BAB09

1199 Kata
Semilir angin malam menyapu kulit nan lembut. Merengkuh jiwa yang bergejolak dalam diam. Masih tampak memucat, wajah sendu itu di genangi sisa air mata ketakutan. Bagaimana mungkin tubuh maupun jiwa terasa baik-baik saja. Ini ketakutannya, ketakutan yang sering terjadi di masa kecil. Beralaskan lantai dengan udara sepi. Bau menyengat keluar dari sudut-sudut dinding ruangan kosong. Hanya berteman sepi, jiwanya mengadu. Tak satupun dapat mendengar kesedihannya. Jeritan kesedihan yang di sampaikannya lewat pintu, pun tidak di dengar. Bagaimana bisa jiwanya baik-baik saja? Ketakutan mengancam dirinya di dalam keheningan. Hanya kegelapan menyelimuti tubuhnya. "Aku bahkan tidak mampu untuk pura-pura baik di depan orang lain." gumam Anas di dalam hatinya. Duduk di halte bus yang sudah sangat sepi. Ini sudah malam, kesadaran wanita malang itu masih belum sepenuhnya kembali ke dalam dirinya. Anas mengenang dirinya yang di kunci di dalam ruangan gelap oleh Savira dan Mama tirinya. Hingga dua hari lamanya, dia hanya di kurung di tempat gudang kosong di kediaman orang tuanya. Bukan hanya menyedihkan, dia saja sangat mengasihani dirinya sendiri. Terlalu kejam masa kecilnya yang tertindas oleh Mama tiri dan Adik tirinya. Pandangannya kembali kosong menatap ke arah jalanan yang di terangi lampu jalanan yang temaram. Di lengkapi dengan cahaya kendaraan yang sedang berlalu lalang. "Sedang apa dia di sana? Kenapa belum juga pulang?" Pria di dalam mobil BMW melewati posisi Anas yang duduk dengan wajah kesedihannya. "Bukankah ini sudah jam delapan lewat? Apakah ada Bus di jam segini Drew?" tanyanya ke pria yang di sebutnya sekretaris pribadi. "Sepertinya tidak ada Tuan." jawabnya kemudian. Suara hujan pun terdengar jatuh dari langit. "Bagaimana bisa hujan? Tolong memutar kembali Drew." perintah sang atasan. Alis pria yang duduk di jok kemudi itu terangkat. Kedua manik matanya penuh selidik, menatap sang atasan dari kaca depan. "Baik Tuan.' 'Ada yang janggal dari Tuan Jaxton dan Nona itu. Siapa sebenarnya wanita yang mampu menarik minat Tuan Jax?' Mobil BMW hitam itu memutar di perempatan jalan. Dengan menembus derasnya hujan malam itu. "Langit saja bisa merasakan kesedihanku malam ini." Tubuh Anas beranjak berdiri. Tangannya terulur kedepan menampung bulir-bulir hujan yang jatuh dari langit gelap malam. Suara mesin mobil terhenti dengan cahaya yang mengarah ke mata Anas, membuat Anas menyipitkan matanya seoalah melawan bias cahaya yang sangat terang dengan telapak tangannya. Sesaat kedua lampu mobil itu meredup dalam belahan hujan, Anas perlahan menurunkan tangannya, tampak pria tegap dengan memegang payung berjalan di bawah hujan dan mendekat ke arahnya. Mata itu membulat penuh, saat yang di dapati Anas seorang atasan yang sangat di takutinya. "Apa Kau suka menarik perhatian atasanmu?" suara itu datar. "Ma-maksud Pak Jaxton?" Anas menunduk. "Kenapa kau tidak pulang?" Pertanyaan itu lolos dari bibir tipis Jaxton. Matanya menatap Anas dengan intens. Sambil menunggu jawaban Anas, Jaxton melangkah lebih mendekatkan dirinya di depan Anas. "I-ini k-an saya mau pulang Pak." Anas sangat gugup. "Kalau kau mau pulang tidak mungkin kau sedari tadi di sini! Kau tidak tau? Kalau bus di jam 20:26 sudah tidak ada. Seharusnya kau memanggil taxy Nona Anastasia Halim!" Saat Jaxton memanggil Anas dengan nama lengkapnya, tubuh Anas berdesir. Ada yang janggal dari pengucapan Jaxton. Seperti dia sudah terbiasa saja bertemu dengan Anas. "Ba-baiklah Pak. Saya akan memanggil taxy." kata Anas ingin menghindari Jaxton yang berdiri di depannya. Dengan cepat Jaxton menarik tangan Anas dan membawanya untuk bersamanya masuk ke dalam payung. "Maaf Pak. Pak Jaxton mau apa?" Anas mencoba melepaskan tangannya dari cengkraman tangan Jaxton. "Jangan banyak bergerak, saya sudah basah." ucap Jaxton. Benar saja, Jaxton rela berbagi payung untuk melindungi Anas dari buliran hujan. Meskipun pundaknya sudah terkena basah, setidaknya dia mampu memberikan perlindungan untuk Anas. "Jangan berpikir yang aneh-aneh! Saya hanya mau melindungi karyawan saya! Segera masuk." perintah Jaxton saat pintu mobil sudah terbuka. "Tapi Pak." "Masuk!" Jaxton berkata dengan tekanan. Dengan wajah yang serba salah, akhirnya Anas naik ke dalam mobil. Tepatnya di bangku jok belakang bersama Jaxton. "Jalan Drew." perintah Jaxton saat tubuhnya duduk di samping Anas. Anas hanya memeluk tasnya. Tidak berani dia menatap ke arah Jaxton, karena Perasaannya sangat takut. "Di mana alamat rumahmu?" tiba-tiba Jaxton memecahkan kehiningan mereka. Anas tubuhnya terlonjak. "Di mana rumah kamu? Kenapa hanya menatap saya aja, apa kamu mau ikut ke rumah saya?" kedua manik mata Anas di buat tersadar dari kekagetannya. "Ou..eh.. tidak Pak. Rumah saya di jalan bunga satu Pak. Tapi, ini sangat jauh dari sini Pak." "Segera antarkan ke alamat yang di katakannya." perintah Jaxton dengan suara datar tanpa menanggapi ucapan Anas. "Baik Tuan." 'Siapa sebenarnya gadis ini? Dari segi wajah terlihat biasa-biasa aja. Kenapa Tuan Jax repot-repot memperhatikannya. Ini tidak seperti gaya Tuan Jaxton. Aku jadi penasaran, hanya saja nona ini tampak tidak bersahabat dengannya. Tidak seperti saling mengenal. Benar-benar membingungkan.' batin Sekretaris Andrew. Anas sekilas menatap Jaxton. Pundaknya yang basah, kelihatan sekali di kedua manik matanya. "Kenapa menatap saya?" Anas langsung membuang wajahnya menatap ke jalanan. "Maaf membuat anda basah Pak." "Jangan berpikir macam-macam. Saya hanya memperhatikan karyawan saya saja." Anas hanya menganggukan kepala. Meskipun pria di sampingnya tidak melihatnya. Suara nada dering ponsel Anas berbunyi. Buru-buru Anas mengambil ponselnya. "Maaf Pak saya terima panggilan." Izin Anas mendapatkan jawaban dari Jaxton. "Iya Ma." Anas menutup ponselnya dengan tangan kirinya. Pandangannya di buat ke arah jalanan seakan berbisik.  Karena Anas yakin, Mama nya tidak mungkin berkata lembut. "Di mana kamu! Kenapa jam segini belum pulang! Apa kau mau jadi wanita malam di luaran sana!" suara teriakan Mama tiri Anas terdengar sampai juga ke telinga Jaxton meskipun samar-samar. "Maaa... Anas tadi lembur. Dan ini hujan Ma. Susah dapat bus," "Alasan saja kamu! Kamu mau menghindar dari kerjaan rumah kamu kan! Kalau 30 menit lagi tidak tiba di rumah, kau tidur di luar!" ancam Mama Windy mengakhiri panggilannya. Tangan Jaxton terkepal. Anas dia menarik nafasnya dalam-dalam. Mencoba menenangkan dirinya, Anas menatap ke depan badan jalan dengan gelisah. 'Bagaimana bisa tiba 30 menit lagi? Ini masih sangat jauh.' "Coba di percepat laju kemudimu Drew." ucap Jaxton. "Baik Tuan." Anas lagi-lagi kaget tapi tidak berani menatap ke Jaxton. 'Apakah mungkin Pak Jaxton mendengarnya.' Suara nada dering Anas kembali berdering. Mengagetkan dirinya yang sedang berpikir keras. Anas sempat menoleh ke Jaxton yang duluan menatapnya. "Tidak perlu izin, angkat saja ponselmu." Pria itu langsung membuang pandangannya. "Iya Pa." suara Anas di buat seperti biasa. "Nak, di mana? Apa kamu masih di luaran? Sudah makan?" "Anas sedang dalam perjalanan pulang Pa. Tadi Anas lembur, maaf Anas buat papa jadi khawatir ya. Anas akan makan malam kalau sudah tiba di rumah. Papa juga jangan lupa makan malam dan jaga kesehatan." Anas tersenyum. "Baiklah Anakku. Papa merindukan dirimu. Sampai jumpa lusa anakku. Bye Anas..." "Sampai jumpa lusa Papaku. Bye Papa." ucap Anas sebagai penutup pembicaraan anak dan bapak itu. Di sana Papa Anas khawatir, saat mendapatkan kabar yang di besar-besarkan oleh Istrinya yang bermulut besar. Tapi sayangnya, segala kejelekan yang di katakan Mama Windy tentang Anas, tidak pernah masuk ke sang Papa. Keheningan terjadi, hingga hampir satu jam, mobil terhenti di depan rumah yang di tunjukkan oleh Anas. "Terima kasih Pak." kata Anas sebelum membuka pintu. "Tunggu dulu!" Tubuh  Anas menoleh ke Jaxton. "Pakai ini," jaxton memberikan payung ke Anas, "Di luar masih hujan." Anas dan Jaxton saling menatap dalam diam. Tangan Jaxton kembali menyodorkan payung yang masih di genggaman tangannya. "Terima kasih banyak Pak. Besok saya pulangkan. Selamat sampai tujuan," Anas membuang pandangannya, dan langsung menarik handle pintu mobil. Dengan cepat Anas membuka payungnya dan berlalu dari mobil. "Kenapa masih terlihat tatapan ketakutan itu?" gumam Jaxton seraya menatap ke Anas yang sudah masuk melewati gerbang rumahnya. Tak lama pintu rumahnya terbuka membuat bayangan Anas hilang seketika. Setidaknya Jaxton tau, Anas sudah masuk ke dalam rumah meskipun tidak sesuai dengan yang di harapkan. "Jalan Drew." Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN