Lelaki dengan jas biru tuanya itu baru saja keluar dari mobil miliknya. Dikawal oleh dua orang berbadan besar, lelaki itu memandang tajam siapapun yang lewat. Tak ada satupun yang berani menatap matanya langsung. Semuanya menunduk. Ada yang sampai menutup wajahnya dengan majalah atau berkas di tangan saking takutnya melihat sosok lelaki tersebut. Bagaimana tidak, wajah tegas dengan halis tercetak rapi dan menjorok ke bawah, lalu mata semi sipit yang memiliki netra tajam serta lekukan pipi yang terlihat. Sempurna, sayangnya kejam.
Ditambah postur tubuh yang tingginya mencapai 180 cm, dengan otot di kedua lengan yang tercetak karena bahunya yang sangat lebar. Lalu dadanya yang bidang terlihat semakin menegaskan bahwa ia adalah sosok yang menakutkan. Langkahnya yang lebar membuat perjalanannya terasa sangat singkat. Sosok sempurna incaran para wanita, namun minim perlaku baik.
"Siapa yang menyuruh kamu membuat semua ini?!"
"Ma-maaf, Pak. Tapi.. semua sudah dilakukan sesuai dengan perintah Bapak."
"Kapan saya memberikannya?!" Sentak lelaki itu keras seraya membanting kertas-kertas yang baru saja ia pegang. "Kamu tahu dari mana?!"
"Da-dari ke-ketua divisi perencanaan," jawab gadis yang kini berdiri di depan lelaki tersebut.
"Panggil dia kemari!" Titah lelaki itu keras.
"Ba-baik, Pak."
Angga Wiraga.
Nama yang tertera di sebuah papan nama di atas meja itu memberitahu bahwa lelaki yang baru saja membentak WADEV (Wakil Devisi) bagian perencanaan itu adalah Angga Wiraga. Lelaki berdarah dingin yang kejam dan memiliki watak tak bisa diganggu serta dingin. Mata yang selalu menatap tajam, wajah tegas dengan dagu yang terangkat angkuh, serta bibir tipis kemerahan yang selalu membentak orang. Lelaki yang entah kenapa bisa menjadi ketakutan bagi para staff dan karyawan yang ada. Sosok singa jantan yang selalu siap bertarung.
"Permisi, Pak," ujar seseorang dari luar bersamaan dengan ketukan pintu yang terdengar beberapa kali. Angga hanya menggumam kecil menjawabnya. Matanya menatap tajam pada seseorang yang baru akan masuk ke dalam ruangannya.
Kemeja putih yang cukup ketat dengan rok hitam di atas lutut serta blazer berwarna navy terlihat jelas di mata Angga. Sontak saja hal itu membuat Angga berdecih kesal. Ini ketua divisi yang dipilih oleh semua orang di kantornya?!
"Kamu ketua divisi perencanaan?" Tanya Angga to the point. Perempuan yang baru saja masuk tersebut mengangguk mantap. Kepalanya sedikit menunduk sebelum akhirnya mendongkak dengan mata yang memandang Angga dalam. Angga langsung menelan salivanya kasar begitu matanya juga menyelam netra dengan softlens berwarna abu di depannya. Ternyata begini cara perempuan ini mendapat posisi ketua divisi.
"Saya Arasya Feronica, Ketua Divisi Perencanaan, Pak."
"Tau," jawab Angga singkat. Ia jelas tahu nama perempuan di depannya. Dari name tag yang terpampang dan terpasang menantang di depan d**a perempuan ini.
"Ada yang Bapak ingin tanyakan?" Tanya Arasya dengan pelan.
"Kenapa iklan yang akan dipromosikan hanya satu artis?! Saya sudah bilang udah membuat yang lebih baik, kan?! Kenapa tidak juga diganti?!" Sentak Angga marah. Ia membanting kertas-kertas yang ada di mejanya ke wajah perempuan di depannya saat ini. "Dan jaga sikap kamu saat bertemu atau berhadapan dengan saya! Jangan perlihatkan lagi muka kamu dihadapan saya sebelum kamu mengganti pakaian dengan benar. Keluar!"
"Ta-tapi, Pak. Kami sudah melakukan--"
"Baca kembali dengan benar! Kamu kira saya buta?!" Sentak Angga lagi dan lagi. Amarahnya akhirnya berdampak pada Arasya, gadis yang sedang percaya diri dengan tubuhnya itu saat ini gemetar ketakutan. Di keningnya mulai muncul keringat dingin. Bahkan tangannya yang tengah memungut kertas di bawah ikut gemetar.
"Potong saja baju kamu sampai habis kalau memang tujuan kamu kemari untuk mempertontonkan hal yang tidak pantas!"
Setelah berujar pedas, Angga langsung bangkit dan pergi dari ruangannya. Ia benci perempuan yang dengan mudah menjual bahkan memperlihatkan apa yang seharusnya dilindungi. Aset berharga bukankah harus ditutupi?! Kenapa anak jaman sekarang lebih suka memperlihatkannya? Walau tidak ada aturan ketat mengenai pakaian di kantornya, setidaknya mereka tahu bahwa gedung ini tempat bekerja. Bukan tempat persaingan aset berharga. Angga sampai pusing kalau harus menemukan orang seperti Arasya lagi. Sebab bukan satu atau dua orang yang memiliki watak macam Arasya.
Ingin sekali Angga membunuh pelopor pakaian ketat!
"Selamat pagi, Pak."
"Hmm!" Jawab Angga saat seorang pegawai menyapanya. Lelaki itu ingin beristirahat saat ini. Dan hanya tempat Ayahnya saja yang bisa menjadi tempatnya. Menjadi General Manager di bawah pimpinan sang ayah, terkadang membuat Angga sedikit kesal. Papanya tinggal menerima apa yang sudah Angga koreksi dan perbaiki. Sedangkan Angga harus memeriksa semua hal yang akan diserahkan pada sang ayah.
"Pak Farhan ada?" Tanya Angga pada sekretaris Ayahnya yang duduk di meja depan ruangan Ayahnya.
"Ada Pak Angga. Beliau sedang berada di dalam."
"Terima kasih," ujar Angga dan melangkah masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Lelaki itu menggebrak nakas yang ada di samping pintu. Memberi tahu bahwa dirinya ada di dalam ruangan.
Farhan Rajendra. Pria paruh baya yang tengah duduk di kursi kebangaannya itu menatap jengah Angga. Ia menghela napas sebelum akhirnya menghentikan video baby bus yang tengah ia tonton. Tangan pria itu melambai, pertanda jika ia mengusir Angga dari ruangannya. Namun bukannya menuruti sang papa, Angga malah duduk dan mulai menangis. Lelaki itu juga bergaya layaknya anak kecil yang tidak diberi mainan oleh orang tuanya. Kakinya menggosok lantai dengan keras. Pertanda jika ia sedang kesal.
"Aish! Kamu kenapa sih?!"
"Gak mau jadi GM! Maunya jadi Presdir!!" Adu Angga dengan tangis yang masih menguar.
"Mana bisa! Kamu masih kecil, gak boleh."
"Angga mau jadi Presdir! Gak mau jadi GM!!" Ujarnya lagi masih dengan tangis yang dibuat-buat.
"Tau kamu kaya gini, Papa gak akan nyumbang cebong Papa, Ngga," gumam Farhan dan mulai berjalan menuju anaknya yang kini duduk di lantai. Ia merapikan sedikit jasnya sebelum menghampiri Angga yang selalu membuat keributan di harinya yang tenang.
"Ini masih pagi. Udah buat ribut aja."
"Gak mau jadi GM!!"
"Dih, pengen langsung jadi Presdir tapi gak mau jadi GM, enak banget kamu!" Farhan menoyor kepala anaknya pelan. "Belajar dulu dari bawah kalau mau menginjak sesuatu yang atas. Kenapa sih? Pagi-pagi udah kaya bocah kalah main layangan."
"Masa tadi ketua divisi gini-gini ke Angga!" Adu Angga seraya memajukkan dadanya ke depan. Farhan yang melihatnya langsung tertawa.
"Dadanya punya sindrom soang kali," kelakar Farhan dan kembali tertawa keras.
"Tapi gak suka, Pa! Gak pantes!"
"Biarin aja sih. Yang penting kamu gak kegoda."
"Nah itu masalahnya," ucap Angga seraya memukul sofa di sebelahnya.
"Berarti kamu yang punya otak kotor!" Angga menyengir lebar, yang tentu saja dihadiahi sentilan di dahinya oleh Farhan.
"Insyaf kamu! Sok-sokan jadi orang yang cool. Padahal aslinya kek bocah!"
"Astagfirullah, Papa berdosa banget sama Angga. Ini anakmu, Pa. Anakmu!!" Jerit Angga lebay. Farhan menggelengkan kepala tak percaya dengan tingkah anaknya satu ini. Kepalanya yang tadinya sedang diistirahatkan dengan tontonan baby bus tadi, sekarang malah harud berfikir keras karena adegan drama di tv ikan ada di depannya.
"Mama kamu kayanya beneran pernah ngidam makan ban mobil, deh," gumam Farhan tak percaya. Pria itu mengusapkan dagunya seraya melihat Angga yang masih berada di posisi yang sama. "Kalau dijual di toko online, kira-kira kamu laku berapa ya, Ngga?"
"Tindakanmu itu kejam, Pa!"
"Astagfirullah! Pak Angga kenapa?!" Pekik seseorang dari luar seraya menunjukkan wajah terkejutnya. Sontak saja Angga langsung berdiri tegak dan menunjukkan wajah angkuhnya. Baru akan berbalik, suara tawa Farhan terdengar. Angga langsung membulatkan matanya dan berbaliik badan.
"Sialan! Sini gak lo, Marsha!!"
Begitulah sosok Angga yang sebenarnya. Anak lelaki pertama keluarga Rajendra dan Wiraga itu lahir setelah mendapatkan restu berupa kebobrokan keluarga. Sehingga wujud Angga terkadang dikatakan tidak sempurna sebab tingkah lakunya. Dan itu juga alasan ia menolak banyak perempuan. Karena baginya, banyak perempuan yang hanya menyukai sosoknya di depan. Bukan 'dibelakang'.