02. Confused Aly

1534 Kata
“Pagi, Nu. Gimana jadwal hari ini?” sapa Aly pada Ranu yang tengah sibuk di meja kerjanya. “Lumayan padat, Pak. Meeting akbar sama cabang perusahaan jam sepuluh ini.” “Ah iya, gue lupa. Materinya udah disiapin, kan?” “Sudah jauh-jauh hari, Pak Bos.” “Lo emang paling bisa gue andalkan, Nu.” Ranu menyunggingkan senyumnya. Apa lagi yang membuat harinya semangat selain waktu gajian? Yaitu, pujian atasan di pagi hari. Rasanya, ia seperti mendapat energi lebih untuk hari sibuknya ini. “Udah nyengirnya, Nu. Gue mau kopi, dong. Kayak biasa, ya.” “Siap, Pak Bos!” Setelah menyiapkan semua data yang akan digunakan untuk meeting akbar kali ini, Aly merapikan pakaiannya yang berantakan karena ia memang selalu tak bisa diam jika bekerja. Tentu saja, sang ayah lah yang memimpin rapat. “Ranu, ini gue harus ngomong?” “Ya harus, Pak. Jelasin perkembangan perusahaan setahun terakhir.” “Padahal, pas pulang kemarin, gue udah bahas ini sama papa.” “Ya beda, Pak. Itu kan obrolan keluarga.” Ucapan Ranu ada benarnya. Ya, walau sebenarnya ia malas harus bertatap muka dengan banyak orang seperti ini. Belum lagi, orang-orang dari cabang lain yang tak henti-hentinya mencari perhatian. “Nu, gue males nanti ketemu orang-orang caper.” “Tahan, Pak. Biasa aja. Bapak kan swag.” “Swag sweg swag sweg! Udah rapi nih gue? Nanti ditegur Papa.” Ranu mengacungkan jempol sebagai jawaban. **** “Al, makan siang sama Papa, ya.” Ardan menepuk bahu Aly saat mereka baru saja keluar dari ruang rapat. “Al sama Ranu, Pa. Iya kan, Nu?” Ia memberikan kode pada sang sekretaris. “Ya udah ajak Ranu sekalian. Jangan suudzon. Papa ngajak kamu doang ini.” Aly mengangguk meski agak sangsi kalau ternyata ini obrolan bisnis yang berkedok makan siang. Namun, ia iyakan saja daripada sang ayah kecewa. Sudah terlanjur juga. Sepertinya, Aly memang terlalu banyak menuduh orang akhir-akhir ini. Karena nyatanya, sekarang ia tengah makan siang biasa. Tak ada urusan pekerjaan sama sekali di antara mereka. Kesibukan membuat pikirannya menjadi lebih kacau. “Kamu tadi curiga ya sama Papa?” tanya Ardan setelah makan. “Maaf, Pa. Biasanya kan gitu.” “Papa tau kamu capek. Tapi, kurang-kurangin tuh rasa curiganya.” “Iya, Pa.” “Hari ini kantor free. Orang-orang kantor cabang mau jalan-jalan. Kamu kalau mau istirahat, istirahat aja.” Tumben sekali, biasanya Ardan akan meminta Aly untuk sibuk sana-sini mengatur orang-orang. “Makasih, Pa. Tapi, kalo ada yang bisa Al bantu, nanti Al coba. Kan, ada Ranu juga.” Ranu yang sejak tadi diam menyimak pembicaraan anak dan ayah ini kini hanya mengangguk dan tersenyum. Aly kembali ke ruangannya dengan wajah yang cukup cerah. Ia merasa akhir-akhir ini orang tuanya sangat mengerti dirinya. “Seneng banget, Pak?” “Lumayan, Nu. Papa mama gak kayak biasanya. Gue kayak tenang gitu.” “Eh, mau ke mana, Pak?” tanya Ranu yang melihat Aly keluar membawa mugnya. “Ke pantry. Mau ambil minum.” “Biar saya aja, Pak.” “Gak usah, Nu. Karena gue lagi longgar, gue gak usah nyuruh-nyuruh lo. Tapi, kalo bisa tolong teleponin orang buat ganti galon,” kekeh Aly. Ranu menepuk dahinya karena lupa dan sampai membuat air galon di ruangan Aly habis. “Aly!” Aly yang membawa mug berisi air itu tentu saja terkejut saat mendengar orang yang memanggil namanya begitu keras. “Kamu manggil saya?” tanyanya. “Oh, maaf, Pak. Bukan Bapak. Tapi, Alysandra. Itu, yang sembunyi di belakang vas.” Jawaban orang yang Aly ketahui adalah manager kantor cabang itu membuat Aly mengernyit heran. “Aly, saya minta data-data ke kamu bukan mau marahin kamu karena numpahin air.” Aly masih menyaksikan drama tersebut. Gadis yang memiliki nama panggilan sama dengannya itu pun keluar dari persembunyiannya. “Maaf, Pak. Saya kira, tadi Bapak mau marah-marah.” Gadis itu mengerucutkan bibirnya lucu. “Kamu memang selalu gitu. Saya gak ada niat marah, malah dituduh. Jadinya, saya mau marah beneran.” “Maaf, Pak.” Entah kenapa, Aly terkekeh melihat hal itu di depan matanya. Ia jadi ingat dirinya yang akhir-akhir ini selalu menuduh orang-orang. “Aduh, maaf Pak Aly. Dia anak baru di kantor cabang. Anaknya gitu, suka suudzon terus sama saya.” “Gapapa, Pak. Ah iya, hallo Aly. We have a same nickname,” ucap Aly sambil menyunggingkan senyumnya. “Em, eh, iya, Pak. Aduh, gugup banget saya. Maaf, Pak.” Ucapan jujur gadis itu membuat Aly gemas. “Kerja yang bener, Aly.” “I-iya. Makasih, Pak. Waduh, mimpi apa aku?” Gadis itu menepuk pipinya untuk menyadarkan kalau ini bukan mimpi. “Kamu gak mimpi. Nanti, kalau ada yang chat kamu, langsung balas, ya. Itu saya!” ucap Aly sebelum pergi meninggalkan Aly yang masih terpaku di tempatnya. Aly kembali ke ruangannya dengan wajah yang cerah. Ya, jauh lebih cerah dari kabar baik mengenai saham perusahaan yang naik. Tentu saja, hal ini membuat Ranu mendapatkan pemandangan yang berbeda dari biasanya. Sekretarisnya itu tentu tidak tahan untuk menahan pertanyaannya di dalam hati dan langsung mengutarakannya. “Pak, di pantry ada apa? Kok, balik-balik cerah banget?” Aly tidak menyahut dan tetap tersenyum sambil menaruh cangkirnya ke atas meja. Ranu akhirnya memberanikan diri untuk menyentuh dahi sang bos untuk memastikan kalau atasannya itu baik-baik saja. “Gak panas juga. Apa Pak Bos kesurupan? Ah, masa?” Ranu bermonolog. “Kamu kenapa, Nu? Main pegang-pegang.” “Saya cuma mau mastiin kalo Bapak sehat. Soalnya, kelihatannya aneh banget.” “Ah, aneh apanya? Biasa saja.” Ranu hanya menggeleng dan kembali ke mejanya. Namun, langkahnya tertahan saat Aly memanggilnya. “Nu, bisa tolong saya?” “Apa, Pak? Bapak mau dicarikan calon istri? Ranu siap membantu.” “Udah mulai lagi si Ranu!” cebik Aly. “Ini, saya mau kamu cari tau anak kantor cabang yang namanya Aly.” Ranu tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya dan langsung kembali ke hadapan Aly dengan wajah penasarannya. “Aly? Siapa yang namanya sama kayak Bapak?” “Itu dia. Saya mau infonya sekarang, Ranu. Alamat sama nomor ponselnya. Kalau sudah, kamu boleh kembali ke sini.” Aly mengusir Ranu secara tidak langsung. Karena tidak ingin membuang waktunya, Ranu segera melakukan apa yang diperintahkan sang atasan. Sampai ia sendiri memekik tak percaya ketika menemukan data orang yang Aly maksud. “Permisi, Pak. Ini kayaknya data karyawan sudah di e-mail semua. Tapi, Bapak kayaknya gak ngecek. Jadi, saya kirimkan data orang yang Bapak cari itu ke e-mail pribadi Bapak. Semoga membantu.” “Terima kasih, Nu.” “Ah, iya. Ternyata Aly ini cewek. Wah, apa dia yang bikin Pak Bos senyum-senyum sendiri? Aduh, kalau iya, saya mau berterima kasih sama dia.” “Jangan ngawur kamu! Saya cuma butuh data-datanya.” “Buat PDKT.” Perkataan Ranu memang tepat sasaran. Namun, Aly tetap terus menyangkal tuduhan tersebut. Di tempat lain, Alyandra malah tengah mondar-mandir tidak jelas karena merasa sudah melakukan kesalahan yang ia rasa cukup fatal. Bagaimana caranya ia menjadi calon karyawan terbaik kalau citranya di mata atasannya sudah seperti ini? Mungkin, setelah ini ia harus lebih giat bekerja agar bisa menunjukkan hasil pekerjaan yang maksimal. “Aly, kita udah mau balik ke Bandung. Kamu jangan kayak setrikaan gitu! Cepat beres-beres!” oceh Yudha, atasannya. “Baik, Pak.” Alyandra mengembuskan napasnya berat. Kali ini, ia bukan hanya harus menghadapi ocehan Yudha saja. Melainkan, memperbaiki citranya juga. “Kamu tau kenapa saya ngajak kamu rapat ke kantor pusat, kan?” Alyandra mencebik. Ia bosan mendapat pertanyaan itu lagi. Karena, ketua divisi pemasaran tidak bisa hadir, ia yang mewakili. Ia sudah menjawab itu dan bahkan Yudha sendiri yang sudah memberitahunya. Namun, pria paruh baya itu masih bertanya kembali mengenai ini. Seperti tidak ada bahasan yang lain saja, pikir Alyandra. “Kamu kalau saya tanya, mbok dijawab, Aly!” “Jawabannya sama kayak yang Bapak bilang dan sudah saya pahami juga,” jawab Alyandra malas. “Kamu ini ngeyel terus.” Alyandra yang malas mendengar itu memilih berjalan mendahului Yudha menuju mobil yang membawa mereka tadi. Karena kesal dan tidak ingin mendengar ocehan Yudha, Alyandra langsung memasang earphonenya dan menyetel musik dengan keras sampai ia tidak bisa mendengar apapun lagi. Ia juga menutupi wajahnya dengan jaket yang dibawanya. Ia harap, dengan begini Yudha menganggapnya tertidur dan tidak akan menegurnya. Namun, sepertinya cara tersebut kurang ampuh saat ini. Karena seseorang tak berhenti menepuk lengannya. Alyandra melepas sebelah earphonenya, tapi tidak membuka jaket yang menutupi wajahnya dan bergumam, “apa, Pak Yud? Saya boleh, kan tidur sekarang? Nanti, kalo udah sampe, Bapak baru bangunin saya.” Tak ada respon sama sekali. Dan itu bukan tipe Yudha sama sekali. Alyandra tahu betul bagaimana atasannya itu akan langsung mengoceh saat ia membantah atau memberikan argumennya. Jadi, mau tidak mau ia membuka jaket yang menutupi wajahnya. Ia benar-benar terkejut melihat orang yang kini berada di sampingnya. “P-pak. Maaf, saya kira pak Yudha.” Alyandra tergugup. “Oh, jadi kamu biasanya begitu sama pak Yudha? Padahal, beliau itu jauh lebih tua dari kamu, lho.” Aly menjaga ekspresinya sebisa mungkin agar tidak tertawa. “Ng-nggak gitu, Pak.” Alyandra langsung panik. Jujur saja, ia memang kadang kesal dengan Yudha yang sering berkata atau bertanya sesuatu berulang kali padahal ia sudah memberikan jawabannya. Tetapi, tentu saja ia tak pernah mengabaikan perintahnya. Kalau masalah pekerjaan, ia akan mengesampingkan rasa kesalnya. “Padahal, pak Yudha itu atasan yang baik dan kantor cabangnya cukup baik sejauh ini. Saya heran aja kenapa ada yang masih membantah beliau.” “Pak, saya gak berniat seperti itu. Sumpah. Nggak ada niat sama sekali.” “Ya udah iya. Saya percaya, kok.” Alyandra menatap tak percaya ke arah Aly. Bagaimana bisa sang CEO dengan mudah mempercayai apa yang diucapkannya? “Asal, kamu pulangnya sama saya.” Aly menyeringai. “Jalan, Pak.” perintah Aly kepada sang sopir yang entah kapan sudah berada di sana. Sementara itu, Alyandra tak bisa berkata apa-apa lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN