HANNAH
Tubuhku membeku seketika saat melihat seorang perempuan melingkarkan kedua tangannya di tubuh Edo. Kedua netraku memanas, bahkan rasanya kakiku tak lagi menjejak di bumi ini. Aku melihat Edo berusaha melepaskan diri. Tetapi yang aku yakini, selalu ada api jika ada asap kan? Tidak mungkin perempuan itu memeluk Edo begitu saja tanpa ada sebabnya. Dan tepat ketika air mataku turun, kedua netra kami bersirobok. Jelas, bibir Edo mengucap namaku.
Aku berusaha menggerakkan kaki, tetapi berapa kalipun kupaksa menekan pedal sepeda ini, kakiku selalu saja salah menapaknya, lagi-lagi meleset, bahkan beberapa kali tulang keringku terbentur gerigi pedal.
"HANA! HANA, SAYANG! TUNGGU!" pekikan Edo mulai terdengar di telingaku. Ada apa dengan sepeda ini, kenapa kakiku tak jua mampu kukuh menapak
