Pagi harinya Syafira terbangun ketika cahaya matahari menyembul melalui celah gorden yang masih tertutup, wanita itu mengerjapkan kedua matanya dengan perlahan. Dia menoleh ke arah sampingnya, sudah tidak ada Relix. Ketika akan bangun dari tidurnya, seluruh tubuhnya terasa sangat kaku dan pegal. Dia mendengus kesal ketika mengingat malam tadi, Relix benar-benar keterlaluan. Pria itu sama sekali tidak membiarkan Syafira beristirahat barang sedikitpun, mereka menuntaskan hasrat itu sampai jam tiga pagi. Bayangkan saja seberapa lelahnya Syafira kini? Dengan perlahan dia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Sebelumnya tadi dia menatap jam di dinding, untunglah belum terlalu siang. Jika tidak, maka dirinya akan terlambat lagi dan suaminya yang memang sangat perfeksionis jika menyangkut pekerjaan akan marah-marah tak jelas padanya.
Syafira keluar dari kamar mandi dengan handuk sebatas pahanya, dia tadi lupa membawa baju ganti. Bertepatan dengan dia yang membuka lemari pakaian, Relix memasuki kamar sambil membawa nampan berisi makanan. Suaminya itu menaruh nampan itu di atas meja dekat sofa yang letaknya berada di pojok kamar, setelahnya dia menghampiri Syafira. Wanita itu tersentak ketika ada sebuah lengan kekar yang memeluk pinggangnya, juga deru napas hangat yang menggelitik tengkuknya. Tanpa melihat pun Syafira jelas tahu siapa pelakunya, memangnya siapa lagi kalau bukan Relix?
"Ih lepas, nanti kita terlambat." Syafira mencoba melepaskan pelukan Relix yang bukannya lepas malah semakin erat.
"Kamu seksi banget sih, Sayang." Bisikkan Relix ditelinga Syafira membuat wanita itu meremang.
"Jangan mulai lagi deh, badan aku masih sakit semua. Kita juga harus ke kantor ya kan Bapak Relix Alfaro yang terhormat?" sarkas Syafira menepis paksa pelukan Relix kemudian berbalik untuk mengambil pakaiannya.
"Kasih morning kiss dulu dong, Sayang. Nanti aku lepas," ujar Relix yang kembali memeluk Syafira dari belakang.
Dengan kesal Syafira membalikkan tubuhnya kemudian mengecup sekilas bibir Relix, baru saja Relix akan menahan tengkuk Syafira untuk memperdalam ciumannya. Syafira dengan cepat menghindar, wanita itu menatap Relix sambil berkacak pinggang. Matanya menatap Relix galak, dia benar-benar merasa sangat kesal dengan suaminya itu. Sama sekali tidak ada puas-puasnya, padahal mereka semalam sudah melakukan hal yang lebih dalam jangka waktu yang sangat lama. Tetapi tetap saja Relix tak merasa puas, mau mengulang lagi pagi ini? Tidak! Syafira tentu saja tidak mau.
"Mau lepasin aku atau enggak ada jatah sebulan buat kamu!" ancam Syafira yang membuat mata Relix membulat.
"Sayang, kok gitu? Masa suami mau cium-cium istrinya dikit enggak boleh? Aku cari istri baru nih ya." Ucapan asal Relix membuat dia mendapat sentilan di bibirnya, ya Syafira menyentil bibir Relix yang asal bicara itu.
"Aduh, sakit." Relix meringis sambil mengusap bibirnya, dia menatap istrinya kesal. Namun nyalinya langsung ciut begitu melihat tatapan galak sang istri.
"Kalau sampai itu terjadi, tunggu aja surat pisah kita!" Tentu saja Relix semakin takut mendengarnya.
"Sayang, jangan asal bicara dong. Aku tadi cuma bercanda aja, masa kamu enggak tau mana yang bercanda dan enggak? Maafin aku ya Sayang?" Lebih baik Relix mengalah, daripada ancaman istri tercintanya bisa menjadi kenyataan. Hidup tanpa Syafira? Tentu saja dia tidak akan sanggup.
"Makanya duduk yang anteng dong, enggak usah gangguin aku. Enggak puas emang semalam kamu gempur aku habis-habisan?" sungut Syafira kesal sebelum meninggalkan Relix menuju kamar mandi untuk memakai pakaiannya, tentu saja dia tidak akan mungkin berganti pakaian di hadapan Relix karena jika hal itu dia lakukan bisa dipastikan mereka akan sangat-sangat terlambat ke kantor.
"Gagal dong dapat jatah di pagi hari," gerutu Relix meratapi nasibnya kemudian memilih duduk di sebuah sofa.
"Sayang, sini sarapan dulu" ajak Relix ketika melihat Syafira keluar dari kamar mandi dengan setelan kerjanya.
"Ini kamu yang masak?" tanya Syafira ketika melihat ada sup ayam di atas meja.
"Iya dong, Sayang. Memangnya siapa lagi? Kamu enggak lupa kan kalau suamimu ini pintar memasak?" jawab Relix penuh percaya diri dan hal itu dibalas cibiran oleh Syafira.
"Pegawai kamu pasti pada enggak nyangka kalau CEO mereka bisa berucap alay seperti ini," cibir Syafira.
"Aku begini cuma sama kamu, Yang. Memangnya kamu mau aku sama wanita lain?" Relix hanya berniat menggoda Syafira saja, tak pernah ada niatan di hati Relix untuk menduakan Syafira.
"Jangan mulai lagi deh!" kesal Syafira yang dibalas kekehan Relix.
"Ya udah yuk kita sarapan, nanti kita berangkatnya bareng aja ya?" Pergerakan Syafira yang akan mengambil mangkuk berisi sup ayam buatan Relix pun terhenti.
"Enggak, aku mau berangkat sendiri aja." Syafira menolak dan hal itu dibalas helaan napas panjang Relix.
"Kita cuma berangkat bareng loh, masa kamu enggak mau? Aku enggak tega biarin kamu berangkat sendiri. Nanti kalau kamu kenapa-napa gimana? Aku juga kan yang cemas," ucap Relix yang tak habis pikir dengan jalan pikiran sang istri. Mereka akan berangkat ke tempat yang sama, tetapi malah sendiri-sendiri? Adakah hal lainnya yang lebih aneh dari ini?
"Aku enggak mau ada yang lihat kalau aku bareng kamu, kalau pulangnya oke aku mau karena kantor udah sepi. Tapi untuk berangkat bareng? No! Aku menolak dengan tegas, bukannya kita udah sepakat kalau enggak boleh ada yang tahu aku adalah istri kamu? Kamu udah setuju kan sebelum menikahiku? Kenapa sekarang kamu kayak berubah pikiran gini sih?" kesal Syafira.
"Bukan berubah pikiran, Sayang. Aku enggak mau kamu berangkat sendiri karena hal itu buat aku khawatir, kalau ada orang jahat gimana? Aku enggak mau kamu kenapa-napa. Apalagi kemarin kamu naik ojek kan? Ah aku enggak bisa menjamin tukang ojeknya itu baik sama kamu." Mata Syafira mendelik, suaminya ini kenapa sih? Suka sekali berburuk sangka dengan orang lain.
"Atau kita sewa sopir aja buat kamu? Aku lebih tenang kalo gitu." Mendengar ucapan Relix, tentu Syafira menggeleng dengan tegas.
"Enggak! Enggak perlu, aku bisa bawa mobil sendiri. Lagian mobil aku yang dibengkel udah bener kan? Nah aku bisa bawa itu ke kantor, kamu enggak usah berlebihan gitu deh. Aku enggak suka dikekang, kamu tahu kan?" Syafira masih keras kepala, dia tidak setuju dengan Relix yang seakan terlalu berlebihan.
"Iya, iya. Oke aku nyerah, tapi kamu harus janji, kamu harus hati-hati ya? Jangan ngebut bawanya." Ada sebuah alasan mengapa Relix begitu mengkhawatirkan Syafira, sebuah alasan yang istrinya itu sendiri tak ketahui.
"Iya itu pasti, makasih ya udah mau ngerti" ucap Syafira ceria kemudian tanpa aba-aba dia mengecup sekilas pipi sang suami.
Syafira berjalan meninggalkan Relix yang masih terdiam sambil memandangi pipinya menuju meja riasnya, dia sudah akan memoles bedak di wajahnya ketika Relix merangkul pinggangnya dari belakang.
"Kalau dengan aku menuruti semua keinginan kamu aku bisa dapat kecupan di pipi, kira-kira aku harus apa biar bisa dapat kecupan di bibir?" bisik Relix membuat Syafira langsung memukul lengan Relix.
"m***m!" pekiknya sambil memukuli perut Relix yang kini tertawa terbahak-bahak.
"Kamu imut banget, Yang. Dengan pipi memerahmu itu," ujar Relix masih dengan tawa renyahnya.
"Bahagia banget ya ngetawain istrinya?" sinis Syafira yang kini lebih memilih melanjutkan kegiatannya yang tertunda dan mengabaikan Relix yang masih asyik tertawa.
"Kamu yakin mau berangkat sendiri?" tanya Relix ketika Syafira akan memasuki mobilnya.
"Yakin dong, ini udah mau masuk mobil. Tapi kamu panggil-panggil aku terus, kapan berangkatnya ini? Aku enggak mau ya telat lagi terus kena marah sama atasan," sindir Syafira.
"Enggak mau salim dulu nih sama suami?" Relix mengulurkan tangannya.
"Eh iya lupa." Syafira menyengir, dia menyalami tangan Relix kemudian memasuki mobilnya.
"Aku duluan ya suami!" teriak Syafira sambil melambaikan tangannya, setelahnya dia mengemudikan mobilnya meninggalkan Relix yang tersenyum memandangi kepergian istrinya. Melihat mobil Syafira yang kian menjauh, akhirnya Relix pun ikut memasuki mobilnya kemudian menjalankan mobilnya menuju kantor.
Syafira mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang sambil mendengarkan lagu di radio yang dia setel, sesekali pula wanita itu bersenandung mengikuti alunan lagu yang terdengar merdu. Ponselnya berbunyi dengan nyaring, membuat Syafira pun akhirnya mematikan radio kemudian mengambil ponsel yang berada di dalam tasnya. Dia tersenyum ada nama Laura di sana, tepatnya Laura Saquella. Sahabat sekaligus kakak iparnya, dia pun menepikan mobilnya kemudian bersegera mengangkat teleponnya.
"Hallo Lau ...." sapa Syafira.
"Ra, lo ada di mana?" tanya sebuah suara dari sebrang sana.
"Gue lagi ada di jalan nih, mau berangkat ke kantor. Ada apa Lau?"
"Mobil gue mogok Ra, sedangkan Mas Sandi lagi ada perjalanan bisnis. Gue enggak tahu mau hubungin siapa, lo bisa ke sini enggak Ra? Jemput gue." Suara di sana terdengar cemas, dan hal itu membuat Syafira ikutan cemas.
"Astaga! Ya udah lo buruan share loc ya? Gue segera ke sana."
"Iya Ra, makasih. Gue tutup ya? Nanti gue share lokasinya." Tuut...
Setelah mendapat lokasi keberadaan Laura, Syafira pun mengemudikan mobilnya untuk menemui Laura. Wanita itu seakan lupa kalau dia mungkin akan kembali terlambat di hari kedua dia bekerja menjadi sekretaris seorang Relix Alfaro yang terkenal sifatnya yang perfeksionis. Akhirnya Syafira tiba juga di jalan di mana mobil Laura yang mogok, wanita itu melihat Laura yang sedang berdiri di samping mobilnya sambil memandangi ponselnya.
"Laura!" panggil Syafira sambil membuka kaca jendela mobilnya.
Laura yang mendengar teriakan Syafira pun menghampiri sahabatnya itu, dia tersenyum kemudian memasuki mobil Syafira ketika mendapat intruksi dari Syafira.
"Untung lo angkat telepon gue Ra, gue takut banget astaga! Itu jalan mana sepi banget lagi, oh iya mobilnya nanti mau diambil sama tukang bengkel yang udah gue telepon tadi. Maaf ya gue jadi ngerepotin lo, pake nebeng segala gini lagi gue." Laura terlihat tak enak hati merepotkan sahabatnya, Syafira tersenyum. Dia menatap Laura sekilas lalu kembali fokus ke jalanan ketika mobilnya sudah mulai dia jalankan.
"Santai aja kali Lau, lo kayak sama siapa aja sih? Oh iya lo mau ke mana ini?" tanya Syafira ketika dia baru sadar kalau dia tidak tahu tujuan yang akan Laura datangi.
"Gue mau ke kantor Papa, udah lama gue enggak ketemu. Oh iya lo ini beneran jadi sekretaris CEO Ra? Keren banget ya sahabat gue ini," ucap Laura ketika melihat penampilan Syafira yang terlihat formal.
"Iya gue dulu kan pernah cerita sama lo kan kalau gue melamar kerja jadi sekretaris CEO? Beruntung banget tahu gue ngalahin banyak orang yang daftar, eh iya Lau. Lo tau enggak siapa coba CEO gue itu?" tanya Syafira membuat Laura berpikir.
"Ehm siapa ya? Apa orang yang kita kenal Ra?" Syafira mengangguk.
"Temen kita?" Syafira sontak menggeleng.
"Terus siapa ya? Ah atau jangan-jangan mantan lo ya!" tebak Laura lagi yang membuat Syafira memukul lengan Laura gemas.
"Sembarangan lo Lau, ya enggak mungkin lah!" Laura mengerucut.
"Terus siapa dong? Dari tadi jawaban gue salah mulu." Syafira tersenyum misterius membuat Laura semakin penasaran.
"Ra, tinggal jawab apa susahnya? Jangan buat gue mati penasaran deh" rajuk Laura.
"Jawabannya .... Suami gue sendiri Lau! Kaget kan pasti lo?" Syafira tertawa puas ketika melihat wajah terkejut Laura.
"Hah!? Serius lo Ra? Ah bohong pasti kan lo!"
"Enggak gue enggak bohong Lau, gue juga awalnya kaget banget begitu kemarin gue masuk ke ruangan CEO yang ternyata suami gue itu. Eh lo tau enggak kalau ternyata ya sifatnya Relix itu beda banget waktu di kantor sama di rumah, dia tuh ya sok perfeksionis banget jadi atasan! Gue sebal banget tahu sama dia! Kemarin ya gue dimarahin habis-habisan hanya karena kurang kasih koma di salah satu kalimat. Terus ya gue juga dimarahi gara-gara terlambat, ya itu emang kesalahan gue sih. Tapi kan tetap aja ... eh tunggu bentar deh, gue kayaknya ingat sesuatu." Laura menaikkan alisnya seakan bertanya pada Syafira, apa yang lo ingat?
"Astaga, Lau! Gue terlambat ke kantor!" Syafira sangat panik sekali, dia teringat ancaman Relix kemarin.
"Lo pegangan ya? Gue mau ngebut ok?" Belum juga Laura menjawab, Syafira langsung tancap gas dengan menambah kecepatan mobilnya. Hal itu membuat Laura hampir terhuyung ke depan, untunglah dia dengan sigap berpegangan. Kalau tidak, bisa-bisa dia celaka karena ulah sahabatnya.
"Lau, lo bisa turun sekarang enggak? Udah sampai nih. Cepetan ya? Gue mau ngebut lagi soalnya, nanti deh gue cerita detilnya sama lo. Sekarang lagi darurat nih," ujar Syafira membuat Laura mengangguk dan langsung turun dari mobil Syafira.
"Makasih ya-...." Belum sempat Laura berterima kasih, Syafira sudah lebih dulu menancap gas mobilnya dengan kecepatan tinggi dan hal itu membuat Laura menggeleng kemudian mulai memasuki kantor Papanya.
"Astaga, please jangan sampai gue telat lagi. Bisa-bisa si Bos marah besar, mati gue. Astaga Tuhan, tolong bantu hambamu ini melewati cobaan ini." Syafira terus saja merapalkan doa semoga dia tidak terlambat saat tiba di kantor.
"Akhirnya gue sampai juga." Syafira langsung turun dari mobilnya kemudian berlari memasuki area kantor, tetapi ketika dia teringat sesuatu dia kembali ke area parkiran.
"Kenapa bisa kelupaan segala sih? Buang-buang waktu kalau gini caranya," gerutu Syafira sambil mengambil tasnya tak lupa mengunci mobilnya. Barulah dia kembali memasuki area kantor.
Wanita itu memencet tombol lift dengan tak sabaran, dia sebentar lagi akan terlambat kalau lift ini tak juga terbuka. Dengan cepat dia langsung memasuki lift dan menekan tombol bertuliskan angka tujuh, sepanjang lift naik dia tak henti-hentinya berdoa semoga saja dirinya tidak kena semprot.
"Kamu terlambat lagi Nona sekretaris," ucap suara sarkas itu ketika pintu lift terbuka.