Permintaan Orang Tua Arini

1104 Kata
Sebuah motor bebek menepi dan akhirnya berhenti di depan sebuah rumah. Sepasang suami istri berusia senja yang tadinya sedang asyik menonton sinetron di televisi pun langsung bangun dan mengintip dari balik tirai kaca jendela. Di luar sana terlihat seorang perempuan berbadan mungil yang sedang melepas helm­-nya, lalu memberikannya pada pria yang mengemudikan motor itu. “Kamu langsung istirahat, ya Rin ... kalau bisa minum segelas s**u hangat sebelum tidur,” ucap pemuda itu. Arini tersenyum dan mengangguk pelan. “Kamu nggak mau singgah dulu?” Pria itu menggeleng dan menarik kostum bola yang masih dipakainya. “Aku masih bau keringat, lain kali aja,” jawabnya. “Ya sudah, aku masuk dulu, ya.” Arini memperbaiki posisi tas yang tersampir di bahunya. “Okey.” Pria itu menyalakan motornya kembali dan bersiap melaju pergi, tapi Arini yang sudah melangkah masuk ke dalam pekarangan rumah kembali berbalik. “Ikhsan ...!” panggilnya setengah berteriak. Pria bernama Ikhsan itu pun menoleh. “Apa, Rin?” Arini tersenyum malu, kemudian mengangkat jarinya yang membentuk finger heart. Ikhsan pun tertawa pelan dan membalas dengan cara yang serupa. “Aku pulang dulu, ya!” Ikhsan bersiap pergi. Arini melambaikan tangannya. “Hati-hati di jalan.” Motor Ikhsan sudah melaju pergi, tapi Arini masih berdiri di tempatnya berdiri. Senyum yang tergurat diwajah itu berangsur hilang. Arini mengusap wajahnya dengan telapak tangan, lalu menengadah menatap langit. Hari ini terasa sangat melelahkan bagi perempuan yang berprofesi sebagai penyiar radio itu. Akhir-akhir ini kedamaiannya di tempat dia bekerja mulai terusik sejak kedatangan seorang penyiar baru yang selalu saja mencari masalah dengannya. “Kenapa kamu belum masuk juga, ha?” Arini terkejut karena hardikan ibunya yang berdiri di ambang pintu. “Ibuk ... aku kaget tahu.” Arini melangkah masuk sambil memegangi dadanya yang berdegup cepat. “Ada apa? apa kamu bertengkar lagi sama Ikhsan?” selidik sang ibu. Arini menautkan alisnya. “Nggak kok. Hubungan kita baik-baik aja,” jawab Arini. “Baik-baik saja, tapi tidak ada perkembangan sama sekali,” sela sang ayah. Arini tertegun menatap sang ayah yang berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi. Kalimat yang baru saja dilontarkan ayahnya itu cukup membuat kedua lutut Arini terasa lemas. Dia pun segera menghempaskan tubuhnya di sofa dengan sorot mata yang masih mengarah pada ayahnya. Sang ibu yang menyadari situasi canggung itu pun lekas duduk di sebelah Arini, lalu meremas pundak putrinya itu pelan. “Lebih baik kamu makan malam dulu, ya,” ucap sang ibu. Arini menggeleng lemah. “Bapak kenapa bicara seperti itu, sih?” Helaan napas sang ayah terdengar berat. Dia mematikan televisi dengan remote di tangannya, lalu menatap putrinya itu lekat-lekat. “Bapak hanya khawatir sama kamu,” jawabnya. “Apa yang Bapak khawatirkan?” tanya Arini. “Kamu dan Ikhsan sudah berpacaran terlalu lama. Tapi, setelah Bapak amati Ikhsan itu sepertinya tidak berniat untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius.” Arini meneguk ludah. Dia tertunduk dan tidak bisa berkata-kata. Karena pada kenyataannya Arini sendiri juga menyadari hal itu. Dia sadar bahwa Ikhsan memang seperti penilaian ayahnya. “Sudahlah, Pak ... mungkin mereka masih butuh waktu.” Sang ibu memecah keheningan. “Waktu apa lagi, Buk? mereka sudah berpacaran sejak SMA. Usia mereka sudah matang untuk menikah. Bapak sudah resah melihat mereka yang keluyuran ke sana ke mari, tapi belum ada kejelasan juga.” Sang ayah melepas peci yang menempel di kepalanya, lalu meniupkan napas gusar. Tatapan sang ibu beralih pada Arini yang masih tertunduk. “Apa kamu sudah membicarakan hal ini dengan Ikhsan?” Arini menggeleng pelan. “A-aku ngerasa nggak enak kalau harus bicara duluan, Buk.” “Besok ajak dia untuk makan malam bersama kita di sini. Biar Bapak yang akan bicara sama dia.” Deg. “T-tapi. Pak ....” Perkataan Arini terputus saat sang Bapak bangun dari duduknya. “Sudahlah ... Bapak sudah capek ngomong sama kamu,” ucap sang ayah seraya berjalan pergi. Sang ibu yang duduk di sebelah Arini pun juga melakukan hal yang serupa. “Kamu jangan sampai lupa, ya. Pokoknya besok Ikhsan harus datang.” pesan sang ibu. **** Hari ini Arini memutuskan untuk ijin tidak masuk bekerja. Pagi-pagi sekali dia dan sang ibu sudah pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan. Arini bahkan sibuk menata ulang letak beberapa perabotan di rumahnya untuk sedikit mengubah suasana. Aksinya itu pun membuat sang ibu hanya bisa geleng-geleng kepala. “Segitunya kamu karena Ikhsan mau datang,” ucap sang ibu. Arini yang sedang menggeser vas bunga dari keramik melonggokkan wajahnya, lalu tertawa pelan. “Aku cuma pengen merapikan aja, mumpung ada waktu juga,” “Kamu udah hubungi Ikhsan?” tanya sang ibu. Arini terdiam sebentar. “A-aku udah kirim pesa, sih, Buk,” jawabnya. Sang ibu mengeryitkan dahinya. “Lho ... kamu harus mastiin, dong Rin.” “I-iya, Buk. Aku bakalan menghubungi dia lagi.” Arini bergegas masuk ke dalam kamar dan mengambil handphone-nya. Jemarinya dengan cepat menggulir layar dan langsung menelepon Ikhsan. “H-halo ... kamu udah baca pesan dari aku?” “Pesan apa ...? semalam aku langsung tidur, sih. Sekarang juga lagi banyak kerjaan, jadi aku belum cek,” jawab Ikhsan. Arini menghela napas. “Bapak sama Ibuk ngundang kamu buat makan malam di rumah nanti malam.” “A-APAA ...!?” Arini menjauhkan handphone dari telinganya karena pekikan Ikhsan. Suara Ikhsan dibalik telepon masih terdengar menggerutu, tapi Arini sudah menduga itu akan terjadi. “Pokoknya malam ini kamu harus datang!” “T-tapi malam ini—” “Please ... kali ini aku mohon sama kamu.” Arini langsung memotong ucapan Ikhsan. Hening. Ikhsan tidak menjawab. Arini pun juga tidak lagi berbicara. Cukup lama keduanya terdiam. Yang terdengar hanyalah suara helaan napas Ikhsan yang terdengar berat. “Emang ada apa, sih? apa ada sesuatu yang penting?” Pertanyaan Ikhsan membuat pupil mata Arini bergetar. “Apa harus ada sesuatu yang penting dulu baru aku boleh ngajak kamu makan di rumah? Ini Bapak yang nyuruh, San. Ibuk juga udah belanja dan masak buat menyambut kamu.” “Harusnya kamu tanya aku dulu ....” “Aku sudah kirim pesan sama kamu sejak semalam, tapi kamu malah nggak baca.” “Hah ... oke deh, aku usahain buat datang,” ucap Ikhsan kemudian. Tut... tut... Panggilan itu pun langsung terputus. Arini melempar handphone-nya ke atas kasur, lalu memejamkan matanya sejenak. Segenap pikirannya kini dipenuhi oleh segala sesuatu tentang Ikhsan. Arini benar-benar berharap banyak kali ini. Menurutnya sekarang adalah saat yang tepat untuk meminta kepastian pada Ikhsan. Jauh di lubuk hatinya dia memang ingin melanjutkan hubungan itu ke jenjang yang lebih serius. Tapi selama ini Arini tidak pernah mengungkapkan hal itu. Dia hanya menunggu keinginan itu datang dari Ikhsan. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN