Tahun 2002 (Kelas I.4)
Hari ini adalah hari pertama aku memasuki pekarangan sekolah. Aku tertegun sejenak, melihat betapa luasnya halaman sekolahku. Ada dua jenis lapangan di sekolah ini. Aku tak mengerti lapangan apa namanya, yang aku lihat ada lapangan dengan dua buah keranjang di atas papan kayu yang disangga dengan besi. Dan yang satu lagi lapangan berdebu dengan dua buah tiang di sisi kanan dan kirinya.
Intermezo sedikit ya biar kalian gak bingung…
Lapangan yang aku maksud adalah lapangan basket. Lapangan yang berbentuk persegi panjang yang kira-kira ukurannya 28 meter x 15 meter dengan panjang diameter tengah 3.6 meter. Di setiap sisinya ada sebuah papan pantul dengan masing-masing papan tersebut terdapat sebuah ring.
Sedangkan lapangan berdebu yang aku katakan adalah lapangan voli. Lapangan tersebut juga berbentuk persegi panjang dengan ukuran 18 meter x 9 meter. Ada tiang di masing-masing garis tengahnya, untuk mengikatkan net. Tentu saja aku tau, setelah aku bersekolah di sini setidaknya 1 bulan. Oke, lanjut lagi ya…
Tak mau ambil pusing, aku pun meletakkan tasku di tumpukan tas-tas yang lain. Maklum, aku anak baru dan aku tak tau kelasku ada dimana. Lagian aku sudah terlambat karena siswa-siswi yang berseragam sama denganku, sudah berbaris untuk upacara bendera.
Ini semua karena salah mamaku. Andai saja aku pergi dengan angkot itu, aku tak akan kelimpungan seperti ini. Mama memaksaku menunggu mobil adik dari Alm. papaku. Entah keyakinan darimana, mama bersikeras tetap menyuruhku menunggu. Lama aku menunggu, mobil yang dimaksud mama tak kunjung datang. Malah angkot yang tadinya ngetem sudah jalan dari tadi. ‘s**l, bisa telat aku’, umpatku kesal. Tentu saja u*****n itu hanya sanggup aku katakan di dalam hati saja. Aku tak mau mama mengomeliku hanya karena aku mengumpat di depannya. Bisa kena amuk aku. Aku bukanlah tipe anak pembangkang. Aku hanya menurut saja apa yang dikatakan mama walau bertolak belakang denganku. Seperti saat ini yang kulakukan hanya menunggu saja. Oke, balik lagi ke masalah angkot ya…
Kalian tau, angkot yang aku maksud hanya ada dipagi hari. Sudah dapat dipastikan tak ada angkot lagi hingga siang nanti. Beginilah nasib tinggal di desa, angkot tak seperti di kota. Makanya, tadi pagi-pagi sekali aku sudah bangun agar aku tak terlambat. Tapi apa mau di kata, rencanaku tak seperti harapanku. Aku masih saja di sini, menunggu sesuatu yang tak pasti.
Mama punya watak yang keras. Terkesan otoriter, tapi jauh dari lubuk hatinya dia ibu yang penyayang kepada anak-anaknya. Dia adalah sosok ibu sekaligus ayah bagi kami anak-anaknya. Tapi dia tak pernah mengeluh akan keadaan kami. Aku bersyukur memiliki ibu seperti mama. Kurang lebih tiga puluh menit menunggu, mobil yang ditunggupun akhirnya datang juga. ‘Walau lama, tapi insting mama benar juga’, pikirku.
Mobil berhenti tepat didepanku, kaca mobil terbuka menampakkan sipemilik mobil. Ternyata tidak hanya om ku saja didalam mobil itu. Ada istri dan anak nya yang berarti tanteku dan sepupuku. Mereka tampak ngobrol sejenak, sekedar basa-basi mungkin. Tak lama kemudian mobilpun melaju dengan kecepatan sedang dengan aku yang sudah duduk nyaman dijok belakang. Tentu saja tak lupa sebelumnya aku berpamitan dengan mamaku. Sepuluh menit kemudian disinilah aku, disekolah baruku.
---------------------------------------ooooooo--------------------------------------
“ Disini aja ni.” ajak temanku. Entah malu bertanya atau bagaimana, aku hanya mengiyakan saja ajakan temanku yang dulu satu sekolah denganku. Jadilah aku berbaris di barisan paduan suara. Seharusnya aku berbaris di barisan siswa kelas satu. Namun karena ketidaktahuanku, akhirnya disinilah aku. Berbaris dengan para seniorku. Sepertinya para guru tak tau akan hal itu. ‘Aman’, batinku.
Jangan pikir karena aku anak baru, jadi aku tak punya teman. Perempuan yang menyapaku tadi memang benar teman sekolahku dulu waktu aku masih SD. Dari kelas satu sampai kelas enam kita sekelas karena memang siswa-siswi sekolah dasar dikampungku tak banyak. Tapi kami tak terlalu dekat, aku saja jarang main dengannya. Mungkin karena dia cantik. Jadi, tak pantas bermain dengan gadis biasa sepertiku.
Setelah lulus, kami mendaftar disekolah yang sama. Sebenarnya sekolah ini bukanlah sekolah favorit. Namun karena otakku yang tak terlalu encer, sudah diterima disekolah ini saja aku sudah bersyukur. Apalagi aku bisa naik kendaraan umum dari rumah ke sekolah. Itulah cita-citaku sedari dulu ketika masih disekolah dasar. Maklum, aku jarang sekali naik angkot. Ada sih, sesekali aku naik angkot. Tapi kan jarang. Itupun kalo aku boleh ikut mama ke pasar.
Kurang lebih tiga puluh menit sudah berlalu, dan barisan tampak mulai dibubarkan. Terlihat dengan jelas di depanku, siswa dan siswi dibubarkan dengan komando seorang guru laki laki. Sebelumnya tampak mereka melakukan kegiatan baris berbaris. Kegiatan baris-berbaris memang biasa dilakukan saat upacara bendera seperti ini. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menanamkan disiplin, patriotisme, tanggung jawab serta membentuk sikap lahir dan bathin yang diarahkan pada terbentuknya suatu perwatakan tertentu.
Melihat kejadian itu, sontak hatiku bersorak girang. ‘Untung aku gak disitu’, pikirku. Karena aku sama sekali tak tau caranya peraturan baris berbaris. Aku tak suka pelajaran olahraga. Apalagi aku masuk sekolah disini tanpa Masa Orientasi Siswa (MOS). Entah kenapa, aku tak mengerti. Hanya saja aku bersyukur aku tak mengikuti MOS.
Masa Orientasi Siswa adalah masa dimana siswa-siwi baru, dapat mengenal lingkungan dan kebiasaan-kebiasaan disekolah tersebut. Biasanya, kakak senior menginstruksikan kita untuk mempersiapkan atribut-atribut MOS yang dibuat sendiri oleh juniornya, seperti : tas dari kantong kresek, papan nama dengan nama samaran yang terdengar aneh, dan juga topi kerucut yang dibuat dari kertas manila. Kadang masa ini disebut juga masa 'perploncoan' siswa-siswi baru, tapi sekarang sudah tidak diperkenankan lagi.
Akhirnya tiba lah saatnya bagi semua siswa dan siswi untuk meninggalkan lapangan. Dan barisanku hanya dibubarkan dengan cara biasa saja tanpa adanya kegiatan baris-berbaris seperti teman-temanku yang lain. Ada kelegaan di hatiku, akhirnya aku bisa duduk setelah setengah jam lamanya berdiri di lapangan di bawah sinar matahari pagi yang lumayan panas. Namun, aku tak tau dimana kelasku. Takut terlambat, akhirnya aku pergi kebelakang sekolah menemui bapak-bapak yang kemaren, agar bisa membantuku mencari kelasku.
Jujur, memang aku tak tau dimana kelasku berada. Aku takut bertanya kepada orang lain apalagi aku tak mengenal orang itu. Entah apa yang aku takutkan, aku tak tau. Makanya hanya bapak-bapak itu yang aku kenal. Mengenai temanku tadi, aku tak tau dimana dia. Dia meninggalkan aku begitu saja. ‘Memang bukan teman yang baik’, pikirku.
Mengenai bapak-bapak yang aku maksud, dia kenalan mamaku. Sepertinya dia yang membantuku agar bisa sekolah disini. Ya... aku bisa sekolah disini karena orangtuaku membayar lebih. Untuk biaya beli bangku, katanya. Aku tak mengerti apa maksudnya. Tapi satu yang pasti, apapun alasannya aku sangat bersyukur bisa melanjutkan sekolah disini. Karena aku sangat menginginkan sekolah di kota kecil ini. Kota yang dekat dengan tempat tinggal ku.
Sebenarnya, ada sekolah untuk menengah pertama di kampungku. Jika aku mau, aku bisa sekolah disana karena memang aku diterima disekolah itu. Namun aku tak mau, karena aku ingin naik angkutan dari rumah ke sekolah. Walau hanya sepuluh menit lamanya dengan menggunakan angkot, namun sudah dapat kubanggakan kepada orang kampungku.
Tak butuh waktu lama, laki laki paruh baya itu dengan sabar mengantarkanku ke depan kelasku. Awalnya kami nyasar ke kelas tiga, tapi akhirnya kami menemukan juga apa yang kami cari. Tampak ada beberapa ruangan kelas tepat dibawah aku berdiri saat ini. Di anak tangga paling bawah, aku melihat guru perempuan berkaca mata dengan hijab putihnya dengan sabar menunjukkan kelas kepada siswa-siswi baru. Aku pun ikut antrian itu, karena itu jalan satu-satunya bagiku untuk mengetahui dimana kelasku. Akhirnya tiba lah saatnya aku yang di tanya, “ Siapa nama kamu?”, tanya guru itu. “Maharani, bu”, jawabku. Guru itu tampak memeriksa kertas ditangannya, mungkin mencari namaku. Tak butuh waktu lama baginya untuk menemukan namaku, dia langsung berkata sambil tersenyum ke arahku. “kamu di kelas I.4,” katanya. Dia juga menunjukkan arah kelas yang ibu itu maksud setelah melihatku mengernyitkan dahiku tanda aku tak mengerti akan apa yang ia ucapkan. Setelahnya aku berjalan ke arah kelas itu dan tak lupa sebelumnya aku mengucapkan terimakasih.
Selama perjalanan dikelasku, aku melihat ada 2 kelas tak jauh dari tangga yang tadi. Untuk menuju kelas yang dimaksud guru tadi, aku harus menaiki anak tangga lagi. Kelasku berada paling pojok dekat toilet atau lebih tepatnya dekat dengan sungai yang disekililingnya ada pagar pembatas. Mungkin bentuk pengamanan dari sekolah agar tak terjadi kecelakaan pada siswa-siswinya.
Dan disinilah aku, di kelas baruku dengan teman-teman baruku. Aku tak mengenal siapa-siapa dikelas ini. Tapi tak lama indra penglihatanku menangkap sosok siswi yang aku kenal. Aku hanya tersenyum remeh ke arahnya, walau dia tak sadar. ‘Memang benar kan dia bukan teman yang baik. Mana ada teman meninggalkan temannya begitu saja. Apalagi ditempat yang terasa asing begini. Anggap saja tak pernah kenal’, batinku.
Tak lama kemudian, datanglah seorang guru perempuan masuk ke kelasku. Aku terkejut karena tadi aku sempat berinteraksi dengan guru itu. Tapi tak lama kemudian guru itu mengintruksikan kami berdoa sebelum memulai kegiatan belajar. Tak ada bedanya, waktu aku di sekolah dasar. Setiap memulai pelajaran juga dimulai dengan berdoa. Tapi bedanya doa yang diucapkan agak aneh menurutku. Tak seperti waktu disekolah dasar. Aku mengikuti saja, sempat aku lirik sebentar kearah temanku itu, sepertinya dia hafal. Tampak dari gerakan mulutnya yang menandakan dia fasih dengan bacaan doa itu. Mungkin hanya aku yang gagap disini. ‘Tak apalah, lama-lama juga hafal’, batinku.
Agar lebih jelas, aku akan sedikit berikan gambaran akan kondisi kelasku. Aku duduk dideretan kedua dekat pintu masuk. Siswa dan siswi dikelas ini sekitar 40 orang. Memang terlalu banyak dan tak efektif dalam belajar. Tapi apa boleh buat, seperti itu adanya. Mungkin karena tak ada kelas yang bisa digunakan lagi, makanya pihak sekolah memadatkan kuota siswa-siswinya.
Dikiri dan kanan kelas ada jendela kaca sehingga cukup mendapatkan cahaya matahari dari arah luar. Didepan kelas, ada tanjakan menuju papan tulis, sehingga memudahkan para guru mengajar. Mengingat jumlah siswa-siswi dikelas ini cukup banyak.
“Perkenalkan nama saya Aya Sofia. Panggil saja ibu Aya. Bidang studi yang saya ajar Bahasa Inggris”, itu lah perkenalan singkat ibu Aya kepada kami semua. Sesuai dengan instuksi ibu Aya, kami memperkenalkan diri kami masing-masing dimulai dari meja paling depan sampai ke belakang. Hingga akhirnya tibalah pada giliranku, “Nama saya Maharani. Panggilan Rani. Saya alumni SDN 05 Jaho.”, ucapku kepada semua teman sekelasku.
Sebenarnya perkenalan diri ini dimaksudkan agar siswa-siswi bisa saling mengenal satu sama lain. Seperti aku, awalnya aku tak kenal dengan teman sebangkuku. Tapi karena perkenalan singkat ini aku jadi mengenalnya, Nur namanya. Seandainya tak ada perkenalan seperti ini, aku tak yakin aku akan bisa mengenali teman-teman sekelasku mengingat aku kurang pandai bergaul. Jika aku mau, aku bisa saja berkenalan dengannya tadi, tapi aku tak mau. Karena aku tak biasa berkenalan dengan orang yang tak aku kenal. Bukannya aku sombong, tapi itulah aku. Hanya orang terdekatku yang bisa mengerti aku.
Setelah perkenalan diri siswa siswi selesai, kegiatan belajarpun dimulai. Aku yang belum pernah belajar bahasa asing, agak sedikit kesulitan mengikuti pelajaran ini. Namun, karena kesabaran ibu Aya dalam mengajar, aku bisa dengan santai mengikuti pelajaran ini. Tak terasa bel pergantian pelajaran pun terdengar. Dan ibu Aya menutup pertemuan kami hari ini. Tak butuh waktu lama, guru berbeda pun masuk. Sama halnya dengan ibu Aya tadi, sesi awal dimulai dengan sesi perkenalan. Ternyata guru itu bernama ibu Mursida guru bidang studi Ekonomi. Ibu Mur panggilannya, penampilannya agak sedikit berantakan pada hijabnya, karena hijabnya agak mencong-mencong menurutku.
Awalnya aku sempat heran, kenapa setiap bidang studi diajarkan oleh guru yang berbeda? Aneh. Tak seperti di sekolahku yang dulu. Disekolah yang dulu, biarpun mata pelajarannya berbeda, tapi tetap diajarkan oleh guru yang sama. ‘Ternyata sekolah disini ribet ya’, pikirku. Tapi setelah dijelaskan oleh bu Mur, aku baru mengerti. Aku baru tau, ternyata metode belajar di sekolah dasar berbeda dengan disini.
---------------------------------------ooooooo--------------------------------------
Akhirnya selesai sudah belajar di pagi hari. Ditandai dengan bunyi bel hingga tiga kali yang artinya waktu istirahat telah tiba. Aku merapikan buku-bukuku yang berserakan diatas meja. Dari dulu, waktu istirahat seperti ini bagian favoritku saat sekolah. Dengan begitu aku bisa jajan kekantin sekolah. Apalagi uang jajanku lebih banyak dari biasanya. Aku bisa jajan banyak hari ini.
Waktu istirahat ini hanya aku habiskan dengan memakan beberapa camilan, walaupun awalnya aku sempat kebingungan dimana kantin sekolah, karena memang aku siswa baru disekolah ini. Aku menikmati cemilanku dalam diam seorang diri. Aku memang anak yang tidak pandai bergaul. Aku tertutup, dan aku merasa aku bisa melakukan hal apa saja seorang diri tanpa bantuan siapapun. Jadi tak heran bila makanpun aku sendirian. Tak masalah untukku. Selama itu nyaman bagiku akan aku lakukan. Tapi selama ini, sendirian adalah kenyamanan terbesarku.
Bagiku, ada teman hanya akan merepotkanku. Mereka akan berkomentar ini dan itu, yang dapat membuatku jengkel. Aku tak suka suasana ribut saat makan seperti ini. Menikmati dalam diam, memang lebih menyenangkan. Tak ada gunanya banyak omong saat makan, bukannya kenyang malah akan tersedak nanti. Dan itu bukan pilihan bagus, menurutku. Terserah orang berpikir apa, yang penting tak menggangguku.
Tadinya aku pikir aku bisa jajan sepuasnya, namun ternyata harga makanan disini mahal-mahal. Makanya aku hanya bisa beli satu gorengan, satu kerupuk balado dan satu es lilin. Besok-besok aku bawa air minum sajalah dari rumah biar hemat. Tak baik juga minum es lilin ini setiap hari. Bisa saja airnya tak higienis. Akibat pikiran ngawurku itu, aku jadi lebih memperhatikan lekat-lekat es lilin ditanganku. Sebenarnya tak cocok disebut es sih, lebih tepatnya air rasa mocca. Terlihat jelas di dalam plastik bening itu, ada benda aneh mirip debu memenuhi air mocca itu. Seketika aku jadi geli meminumnya. Benar-benar tak higienis, bukannya diminum aku malah membuangnya. Tak apalah tak minum, daripada nanti aku sakit perut. Memikirkannya saja, sudah membuatku ngeri, apa lagi beneran sakit.
Aku dari dulu memang paling takut kalau sakit, apalagi sakit perut. Karena kalau aku sakit perut, mama akan membuatkan minuman tradisional yang benar-benar tak enak dilidah. Bukannya mengobati, malah jadi racun ditubuhku. Aku memang tak suka minum obat, apalagi obat tradisional. Jika aku paksakan meminumnya, aku pastikan aku akan muntah dan lemas. Kalau sudah begitu, aku tak kan bisa sekolah yang artinya aku izin tidak sekolah hingga aku benar-benar sembuh. Aku tak mau semua itu benar-benar terjadi.
Tak lama bel masuk pun berbunyi, aku sudah siap menerima pelajaran yang berbeda hari ini. Karena terlalu fokus belajar, hingga aku tak sadar jam pulang sekolah sudah tiba. Para siswa bersiap pulang setelah sebelumnya kami berdoa bersama.
---------------------------------------ooooooo--------------------------------------