalau tidak ada roti srikaya dan roti kelapa," ucap pria paruh baya itu. Arruna berdiri dan membantu mengambilkan roti kelapa yang terletak si sudut rak. Jaman sekarang sangat jarang ada orang yang masih suka dengan roti kelapa, jadi ibunya tidak membuat banyak roti jenis itu dan tidak diletakkan di tempat yang bisa ditemukan dengan gampang. "Ini roti yang enak, jarang ada yang masih suka. Tuan kecilnya bapak benar-benar unik." Ucap Arruna. Jujur, ia tidak tahu kalau masih ada orang lain yang suka dengan roti seperti itu selain dirinya dan kakaknya. Pria paruh baya itu tertawa. "Tuan kecil memang mirip sekali dengan ibunya." Arruna tersenyum dan memasukkan belanjaan bapak itu kedalam plastik. Arruna memperhatikan saat anak itu menerima bungkusan dari pria tersebut dengan senyum sumringah. Tanpa sadar ia ikut tersenyum. Beberapa saat kemudian kakaknya keluar dengan baju rapi. "Runa, aku lupa bilang kalau setiap pagi ada anak yang selalu menjadi pelanggan tetap kita," ucap Syeni. "Oh maksudmu anak laki-laki yang berwajah tampan dan punya bola mata yang indah? Tadi dia sudah datang," ucap Arruna ringan. Syeni mengambil sandwich dan sebuah roti kelapa. "Oh ya?...dia biasanya akan menunggu di depan toko. Sekolahnya dekat dari sini," ucap Syeni. "Anak yang tampan ya. Aku penasaran seperti apa ayah dan ibunya. Yang pasti orang tuanya pasti kaya raya mengingat dia diantar dengan BMW." Ucap Arruna dengan pandangan menerawang. "Namanya Gi." Sebuah suara muncul dari belakang Arruna. "Mama, ini masih pagi, tidurlah lagi." Ucap Arruna. Nyonya Wina—ibu Arruna sekaligus pemilik toko roti itu melangkah dan duduk disamping Syeni. "Mama sengaja bangun pagi agar bisa bertemu dengan pelanggan kecil kita tapi tampaknya mama terlambat," ucapnya sambil tertawa. "Mama, bukannya Gi selalu menunggu dijemput disini?" ucap Syeni sambil menatap ibunya. Nyonya Wina berpikir sejenak. "Oh benar juga. Nanti kosongkan kursi ini, Gi suka duduk sambil menggambar disini." Kali ini Nyonya Wina menatap Arruna. "Oke," ucap Arruna, perhatiannya kini teralih ke majalah di tangannya. Arruna tidak memperhatikan ekspresi sedih yang sempat terlihat di wajah ibu dan kakaknya. "Runa, bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Nyonya Wina. Arruna menatap ibunya sejenak dan kemudian kakaknya, kemudian ia menatap ke sekeliling toko roti itu. "Aku merasa baik. Rasanya nyaman berada di rumah," ucap Arruna. Nyonya Wina menarik napas perlahan. "Syukurlah, mama ikut bahagia untukmu," ucap Nyonya Wina. Syeni meneguk kopinya hingga habis dan mencium pipi ibunya. "Aku berangkat dulu," ucap Syeni. Ia kemudian berbalik ke arah adiknya. "Bekerjalah dengan baik," ucap Syeni. Arruna tertawa. "Serius, mentang-mentang kau lebih tua dariku sejak dulu selalu saja kau berlagak seperti bos..." Syeni mengangkat tangannya sambil melambai ke arah Arruna sebelum berlari ke arah motor bebeknya yang selama ini sudah menjadi kendaraan tetapnya lima tahun terakhir. Arruna menatap kepergian Syeni dengan sepeda motornya. “Dia sudah bisa mengendarai motor rupanya, dulu sepeda saja takut,” ucap Arruna. Rasa dia masih sulit untuk percaya kalau kakaknya akan bisa mengendarai motor suatu hari nanti mengingat betapa takutnya dia dulu. Nyonya Wina kembali tertawa, membuat dua garis keriput semakin kentara di sudut matanya. " Syeni mati-matian belajar mengendarai motor, tadinya karena dia merasa bersalah padamu. Hanya saja menurut mama, rasa bersalahnya menghasilkan hal yang mengubahnya menjadi lebih baik, jadi kau tidak perlu merasa terbebani juga," Ucap Nyonya Wina. Arruna diam sejenak. Ia ingat kecelakaan itu, kecelakaan yang membuatnya tidak bisa lagi memegang kuas lukis ataupun bermain musik. Hari itu, ia dalam perjalanan menuju kampus Syeni dan saat itulah ia mengalami kecelakaan yang membuat otot-otot jarinya rusak. Meski sekarang kedua tangannya sudah terlihat normal, tapi tetap saja, kecelakaan itu membuatnya tidak bisa lagi melakukan dua hal yang ia senangi sekaligus menghancurkan masa depannya secara instan. Ia sama sekali tidak menyalahkan Syeni. Mungkin, dirinya memang tidak ditakdirkan untuk menjadi pekerja seni. "Aku...tidak ingin Syeni menyalahkan dirinya karena kecelakaan itu. Hari itu, aku terlalu sedih karena Surya ingin memutuskanku. Aku menangis di sepanjang jalan dan tidak memperhatikan lalu lintas. Aku hampir saja menabrak seorang anak saat itu, kalau sampai terjadi sesuatu pada anak itu, aku pasti akan merasa sangat bersalah," ucap Arruna. Nyonya Wina menatap Arruna sejenak. "Cukup tentang masa lalu. Itu sudah lama berlalu. Sekarang kau harus fokus pada masa depanmu. Apa yang akan kaulakukan, apa yang kau inginkan, pikirkanlah itu dengan bijaksana, pelan-pelan, dan hati-hati. Kau selamat dari dua kecelakaan mematikan, keduanya hampir membuat mama berhenti bernapas dan....." "Mama..." Arruna memotong kalimat ibunya. "Jangan khawatir, aku akan hidup dengan baik mulai sekarang," lanjutnya. Sebuah senyuman cerah menghiasi wajahnya. Bersambung.....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN