BAB 6: EDO - OUR 'GOODBYE' CRUSH

2508 Kata
Gue pikir, masalah cinta masa SMA udah kelar dari jurnal hidup gue saat gue nolak Geya tempo hari. Ternyata, kemarin Geya ngajak gue ngobrol lagi, ngobrolin hal yang sama. Tentang perasaannya, tentang kemungkinan gue ngebuka kesempatan untuk gue dan dia jadi sepasang kekasih. Dan lagi-lagi, gue harus nolak dia. Apa gue minder? Ngga! Gue bangga sama Ayah dan Bunda. Tapi pacaran sama anak seorang pejabat kota beda urusannya. Suka ga suka gue harus tau diri. Lain halnya kalau gue udah mapan, tegak berdiri di atas kaki gue sendiri, ga lagi menengadah tangan minta uang saku sama Bunda setiap pagi - jangankan anak pejabat, anak presiden aja berani gue ajak pacaran. Tapi ga mungkin kan gue bilang gitu ke Geya? Tungguin sampe gue sukses. Yaelah b******n amat gue berani janjiin sesuatu yang belum pasti, apalagi minta Geya ngorbanin hati dan waktunya buat gue. "Eleuh, kenapa maneh?" tanya Ical yang tiba-tiba udah duduk di samping gue. "Kasian itu somay diaduk-aduk wae dimakan kagak. Ulah ditanya atuh mau dimakan apa ngga. Ga akan dijawab!" lanjutnya lagi. "Bilang aja maneh mau! Beli sana sendiri!" ketus gue. "Eleuh! Eh, maneh udah tau belum?" "Naon?" "Eta si Geya." "Kenapa Geya?" tanya gue kalem sambil nyuap somay ke dalam mulut gue. "Pacaran sama si Adam." Emang kurang ngajar si Ical. Gue lagi makan enak-enak dia ngasih kabar buruk begitu. Mana mukanya datar banget pula. Untung somay di mulut gue udah gue telan tadi, kan ga lucu tau-tau semaput gara-gara keselek somay. 'Ya Allah... Apes banget gue!' "Kata siapa lo?" "Tadi urang denger sendiri. Si Geya bilang iya pas ditembak sama si Adam." "Oh." "Urang kira mah maneh yang bakalan jadi kabogohna si Geya. Maneh mentingin frendship sih. Hah, mana ada cewek dan cowok murni sahabatan. Bukannya frendship, yang ada malah friendshit!" Gue ngekek. Suka bener emang nih orang kalau ngomong. "Ya udahlah, namanya ga cocok masa iya kudu dipaksa?" ujar gue. "Ah, maneh mah bukan masalah jodoh, emang maneh juga ga ada usaha." Gue senyum aja dengerin komentar si Ical. Yang dia bilang juga ga ada yang salah kok, emang bukan soal gue ga jodoh sama Geya, masalahnya guenya juga ga pernah usaha dapetin dia. Wajarlah kalau akhirnya Geya ngasih kesempatan ke cowok lain. "Jangan cemburu oke?" "Sip!" tandas gue. Gue baru aja mau masukin suapan ke mulut gue lagi waktu gue dengar hiruk pikuk di kantin sekolah gue ini. Suara mereka-mereka yang bersorak dan bertepuk tangan. Dalam rangka apa? Dalam rangka memeriahkan adegan gandengan tangan antara mantan ketua OSIS dan cewek tercantik di angkatan gue. Yes, Adam dan Geya. 'Kuat Do! Kuat! Maneh kudu kuat!' ujar gue menyemangati diri sendiri sambil memaksakan diri gerakin dua sudut bibir gue ke atas. Dan waktu kedua pasang netra kami beradu, gue bisa ngeliat tatapan sendu Geya buat gue. Gue... Ngangguk. Nyemangatin dia. Nunjukin ke Geya kalau gue ga apa-apa. Tiba-tiba gue denger suara gitar digenjreng pas di belakang gue. Genjrengan gitar terdengar sekali lagi. 'Apes bener gue emang!' Si Kenzo udah mulai lagi dengan konser konyolnya. Dan pasti, ujung-ujungnya gue bakalan terlibat. Dan Kenzo ngegenjreng gitar dengan sengaja satu kali lagi. Ngajak ribut gue rasa. "Tes tes! Teruntuk, pujaan hatiku... Ani!" prolog Kenzo meniru suara bang Rhoma Irama. "eh salah... For my crush, Geya!" Tepuk tangan menggema di seantero kantin. Begitupun sorakan lantang. Bahkan priwitan usil yang menggoda. Gemparlah masyarakat sekolah ini. Sumpah demi aki ninik gue, kalau Kenzo udah mulai megang gitar, jangan harap dia bakalan nyanyi satu lagu utuh, kecuali dia lagi ngincer cewek. "Hancur hatiku mengenang dikau Menjadi keping keping setelah kau pergi Tinggalkan kasih sayang Yang pernah singgah antara kita Masihkah ada sayang itu" senandung Kenzo. 'a'udzubillahi minasy syaithonirrojim! Nyebut-nyebut! Setan emang si Kenzo!' "Sekian lama aku mencoba Menepikan diriku di redupnya hatiku Letih menahan perih yang kurasakan Walau kutahu ku masih mendambamu," sambung Ical. 'Ini lagi demit satu! Sompret emang! Dasar sobat-sobat j*****m!' "Dan... bukan maksudku bukan inginku Melukaimu sadarkah kau disini ku pun terluka Melupakanmu... menepikanmu... maafkan aku." sambung Kenzo lagi. Gue? Minkem sambil nahan mules. Pengen banget gue kentutin nih orang dua. Paham banget gue, mereka tuh nyindir gue. Musti banget segera dihentikan ini, sebelum gue kelihatan kalah dan terkesan menjadi pecundang. "Pergilah kasih kejarlah keinginanmu Ga perlu kamu balik lagiiiiii," kali ini gue yang motong. Kelar kan? Menjawab semuanya. Namun, akhirnya... "Kamu makannya apa?" senandung Hasan yang baru aja jejakin kakinya di kantin. Sontak gue, Kenzo dan Ical menyahut. "BANGKE!" "Eleuh! Tega pisan kalian mah!" ambek Hasan. Setelah nyanyiin lagu sambung menyambung yang akhirnya chord-nya ga ada nyambung-nyambungnya, Kenzo ngelepas topinya, naruh dua keping uang logam lima ratusan di dalamnya, lalu dia kecrek-kecrek selayaknya pengamen yang minta jatah uang jasa setelah menghibur halayak di sekitarnya tanpa melewati satu orang pun. Dan konyolnya, temen-temen gue dengan sukarelanya naruh receh sisa jajan mereka ke topi itu, termasuk kepala sekolah gue yang sesekali ikutan ngelongok dan nongkrong bareng kita-kita di kantin ini, walaupun toyoran tetep mampir dulu di kepala Kenzo. Ya, gue bakal kangen banget sih masa-masa SMA gue. Teman-teman yang sehati, berbaur tanpa memperdulikan siapa dan dari mana kita berasal. Bergaul tanpa melihat harta dan peringkat kelas. Terlebih-lebih... Geya, Kenzo, Ical dan Hasan, sahabat terbaik yang gue punya dan gue temuin di sekolah ini. *** "Assalammu'alaikum!" pekik beberapa orang dari depan pintu kamar gue. Gue bangkit dari ranjang, ngebuka kunci kamar, lalu ngebuka pintu selebar-lebarnya. Kenzo, Ical dan Hasan udah berdiri sambil nyengir di hadapan gue. Ada yang nenteng jajajan, ada yang nenteng minuman, dan ada yang nenteng gitar. Dan mereka semua, masih dalam setelan jas-nya masing-masing. "Ngapain maneh pada kemari?" tanya gue santai. "Teu seru pestana," celetuk Ical yang main masuk aja ke kamar gue, ngeletakin minuman yang dia bawa di lantai, lalu langsung rebahan di kasur gue. "Minggir lu!" kali ini Kenzo yang ngedorong gue untuk ngasih dia lewat, sementara Hasan ngekor aja sambil nyengir dan ngasih plastik isi makanan ke tangan gue. "Buat Bunda, Ayah, Ayas, Ayu dan Alin, udah urang simpan di dapur," ujar Hasan. "Tengkyu tengkyu." "Eh, lo pada ngapain di sini? Udah selesai prom night-nya?" tanya gue lagi. "Halah, males gue. Ada yang bisa diajak joget bareng juga kagak!" ketus Kenzo. "Sedih pisan nyak, tiga tahun di SMA, pacaran sekalipun urang ga pernah." Gue senyum aja nanggepin curhatannya Ical. "Lo kenapa cabut San?" tanya gue ke Hasan. "Ngikutin mereka.” Kalau di sekolah lain pesta perpisahan udah diadain sejak pengumuman lulus atau tidaknya dikeluarkan, sekolah gue justru nunggu sampai pengumuman UMPTN tercetak di koran-koran. Udah tradisi kaya begitu. Konon katanya, biar bener-bener perpisahan, sekaligus acara rangkul merangkul dan menyemangati terakhir kali dan kita tau kemana temen-temen kita melangkah. Nah yang ngaco, ngapain coba bocah tiga ini malah ke sini? Kalau gue kan udah pake alasan ga enak badan dadakan yang pada kenyataannya gue ga pengen ngeliat Geya dempet-dempetan dansa sama Adam. Perih. Sakitnya tuh dari hate sampe ke ubun-ubun! "Jadi... Ga seru karena gue ga dateng, karena ga ada gebetan yang bisa diajak nge-dance, atau karena apa?" tanya gue lagi. "Semuanya!" ujar Kenzo malas. "Terus lo pada ke sini mau ngapain?" "Ngobrol-ngobrol aja brader," ujar Hasan. "Eh Do, jadi maneh lulus di mana?" tanya Ical. "IPB." "Jurusan?" "Kimia." "Hah? Kimia?" tanya Ical lagi, kurang yakin dengan info yang gue berikan barusan. "Iya, Kimia." "Maneh mau bikin bom?" "Astaghfirullah, ya kagak Cal." Ical mencengir. "Guyon, Do." "Emejing maneh mah. Bedalah anak jenius kaya maneh, jurusanna ngeri." lanjut Ical lagi. "Maneh mah nilai Kimia dikatrol wae dikatrol wae nyak?" canda Kenzo pada Ical yang disambut kekehan kami semua. "Ga heran gue mah. Anak pinter kaya lo pasti sanggup masuk jurusan horor begitu," lanjut Kenzo lagi. "Pinter tapi kurang beruntung nyak?" "Jangan ngomong begitu, brader! Urang ngadoa semoga suatu saat nanti ada yang bisa melihat keistimewaan maneh. Jangan nyerah! Ga ada yang tau masa depan." "Tumben lo bener?" celetuk Kenzo pada Hasan. "Urang udah minum obat!" jawab Hasan asal. Gue cuma ngekek aja dengerin ocehan-ocehan absurd yang bakal berlangsung sampai nyaris pagi ini. Kok bisa sampai nyaris pagi? Karena tadi mereka bertiga udah giliran nelponin emaknya masing-masing ngabisin pulsa Kenzo untuk ijin nginep di rumah gue. Gue sahabatan sama mereka udah tiga tahun. Lucunya, tiga tahun itu kami ga pernah berpisah kelas. Dan mereka itu anak-anak orang kaya. Beneran kaya. Tapi herannya, kalau urusan nginep dan ngumpul kaya gini, pasti rumah gue yang jadi sasarannya, padahal sama Bunda cuma bakalan dikasih makan bayam liar yang Bunda petikin di halaman belakang rumah dan tahu atau tempe penyet. Paginya, saat ketiga sobat gue itu masih bersarung dengan sarung gue yang mereka ambil seenaknya, Geya datang sambil menteng paper bag dan sebuket bunga mawar berwarna putih. "Geya?" sapa gue saat mendapati dia yang duduk termenung di teras rumah gue. "Hai, Do..." sambutnya ramah dengan senyum semanis madu. Pagi ini Geya makai dress warna pink yang soft banget. Rambutnya dia kuncir tengah sebagian. Wajahnya agak berwarna, tapi malah bikin Geya kelihatan cantik banget. "Masuk yuk. Ada anak-anak tuh di dalam. Lagi bantuin Bunda masak." Geya tertawa renyah. "Bukannya ngerusuhin Bunda ya?" kekehnya. "Udah biasa Bunda dirusuhin," balas gue. "Ada apa Ge?" tanya gue seraya duduk di kursi teras yang hanya terpisah sebuah meja kecil dengan kursi yang Geya duduki. "Geya mau pamit." "Oh." "Geya lanjut ke Melbourne." "Oh." "Maaf kalau Geya baru cerita sama Edo sekarang." "Di mana Ge?" "University of Melbourne." "Jurusan?" "Business." "Oh. Selamat ya Ge..." "Edo juga selamat ya... Mudah-mudahan lancar kuliahnya di Bogor." "Iya, aamiin. Geya juga ya." "Adam juga lanjut di sana?" tanya gue lagi. Geya mengangguk, dan gue langsung ngerasa... Apa ya? Nelangsa. "Ya udah ya Edo. Geya pamit. Nanti Geya berangkat jam tujuh malam dari rumah," ujarnya lagi dengan menekankan kalimat terakhir di ucapannya. "Ini buat Edo," sambungnya seraya menyodorkan buket bunga dan paper bag itu ke gue. Gue senyum aja, nerima pemberian dia. "Maaf, Edo ga punya apa-apa buat Geya," lirih gue. "Ga apa-apa, Edo. Geya pamit ya..." Geya berdiri, gue pun ikut berdiri, melangkah mengikuti langkahnya. Begitu pintu pagar gue buka, Geya ga langsung melangkah, malah justru menatap lekat gue. Gue beku. Tenggelam dalam tatapan dia. Gue sayang sama dia, tapi gue belum pantas buat dia. Geya mengikis jarak kami, melingkarkan kedua tangannya di pinggang gue. Menenggelamkan wajahnya di d**a gue. Sesak. Rasanya sesak banget berpisah kaya gini. Rasanya sakit banget ga bisa nyatain perasaan kita sendiri. "Sehat-sehat ya Edo," lirihnya seraya melepaskan rengkuhannya. Begitu dia berdiri di hadapan gue lagi, kedua tangan dia naik, menghapus air mata yang gue ga tau sejak kapan ngebasahin pipi dia. "Geya..." "Assalammu'alaikum, Edo," lirihnya lagi seraya melangkah pergi meninggalkan gue yang cuma bisa berdiri mematung. Lebih tepatnya, menahan diri sekuat tenaga agar ga mengejar dia. *** Kalau dua tahun yang lalu dulu gue ngindarin pesta perpisahan SMA gue, sekarang gue justru diundang untuk main musik di acara perpisahan SMA lain, di Jakarta. Seminggu yang lalu, Kenzo nelpon gue. Minta gue nelpon sepupunya yang kebetulan bandnya lagi ngehits banget seantero kota Bandung, bahkan anak-anak Jakarta yang doyan gaul juga pasti banget kenal sama band sepupunya Kenzo itu. Kata Kenzo, gitaris bandnya kecelakaan motor tunggal dan masih dalam perawatan yang belum tau sampai kapan. Tadinya Arda, sepupunya Kenzo ini, minta Kenzo yang gantiin gitarisnya. Masalahnya hari pentasnya pas ada kegiatan kampus yang ga bisa si Kenzo tinggal. Singkat cerita, akhirnya Kenzo rekomendasiin gue. Gue yang pas banget lagi balik ke Bandung ya langsung aja iyain tawarannya Kenzo. Secara uangnya lumayan banget. Begitu Arda oke untuk mempertimbangkan gue, gue langsung ngacir ke studio latihannya mereka. Dan alhamdulillah, mereka oke memperkerjakan gue di acara ini sebagai gitaris pengganti. So, di sinilah gue. Ditengah-tengah anak-anak SMA yang baru lulus. Salah satu hal yang gue suka dari bandnya Arda ini, even mereka udah cukup famous, mereka adalah orang-orang yang disiplin waktu. Kayak malam ini. Kami bakalan mulai manggung jam delapan nanti. Tapi dari sebelum magrib kita udah di lokasi. Bahkan tadi kita baru aja beres shalat isya berjamaah. Keren kan? Keren lah buat gue yang lumayan paham dunia band dan gig karena nge-gig adalah salah satu sambilan gue untuk nyambung hidup. Karena kami masih punya waktu sekitar 40 menit lagi, gue ijin keluar sebentar sama anggota lainnya. Nyari angin. Dan akhirnya pilihan gue jatuh di tangga samping gedung ini. Kalau pintu depan dan belakang gedung ini banyak orang lalu lalang, pintu samping ini hampir ga ada orang yang lewat. Cocoklah untuk nyari ketenangan barang sebentar. Kebiasaan gue saat ga kepingin diganggu adalah gue selalu makai earphone di kuping gue. Padahal, kabelnya ga terhubung kemanapun. Hanya kamuflase aja, biar ga ada orang yang ngajakin gue ngobrol. Kayaknya belum lama gue bengang bengong di sini saat gue denger dua anak orang ribut-ribut ga jelas. "HANA!" pekik yang cowok. "LEPAS!" yang cewek ikutan ngebentak. Gue ga tau tampang mereka kayak apa. Posisi mereka masih di belakang gue karena gue duduk anteng di anak tangga. Dan selanjutnya yang gue dengar adalah si cowok ga terima karena si cewek mutusin dia seenaknya. Lalu, si cewek membela diri kalau dia bersikap begitu karena cowok itu udah ngomong seenaknya sama dia, menyinggung perasaan si cewek. Yang cewek, yang namanya Hana, melangkah lagi, dan si cowok yang gue ga tau namanya siapa nutup langkahnya Hana lagi. Posisi mereka sekarang ada di samping gue. Di balkon yang berada tepat di samping anak tangga. Baru aja si cowok mau nyemburin kata-kata, dia adu pandang sama gue. Gue pura-pura cuek, bersenandung pelan seolah gue ga dengar apapun yang mereka ributkan. Dan si cowok kayanya ngerasa aman, nganggap kalau gue ga dengar pertengkaran mereka. Jadi, yang gue tangkap adalah, si cowok kepingin ceweknya ngambil kuliah satu kampus atau satu kota sama dia, ke Singapura. Tapi karena kondisinya, kayaknya sih masalah keluarga, si cewek memilih untuk meneruskan pendidikannya di kota ini. Nah, si cowok kayaknya ada salah ngomong, salah nyampein pendapat sih gue rasa, dan akhirnya bikin ceweknya tersinggung karena terkesan kalau dia direndahkan. In the end, cowok ini minta supaya mereka jangan putus, long distance relationship. Masalahnya si cewek udah keburu ilfil, kelihatan banget ga minat mengiyakan apapun permintaan cowok itu. Oh gue paham guys! Ternyata, si cewek ini keluarganya bangkrut. Keadaannya orang tuanya lagi sulit banget. Bahkan rumahnya didatangin debt collector setiap hari silih berganti. Dan si cowok tau tapi masih maksa supaya ceweknya kuliah bareng dia di Singapura. Ya gue juga kalau jadi si cewek bakalan eneg sih! Ogah gue juga punya pacar pola pikirnya begitu. "Hana... Maaf... Aku benar-benar minta maaf." Tuh, dia lagi ngemis maaf lagi. 'Ga usah dimaafin, Neng! Baru soal kuliah aja udah begitu, apalagi urusan lain?' Gue demen sama ini cewek. Ga gentar. Tegas. Dia beneran ga mau balikan sama itu cowok, padahal terlihat jelas kalau si cewek masih cinta sama mantannya. Cewek itu melangkah, melewati si cowok yang terdiam membatu. Dia sempat melirik sesaat ke arah gue, kami sempat bersitatap walau sebentar. Dan gue sempat lihat, dia mengusap air matanya yang meleleh di wajah cantiknya, mengkhianati hatinya yang berusaha mengeras seperti batu. Ya, gue amat sangat paham apa yang cewek itu rasain. Mencintai seseorang yang berada di level yang berbeda dengan kita memang teramat menyakitkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN