Bab 1 : Rasa Canggung

1659 Kata
Ketika keluarga menjadi semakin dingin di antara satu sama yang lainnya..  *** Tok.. Tok.. Tok.. Ketukan pintu kamarku terdengar samar di telingaku saat ini, tak aku pedulikan paling itu bunda yang mengetuk tak sopan pada pintu kamarku. Tak ketukan itu berhenti, aku tersenyum dalam hati lalu melanjutkan tidurku yang sempat terganggu akibat gangguan kecil tadi.  Namun baru semenit aku kembali tertidur, suara ketukan kembali terdengar tetapi kali ini bukan ketukan pelan seperti tadi kini sebuah gedoran keras hingga membuatku terperanjat dari tidurku dan akhirnya bangun. Masih terduduk di ranjang sambil terus mengerjabkan mataku mengembalikan kesadaranku akibat masih mengantuk. Dengan gerakan malas aku bangkit dari ranjang menuju pintu kamarku, lalu segera membukanya. Terlihat bundanya sedang berdiri di hadapannya sambil berkacak pinggang dan matanya melotot tajam.  "Ada apa, Bunda?" tanyaku malas.  Bunda menjewer telinga kananku, membuatku menjerit kesakitan. "Aduh... Duh... Bunda sakit,"  Bunda mendengus. "Jangan lebay kamu!! Ayo cepat mandi dan temani Bunda ke rumah adik kamu."  Memutar bola matanya, aku melepaskan tangan bunda dari telingaku. "Malas ah! Ini kan hari sabtu, Bun, mumpung kerjaan aku libur. Aku mau tidur seharian," rengekku pada bunda.  "Nggak ada alasan ya, Sha! Bunda tunggu di bawah lima belas menit, okey?"  Bunda berlalu begitu saja, mengabaikan aku yang sedang di landa kesal berkepanjangan. Bagaimana tidak? Hari ini hari sabtu yang artinya kantor aku tutup alias libur. Jangan mengira aku adalah pegawai kantoran, aku ini punya usaha wedding organizer yang sudah aku bangun dari lima tahun yang lalu.  Ya, dengan modal yang di kasih oleh almarhum ayahku. Akhirnya aku membuka usaha tersebut, itu di mulai saat aku latah hati saat pacarku selingkuh dengan adik kandungku sendiri. Namun aku tak mau terpuruk dan menyesali apa yang dari awal bukan milikku, aku hanya di takdirkan menjaga jodoh adikku selama enam tahun.  Jangan salah aku dulu pernah bekerja di salah satu WO tempat kakak sahabatku selama tiga tahun, jadi ilmu yang aku dapat dari semua itu adalah hasil kerja aku di sana. Aku yang senang mengambar di tempatkan di bagian mendisegn baju pengantin. Awalnya aku begitu kesulitan. Ya, walaupun aku sangat suka menggambar namun untuk membuat satu karya baju pengantin indah sesuai dengan keinginan klien itu sangat sulit. Untungnya saat itu aku di bantu dengan kakak sahabatku yang memang jago dalam design baju, beliau juga yang banyak mengajarkan aku selama ini sehingga sekarang aku bisa sukses membuka usaha WO yang sekarang sudah semakin maju dan terkenal.  Tak tanggung-tanggung klien-klienku rata-rata dari kalangan menengah keatas, kadang ada dari model, aktis, penyanyi, dan juga pengusaha. Alhamdulillah itu semua berkat doa bunda juga makanya sekarang aku yang tak mau di katakan anak durhaka menuruti semua perintahnya dengan segera mandi dan bersiap karena bunda mau di antar ke rumah Shakila, adik aku.  Tepat lima belas menit aku selesai berpakaian dengan rapi, aku turun ke lantai bawah dan begitu sampai di ruang tamu. Bundaku tersayang tersenyum senang begitu melihatku.  "Duh, cantiknya anak Bunda." Aku memutar bola mataku. "Nggak usah lebay deh, Bun, jadi berangkat nggak?" Bundaku berdiri dan berjalan menghampiriku. "Jadi dong, Sayang. Bunda udah nggak sabar mau main sama Aqidah nih."  Ya, Aqidah itu nama anak pertama dari Shakila dan juga Arash. Kalian benar Arash yang itu... Mantan kekasihku, mereka memang menikah tiga tahun yang lalu dan sekarang sudah di karuniai anak perempuan yang lucu dan manis bernama Nur Aqidah Susanto.  Jangan kasihani aku dulu, aku akan ceritakan detailnya mengapa aku ikhlas di langkahi oleh adikku sendiri dan menikah dengan mantanku. Ya, walau pun aku dari awal memang mencoba ikhlas dengan semua ini. Dulu awalnya memang sangat berat namun daripada hubungan persaudaraan yang memang dari dulu tak baik antara aku dan Shakila, dengan itu aku akan mengalah.  Terbukti, kan? Hubungan persaudaraan kami membaik, walau kadang masih ada rasa canggung. Namun aku selalu berusaha agar menjadi keluarga yang hangat seperti kata bunda yang bilang pesan terakhir ayah sebelum meninggal kami semua harus hidup akur, damai, dan saling menjaga satu sama lain.  Lamunanku terhenti ketika bunda menepuk pelan lenganku. "Kamu kenapa jadi melamun sih?" Tersadar, aku tersenyum canggung. "Nggak papa kok, Bun, berangkat sekarang." Bunda menganggukkan kepalanya, aku langsung mengambil tangan kanan bunda lalu menariknya ke luar dari rumah. Rumah ini adalah peninggalan ayahku satu-satunya, dulu rumah ini tampak sederhana namun sekarang ketika membangunnya dengan hasil kerjaku selama bekerja di WO kakak sahabatku. Rumah ini menjadi lebih besar, bunda sempat marah kala itu. Namun aku meyakinkannya dengan pelan-pelan dan akhirnya bundaku tersayang mengalah.  Kami masuk ke dalam mobil Mini Copper merah kesayanganku, aku langsung mengendarai dengan kecepatan sedang menuju ke jalan raya. Hari sabtu begini biasanya jalanan agak sepi jadi frekuensi macet itu sangat sedikit, karena orang-orang memilih keluar kota atau tidur di rumah seharian.  Karena rumah Shakila agak jauh dari rumahku dan bunda, kami sampai sekitar sejaman perjalanan. Perumahan yang di tempati oleh keluarga kecil Shakila itu minimalis, sangat cocok memang yang berkeluarga dengan jumlah orangnya sedikit seperti keluarga berencana, dua anak cukup.  Setelah memarkirkan mobil aku di depan rumahnya, bunda turun dan di susul oleh aku setelah aku mematikan mesin mobil. Kami berjalan beriringan menuju ke rumah Shakila dan Arash, begitu sampai di depan pintu bunda memencet bel yang terdapat di samping atas kanan pintu rumah.  Tak lama terdengar kunci terputar di susul pintu rumah terbuka memunculkan sosok Shakila di baliknya, Shakila tersenyum tipis lalu membuka lebar pintunya.  "Masuk Bunda... Kak Shalu." Nah, hal baru lagi. Selama ini Shakila tak pernah memanggilku dengan sebutan kakak namun setelah ia menikah panggilan itu mulai sering terdengar dari bibirnya. Awalnya sih aku agak risih gimana gitu, Lama-kelamaan jadinya terbiasa juga.  Aku dan bunda masuk ke dalam rumah dan di sambut dengan teriakan senang Aqidah.  "Nenek... Auntie...." Aqidah berlari dari dalam ruang TV menuju ruang tamu tempat aku dan bunda berasa, bundaku langsung menyambut cucunya pertamanya dengan pelukan hangat.  Mereka berpelukan sangat erat dan lama seakan sudah lama mereka tak bertemu, padahal kenyataan terakhir kalinya bertemu kemarin malam. Selepas pelukan mereka, Aqidah beralih memelukku.  "Aqidah kangen banget." Ketika tangan mungilnya masih memelukku dengan erat, aku tersenyum membalas pelukannya tak kalah erat, "Auntie juga kangen, Sayang," balasku.  Setelah melepas pelukan kami, Shakila mengajak kami masuk ke ruang TV. Kami beriringan masuk ke dalam, rumah ini cukup sepi karena Shakila hanya tinggal bersama Arash dan Aqidah. Ketika kamu duduk di depan TV yang menayangkan film kartun frozen.  "Arash mana, La?" tanya bunda, tentu saja bunda yang akan bertanya karena kalau aku yang bertanya tentang keberadaan suaminya pasti Shakila akan menatap aku dengan tajam. Entah karena apa? Namun untuk menghindari perselisihan antar saudara aku memilih diam saja, lagian buat apa juga aku bertanya di mana suaminya. Toh, aku juga sudah ikhlas kok.  "Lagi ke mini market ke depan beli cemilan buat Aqidah, Bun." Bunda mengangguk mengerti sedang aku hanya menatap TV dengan serius walau kadang sudah berapa kali aku menonton film ini setiap datang ke rumah Shakila.  Shakila berlalu untuk membuatkan kami minum, tak lama pintu depan terdengar di buka oleh seseorang kemudian langkah kaki mendekat. Terdengar suara berat khas pria dewasa mengucapkan salam.  "Assalamualaikum." Aku, bunda, Aqidah menjawab secara bersamaan, terlihat Arash berdiri dengan kantung plastik bermerek mini market yang cukup terkenal. Aqidah berlari kearah papanya yang menyambutnya berjongkok merentangkan kedua tangannya membuat putrinya masuk ke dalam pelukan papanya, Arash berdiri membawa Aqidah dalam gendongannya berjalan menghampiri aku dan bunda yang duduk disofa depan TV.  Arash mengambil tangan kanan bunda dan menciumnya, sedangkan dengan aku hanya menganggukkan kepala saja dan tentu saja aku membalasnya dengan hal yang sama. Aku tak mau terlihat akrab dengan Arash setelah apa yang terjadi, hubungan kami sudah berakhir namun bukan berarti tali silaturahmi kami terputus apalagi sekarang Arash sudah menjadi adik iparku.  Shakila ke luar dari arah dapur sambil membawa nampan berisi minuman dingin untukku dan bunda, setelah menyimpan di atas meja Shakila menghampiri suaminya dan mengambil kantung plastik kemudian membawanya ke dalam dapur. Arash duduk di single sofa dengan Aqidah dalam pangkuannya, bunda membuka suaranya.  "Gimana pekerjaan kamu, Ar?" tanya bunda.  "Baik kok, Bunda," jawab Arash tersenyum sambil mengelus rambut panjang putrinya, bunda tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Sedangkan aku hanya diam sambil menatap layar TV walau aku tak terlalu melihat jalan ceritanya dengan baik.  Ya, suasana seperti ini adalah hal yang biasa bagi keluarga kami. Rasa canggung akan selalu ada ketika aku dan bunda datang berkunjung di rumah ini, bahkan setiap pulang dari sini bunda selalu menatap aku dengan tatapan bersalah dan juga kasihan. Sejujurnya aku sangat benci hal itu namun aku memilih diam saja, bunda pernah bilang padaku.  "Kita keluarga, Sha, Bunda mohon bersikap dewasa lah."  Makanya setiap bunda mengajakku kemari semua itu bukan tanpa alasan untuk membangun suasana menjadi cair tanpa rasa canggung namun hasilnya akan sia-sia saja.  Dering telepon berbunyi yang berasal dari ponselku, aku melihat layar dan ternyata Eno yang menelepon.  "Ya, Eno!" sapaku santai.  "Lo di mana, Sha?"  "Di rumah Shakila, ada apa?"  Terdengar hela napas di seberang sana pertanda Eno yang melakukannya.  "Lo bisa ke sini nggak? Gue dan Ummi lagi nongkrong di kedai ice cream Kakak sepupu gue nih."  Aku tersenyum sebelum menjawab, "Okey deh, gue langsung ke sana."  Klik..  Aku memutuskan sambungan telepon begitu Eno berkata okey padaku. Bunda dan Arash menatap aku dengan pandangan bertanya sedang Aqidah malah asyik dengan filmnya, aku langsung berdiri dan berniat pamit pada bunda.  "Bun, aku pergi dulu ya. Eno ajakin aku buat nongkrong bersama nih." Aku tahu bunda seperti tak rela namun aku menatap wajah bunda dengan pandangan memohon, mau tak mau akhirnya bunda menganggukkan kepalanya pasrah.  Aku tersenyum dan mengambil tangannya menciumnya lalu mencium pipi kiri dan kanannya, menatap Arash yang masih menatapku lembut membuatku mengalihkan pandanganku segera. Terdengar langkah kaki dari arah dapur, aku berbalik dan benar Shakila berdiri tak jauh darimu berdiri menatapku dengan pandangan datar.  Aku tersenyum. "Kakak harus pergi nih, maaf Kakak nggak bisa lama-lama." Shakila hanya menganggukkan kepalanya, aku berbalik lagi pada Arash dan mengangguk sekilas lalu berlalu dari hadapan mereka. Berjalan cepat kearah mobilku terparkir.  Jangan harap ada acara antar-mengantar sampai depan pintu seperti keluarga normal, karena kami tetap saja keluarga yang jauh dari kata bahagia satu sama yang lainnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN