Varo melihat jelas perubahan ekspresi dan suasana hati Aran yang terkesan semakin memburuk, itu kenapa setelah melihat itu Varo menarik napas panjang lalu menghembuskannya, sebelum melanjutkan apa yang seharusnya pemuda itu sampaikan.
"Lo salah paham kalau menganggap dengan melihat senyum orang lain berarti orang itu bahagia. Secara kasat mata mungkin ya, semua orang bisa berpendapat sama kalau orang itu bahagia, tapi lo nggak tahu ada apa di balik senyum itu, Ran. Bisa jadi dia nyimpen sesuatu, semacam bom waktu yang kapan aja siap ngancurin dirinya sendiri dan anggapan orang-orang di sekitarnya."
Melirik Aran yang masih berjalan dalam diam di sampingnya, Varo berusaha menangkap setiap perubahan ekspresi di wajah gadis itu. Sayangnya yang Varo temukan hanya satu, kaku. Pemuda itu menghela napas, kembali melanjutkan kalimatnya. "Dalam kehidupan sosial bukan hal baru ketika lo nemuin kasus di mana orang yang lo pikir baik-baik aja tiba-tiba mutusin bunuh diri dengan ninggalin segudang masalah di pundaknya."
"Pertanyaan gue nggak mengarah se-ekstrim itu!" sanggah Aran cepat, matanya membulat begitu mendengar kalimat mengerikan yang baru saja Varo ucapkan.
"Gue tahu, gue cuma kasih salah satu contoh nyata yang gampang dicerna."
"Sayangnya kalau lo pikir gue bisa nerima contoh itu karena menurut lo sederhana, lo salah. Gue akan milih contoh yang lebih rumit, tanpa bawa hidup dan mati orang lain."
Kekehan Varo terdengar di tengah atmosfir serius yang menjadi latar belakang pembicaraan mereka sepuluh menit belakangan, tangan besar pemuda yang sudah melewati masa pubernya itu mengusak gemas rambut Aran yang langsung mendapat tepisan kasar dari objek bersangkutan.
"Sebenernya jawabannya selalu simpel, Ran. Kayak gue yang percaya Kak Nadi baik-baik aja karena memang itu yang gue harapkan. Lo berhak percaya apa yang mau lo percayai, dan nggak ada yang berhak menghakimi pilihan lo itu."
Aran melirik sosok Varo dari ekor matanya, mendapati pemuda itu diam dengan ekspresi serius adalah momen yang selalu gadis itu nikmati. Sebab, 90% dari kebersamaan mereka, yang sering Aran jumpai adalah sosok Varo dengan tingkah konyol dan absurd-nya. Jadi biarkan Aran merekam apa yang dilihatnya ini baik-baik dan menyimpannya di kepala, hal itu berguna untuk membuat emosinya terkontrol ketika mendapati "Varo lain". Setidaknya Varo yang sekarang akan mengingatkannya bahwa pemuda yang dia hadapi tetaplah manusia, bukan mahluk halus penguji iman atau alien tersesat yang membuatnya sakit kepala.
"Dan soal contoh yang gue kasih tahu tadi itu, cuma sebagian dari referensi realitas yang harus diakui memang ada. Senyaman apa pun pilihan tentang apa yang ingin lo percayai, nyatanya di luar sana ada hal-hal yang nggak pernah sesederhana itu."
Kadang, ada batas sudut pandang Aran yang tidak bisa menembus cara Varo melihat sekitarnya. Ketika diucapkan dan dijelaskan, Aran baru sadar bahwa sudut lain yang tidak dia perhatikan bukan berarti tidak ada, melainkan hanya belum dia akui eksistensinya.
"Gimana? Lo udah jatuh cinta sama gue belum?" Wajah Varo tiba-tiba sudah tepat berada di depan mata Aran yang otomatis menghentikan setiap gerakan mereka. Hanya sepuluh senti yang Varo sisakan untuk mengamati setiap reaksi Aran. Sungguh disayangkan karena tidak semua ekspektasi Varo bisa terpenuhi, nyatanya satu hal yang tidak pernah bisa Varo baca dari gadis itu. Hal tersensitif mengenai perasaannya, yang terlalu rapat disimpan sejak beberapa tahun lalu.
"Singkirin muka tengil lo sekarang juga, atau mau gue gali kuburan lo biar bisa langsung lo tempatin?"
Sadis. Aran-nya yang lembut entah atas dasar apa sudah berubah menjadi gadis berdarah dingin yang terlalu sadis. Varo berdecak, menuruti perintah Aran demi keselamatan jasmani dan rohaninya.
"So, apa yang sebenernya bikin lo tiba-tiba nanyain hal macam ini? Kita sama-sama tahu kalau topik ini sebenernya topik yang umum, tapi keadaan seolah bikin kita nggak bisa berpikir kayak gitu lagi."
Aran mengangguk, mengerti benar apa yang Varo maksud. Dulu, saat awal-awal kepergian Nadi ke Jerman, semua anggota keluarga dan tetangga terdekatnya selalu membahas sosok gadis itu dengan cara yang biasa dalam setiap kesempatan. Hingga suatu waktu, tepat ketika Zillo berada di sana saat pembicaraan berlangsung, kakak lelaki Aran itu memutuskan pergi di tengah-tengah pembicaraan, menciptakan hening yang begitu panjang dan memulai semua kecanggungan yang berlangsung sampai sekarang. Tidak ada yang berani meluruskan kejadian itu, apa dan mengapa Zillo walkout. Semuanya hanya memilih diam, membiarkan kesalahpahaman itu bergulir hingga menjadi keharusan yang dibalut alasan kebiasaan, bahwa apa pun yang menyangkut "Nadi" adalah topik pembicaraan yang masih dihindari.
"Sebenernya beberapa hari lalu—" Aran tidak menyelesaikan kalimatnya karena dering ponsel Varo lebih menyita perhatian mereka untuk didahulukan. Gadis itu mengangkat bahu, mempersilakan Varo untuk menerima panggilan dari siapa pun itu.
"Ja?[1]" ucap Varo begitu ponselnya menempel di telinga. Pemuda itu sempat melirik Aran yang membalasnya dengan tatapan tanya, hanya saja Varo memilih untuk memutuskan kontak matanya dengan Aran lebih cepat dari yang biasa dia lakukan.
"Ini kakak," suara di seberang sana menyahut.
"Ich weiß.[2]"
Hanya ada dua orang yang akan menghubungi Varo dengan bahasa milik kakek dari ayahnya itu. Satu nenek Varo, dan yang kedua kakaknya—Nadi. Tanpa perlu ditanya dari cara bicara Varo yang santai dan cenderung malas-malasan, Aran tahu yang berada di seberang sambungan sana tentulah Nadi. Karena jika sang nenek yang menelepon, Varo akan bertranformasi menjadi mahluk paling manis yang pernah ditemukan.
"Kenapa tiba-tiba kamu pakai bahasa Jerman?" Tanpa sadar, di seberang sana Nadi sudah mengerutkan dahi mendengar adiknya berinisiatif memakai bahasa kedua mereka lebih dulu, padahal biasanya pemuda itu selalu protes dan mengatakan lebih nyaman memakan bahasa ibu.
"Jemand bei mir jetzt.[3]"
"Wer?[4]"
"Schwester der Person, die du liebst(?).[5]"
"Aran?"
"Gibt es noch jemand?[6]" Varo menyindir, sikap yang dia tunjukan pada kakaknya di depan yang bersangkutan dan di belakangnya memang berbeda seratus delapan puluh derajat. Katakanlah Varo tipe adik yang hanya menunjukan kasih sayangnya justru ketika saudaranya tidak ada di tempat.
Nadi mendengus, "Halte den Mund![7]"
Varo terkekeh, "Ada apa? Tumben telepon?"
"Biasanya juga telepon, kamunya aja yang nggak mau ngomong sama Kakak. Tapi karena kamu lagi sama Aran, kakak telepon lagi aja nanti."
"Ist es okay?[8]"
"Ja. Rede spätter mit dir[9]. Salam buat Aran."
"Ok, tschüss.[10]"
Tepat ketika Varo menjauhkan ponselnya dari telinga, Aran akhirnya buka suara, "Kak Di?"
"Hem, dia selalu cerewet." Entah disadari atau tidak, senyum yang baru saja Aran lihat terselip di bibir Varo ada sebuah senyum kerinduan. Rindu pada saudara satu-satunya yang sudah bertahun-tahun tinggal di negeri kelahiran kakeknya. Meski setiap hari mendengar kabarnya, bisa merasakan langsung keberadaan sang kakak di depan mata seperti dulu tentu hal yang berbeda—hal yang kini jelas terlihat Varo rindukan.
"Ah, tadi lo mau ngomong apa? Sebelum gue angkat telepon."
Sedetik Aran diam, lalu setelahnya menggeleng. "Bukan apa-apa."
Dia rasa, mungkin hal yang mengusiknya tidak harus mengusik Varo. Seperti yang Varo katakan, dia percaya bahwa kakaknya baik-baiknya saja karena itu yang dia harapkan. Jadi, biarkan Varo tenang dengan apa yang ingin dia percayai. Toh mungkin, kekhawatiran itu hanya buah dari perasaan Aran yang terlalu memikirkannya secara berlebih.
1. Ya?
2. Aku tahu
3. Seseorang bersamaku sekarang
4. Siapa?
5. Adik dari orang yang kakak cintai(?)
6. Memangnya ada orang lain?
7. Shut up!
8. Nggak apa-apa?
9. Ya, talk to you later
10. Baiklah, bye