05. Don't know

1592 Kata
"Al, lo kenal sama Pak Aly?" Ningsih langsung menodong Alyandra saat gadis itu baru saja kembali membuka komputernya. Alyandra hanya menggeleng pelan dan mencoba tak acuh dengan rekan sedivisinya itu. Karena memang, tak ada yang spesial antara dirinya dengan sang bos besar. Ia sendiri bahkan masih bertanya-tanya tentang hal ini. "Tapi, tadi kalian kok jalan berdua? Abis makan di luar, ya?" "Ih, Kak Nini. Tolong dong jangan nanya aneh-aneh sama Aly. Jujur ya, Aly sendiri gak tau kenapa. Kenal juga nggak. Y-ya, maksudnya cuma tau bos kita. Udah gitu aja." Alyandra mengacak rambutnya frustasi. Ini baru Ningsih, orang yang notabene dekat dengannya. Kalau sampai orang lain yang bertanya, ia tidak tahu harus menjawab apa. Apalagi, bisa saja persepsi orang akan berbeda. "Al, kalo ada apa-apa, cerita aja. Gue juga tadi agak gak percaya kalo itu pak bos. Soalnya, beliau itu nyaris gak pernah senyum. Kayak, ngomong aja paling urusan kerjaan. Dan tadi, dia senyum lebar banget gitu. Dia naksir lo?" Alyandra berdecak lagi. Ningsih masih tetap kekeh menginterogasinya yang semakin bingung saja. "Kak, Aly beneran gak tau apa-apa soal ini. Beneran. Toh, pak bos juga baru kali ini ke sini, kan selama Aly kerja di sini?" Ningsih mengangguk. Wanita itu tidak lagi bicara. Tetapi, pandangannya terpusat pada satu arah sambil mengetuk-ngetuk dagunya tanda tengah berpikir dengan kerasnya. "Ah, tapi masa dia tiba-tiba nyamperin lo." "Kak Nini jangan cerita-cerita ke orang lain tapi, ya." Akhirnya, Alyandra menceritakan kejadian sewaktu dirinya mengikuti rapat akbar di kantor pusat. Termasuk, Yudha yang akhirnya marah karena ditinggal di Jakarta. "Serius, lo? Aduh ketawa banget. Pak Yud pasti dongkol banget, dong." Ningsih memelankan nada bicaranya. Padahal, wanita itu mati-matian menahan tawanya agar tidak pecah. "Ya, gitu. Mana teleponnya pas Aly udah nyampe rumah. Ya mana tau, kan kalo pak Yud belum pulang. Dikira, beneran tau." Keduanya masih tetap mengobrol meski sambil mengerjakan pekerjaan mereka karena kubikel mereka yang saling berhadapan. "Fix ini mah dia naksir lo." "Jangan aneh-aneh, Kak. Mana ada?" Alyandra tentu saja menyangkal hal yang menurutnya mustahil tersebut. Gadis itu masih tetap berpikir positif kalau Aly mengajaknya makan siang tadi mungkin karena kebetulan pulang yang lalu. Dan kalau kata Ningsih, pria itu jarang bicara, mungkin ia hanya mengenalnya di sini. Ya, walaupun ia sendiri tahu bagaimana posisi mereka. Sambil melanjutkan pekerjaannya, Alyandra juga terpikir oleh beberapa kejadian yang melibatkannya bersama Aly. Pria yang penuh wibawa ketika ia lihat di awal pertemuan mereka. Tetapi, menjadi sangat menyebalkan baginya. Posisikanlah Aly adalah pria asing bagi Alyandra. Tentu, hal yang dilakukan Aly memang sangat mengganggu Alyandra. "Al, ngelamun?" tegur Ningsih saat melihat Alyandra yang matanya menghadap layar komputer tapi tidak melakukan apapun. "Eh, nggak. Aduh lagi nyari laporan tahun kemarin." Alyandra berkilah. Pekerjaannya lebih penting daripada harus memikirkan apa yang terjadi antara dirinya dengan Aly. Jadi, ia memutuskan untuk menghilangkan apapun pemikiran tidak masuk akalnya. Waktu terus bergulir sampai jam pulang tiba. Tetapi, lagi-lagi Alyandra masih melanjutkan pekerjaannya yang ia bilang tanggung tersebut. Ningsih sendiri sudah mengajaknya pulang bersama. Tetapi, ia menolaknya. "Tanggung, Kak Nini. Dua lembar lagi. Kalo dibawa ke rumah, bukannya dikerjain, malah lupa, ketinggalan, kena amuk pak Yud." Ningsih hanya terkekeh dan meninggalkan Alyandra yang kembali berkutat dengan pekerjaannya. "Wah, saya bangga nih punya karyawan yang berdedikasi seperti kamu." Aly yang masih sibuk itu pun mau tidak mau menoleh ke sumber suara. "Bapak? Masih di sini?" "Kamu ini tidak ada pertanyaan lain?" Alyandra lagi-lagi salah bertanya. Lagipula, kenapa Aly senang sekali menghampirinya seperti ini? "Kalau sudah jam pulang, sebaiknya pulang." "Maaf, Pak. Saya masih harus memeriksa data-data lama. Pak Yudha meminta laporannya bertahap." "Lain kali, peraturan resign harus diganti. Kalau pekerjaannya tidak selesai, tidak boleh resign. Ini malah menyulitkan pekerja baru." Dalam hati, Alyandra mengucapkan terima kasih atas perhatian Aly. "Apa masih banyak?" "Tidak, Pak. Saya bisa menyelesaikannya sekarang." Setelah mendengar jawaban Alyandra, Aly malah duduk di samping Alyandra. Memperhatikan betapa manis wajahnya yang tengah serius memeriksa data-data di layar komputernya. Tentu saja, gadis itu tidak sadar kalau Aly masih berada di sana karena pria itu tidak bersuara sama sekali. Setelah mematikan komputernya, ia juga sempat merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Alyandra juga tidak lupa membereskan mejanya. "Ini kamu selalu seperti ini setiap hari atau seperti ini karena ada saya?" kekeh Aly yang sebenarnya hanya bercanda. "Lho, Bapak masih di sini?" Tentu saja, Alyandra terkejut. "Saya gak sering pulang belakangan, kok. Ini karena tanggung saja." "Em, bukan. Maksud saya, meja kamu kalau pulang serapi ini?" Alyandra mengangguk lucu sebelum menyampirkan tasnya di bahu dan mengambil cangkir bekas minumnya hari ini. "Kamu bawa cangkirnya pulang?" tanya Aly. "Nggak, lha. Ini mau saya cuci." "Kan, ada OB." "Cuci gelas yang habis saya pakai ya tanggung jawab saya." Alyandra meninggalkan Aly yang tengah menahan ekspresi gemasnya. Jujur saja, Alyandra tidak begitu nyaman atas kehadiran sang bos. Bukan karena ia tidak ingin lagi bekerja di tempatnya. Tetapi, di luar pekerjaan, ia tidak ingin terlibat dengan Aly. Ia tahu, ini akan sangat beresiko meski dirinya sendiri tidak tahu apa-apa. Tadi saja buktinya, Ningsih sudah gencar mempertanyakan hal tersebut. "Ini, Bapak gak ngikutin saya, kan?" tanya Alyandra yang tengah menggulung lengan blousenya karena akan mencuci cangkirnya. "Kalau kamu mikirinya gitu, iya. Saya ngikutin kamu." Gadis itu menyelesaikan semuanya dengan cepat. Ia tidak ingin berlama-lama bersama dengan Aly yang terlihat semakin menyebalkan saja. "Kalau begitu, saya izin pulang, Pak. Sudah hampir petang." Langkah Alyandra terhenti karena Aly mencekal lengannya. "Sudah petang. Biar saya yang antar kamu pulang." "Eh, tidak usah, Pak. Saya biasa kok pulang jam segini." Alyandra tentu saja menolaknya. Cukup hari itu pria ini memaksanya diantar pulang. "Saya memberikan pernyataan bukan pernyataan." Aly lagi-lagi menarik lengan Alyandra seenaknya. Sebenarnya, Alyandra memang tidak terlalu suka berinteraksi dengan lawan jenis. Selain pekerjaan tentunya. Tak jarang, ia menunjukkan ketidaksukaannya secara langsung. Tetapi, ini Aly. Anak dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Ia tentu harus mengesampingkan arogansinya. Itu bukan berarti ia pasrah. Tetapi, ia menjaga nama baiknya. Atau bisa saja Aly akan memecatnya hanya karena ia berlaku tidak sopan. Dengan hati yang kesal, Alyandra tetap berjalan mengikuti Aly. Lebih tepatnya, karena lengannya ditarik oleh pria itu. Alyandra tidak bicara sedikitpun meski Aly sudah memperlakukannya sedemikian rupa. Memang, ia juga merasa tidak pantas ketika bos besarnya dengan mobil mewah keluaran terbaru itu membukakan pintu mobil untuknya. "Kamu betah gak?" tanya Aly membuka pembicaraan. Alyandra yang sibuk menatap ke luar jendela itu pun akhirnya menoleh. Meski rasa kesalnya terhadap pria di sebelahnya ini cukup besar. Tetapi, ia ingat kalau sangat tidak sopan saat bicara membelakanginya. "Betah, Pak." Alyandra menjawab singkat. Kalau sebelumnya, memang betah. Karena, tidak mudah mendapat pekerjaan dengan fasilitas dan gaji yang bagus seperti di kantor Aly. Tetapi, mungkin sekarang ia lebih butuh mengingat apa yang dilakukan Aly kepadanya. "Kamu kelelahan sekali, ya? Lain kali, jangan menunda jam pulang. Saya paham pekerjaan kamu. Tapi, tubuh kamu juga ada batas kerjanya." "Tidak semelelahkan pekerjaan Bapak yang mengurusi perusahaan besar, kan?" Aly sempat tertegun mendapat pertanyaan seperti itu. Karena, biasanya orang-orang akan menganggapnya memiliki pekerjaan enak karena memimpin sebuah perusahaan besar dengan banyak cabang. Tanpa tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Seberapa lelah tubuh dan pikirannya. "Kamu ngertiin saya banget, ya." "Saya cuma berpikir realistis, Pak. Kalau saya cuma bawahan dan banyak ngeluhnya, gimana Bapak? Makanya, saya heran kenapa Bapak seperti ini. Bukannya pekerjaan Bapak ini repot? Saya rasa, Bapak tidak kekurangan pekerjaan sampainrela mengantar saya pulang." Tentu saja, alih-alih mengerti pekerjaan Aly, Alyandra juga menyampaikan keberatannya karena Aly mengantarnya pulang seperti ini. Belum lagi yang terjadi sebelum ini. Karena, pada dasarnya mereka tidak pernah sedekat ini. "Tapi, ada hal lain selain pekerjaan. Ya, saya rasa hidup saya selama mengurus perusahaan, terlalu didedikasikan untuk pekerjaan. Selain itu, ya kamu tau sendiri tipikal orang tua di Indonesia kalau punya anak sedewasa saya dan belum memiliki pasangan." "Lalu? Saya tidak ada sangkut pautnya dengan urusan pribadi Bapak, kan?" Aly hanya terkekeh mendengar pertanyaan Alyandra yang entah gadis itu memang tidak paham atau hanya denial semata. "Ini rumahmu, kan?" Alyandra mengangguk saat Aly menghentikan laju mobilnya. "Kamu gak ada niat ngajak saya mampir dulu, gitu?" tanya Aly. Alyandra terdiam setelah melepas seatbeltnya. Ia tidak akan pernah membiarkan pria itu ke rumahnya. Atau, semua masalahnya akan diketahui. Ia tidak ingin membuat orang lain merasa kasihan dengan apa yant terjadi kepadanya. Ia harus mengalihkan topik pembicaraan ini. "Terima kasih, Pak. Maaf merepotkan. Sebaiknya, jangan lagi, Pak. Saya tidak mau--" Perkataan Alyandra terputus saat bibirnya dibungkam oleh bibir Aly. Hanya menempel saja guna membungkam celotehan gadis itu yang terus saja bicara mengenai kerepotan. Aly merasa gemas sendiri karena hal itu. Dengan gerakan yang tiba-tiba, Alyandra langsung melayangkan sebuah tamparan ke pipi Aly. Yang ketika dirinya sadar, ia langsung menyatukan kedua tangannya gugup. "Maaf, Pak kalau saya menampar Bapak," ucapnya dengan wajah yang masih menunduk. "Saya tau kalau tindakan ini terbilang cukup lancang. Tapi, bukankah ini di luar pekerjaan? Ini antara saya dan Bapak di luar pegawai dan atasannya, kan? Tentu saja, saya keberatan dengan tindakan Bapak yang seperti tadi. Saya mohon maaf, Pak. Semoga, Bapak tidak membawa ini semua ke dalam pekerjaan saya. Walaupun, saya mungkin akan menerima kalau Bapak akan memecat saya." Aly mendengarkan semua ucapan Alyandra tanpa memotongnya. Kemudian, saat gadis itu berhenti bicara, ia menanggapi ucapannya dengan kekehan. "Sepertinya, mama saya sudah siap mendapatkan calon menantunya." Alyandra mencoba tidak mengerti dengan apa yang Aly ucapkan dan memilih keluar dari mobil mewah tersebut. "Terima kasih atas tumpangannya, Pak. Saya permisi." Alyandra membungkuk hormat setelah sebelum membelakangi mobil yang masih setia berdiam di sana sampai gadis itu masuk ke dalam rumahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN