Part 2

1435 Kata
Berhubung jam masih menunjukan pukul tiga siang, Revo mengajak Dela untuk makan di Mc’Donald dekat kos Revo. Mereka berdua turun dari mobil dan langsung memasuki tempat itu. “Lo mau pesan apa, Del?” tanya Revo pada Dela yang berdiri di sampingnya. Ya, Revo tidak pernah berbicara baik pada Dela meski perempuan itu sudah memintanya. Kata Revo, untuk mengungapkan rasa sayang itu banyak caranya, bukan hanya dengan panggilan yang manis. “Aku mau chicken burger aja, Vo,” jawab Dela. Revo langsung menyebutkan pesanan mereka dan membayar tagihannya. Tak perlu menunggu lama, pesanan mereka sudah tersaji. Dela berniat membawa nampan yang berisi pesanan mereka, namun Revo mencegahnya dan mengambil ahli nampan itu. Dela tersenyum tipis melihat itu. Tak hanya itu, Revo juga menyediakan pesanan Dela di depannya, dan membukakan tutup botol minuman untuk Dela. Perlakuan Revo ini yang membuat Dela tak ingin melepaskan laki-laki itu meski sudah disakiti berkali-kali. Perlakuan Revo padanya, membuat Dela merasa begitu dicintai. “Dimakan, setelah itu gue antar pulang.” Revo menginstrupsi sebelum mengigit beef burgernya. “Aku mau cari kerjaan deh, Vo.” Kening Revo berkerut. “Kenapa?” “Pengeluaran makin banyak, uangnya dikasih Ibu nggak cukup. Bahkan aku belum bayar uang buku semester kemarin.” “Kenapa belum dibayar?” “Kan aku uda bilang uang yang dikasih Ibu nggak cukup." Sambil mengunyah, Revo menganguk-anggukan kepalanya. “Lagian gue heran lihat nyokap lo, pelit banget, kenapa gitu, sih?" Meski berpacaran hampir dua tahun, Dela tidak pernah menceritakan apa alasannya Ibu dan Ayahnya bersikap seperti itu pada Revo. Dia takut jika laki-laki itu juga berpikir, kalau kematian Calissta memang karenanya. Biar orang tuanya saja yang membencinya karena alasan itu. “Nggak tau.” Dela mengalihkan pandangannya. “Lo anak kandung nggak, sih? Gue takutnya lo anak pungut, deh, Del. Di mana-mana, anak semata wayang itu disayang bagaikan tuan puteri. Lah, lo dijadiin babu kayaknya.” Dela ingin marah, harga dirinya merasa terluka mendengar Revo mengatakan itu, tapi apa boleh buat? Yang dikatakannya memang faktakan? Dan sekarang, Dela berpikir, apa mungkin jika dirinya itu hanya anak pungut “Nggak tau, deh.” Hanya itu yang bisa Dela berikan sebagai jawaban. “Gue punya ide biar lo dapat uang yang banyak.” “Apaan?” wajah Dela berbinar. “Open Bo,” jawab Revo tanpa dosa. Dela membelalakan matanya. Selain merasa dicintai, Dela juga merasa tidak dihargai secara bersamaan oleh Revo. “Gila kamu.” Revo meneguk minumannya. “Gue serius, lo kalau pakai make-up pasti cantik.” “Aku nggak secantik itu, Vo.” “Di mata gue lo cantik, bego.” Dela tersenyum. “Makasih, Revo." “ Tapi, lo nggak akan laku, sih." “Kenapa?” Kening Dela menyatu. Sekarang dia malah semakin merasa memang tak layak untuk hidup. Bahkan di mata Revo saja, Dela tak laku jika dijual. Seburuk itukah dirinya? “Lo aja gue ajak tidur bareng nggak mau, gimana mau dijual, coba?” Ah, benar juga. Meski sudah berpacaran begitu lama versi Revo karena laki-laki tak pernah setia dulunya bahkan sampai sekarang, Dela tak pernah mau menuruti kemauan Revo yang satu itu. Jika untuk berci*man, Dela bisa memenuhinya tapi tidak dengan berhubungan badan. “Benar juga, sih. Tapi, seriusan aku mau cari kerjaan.” “Yaudah cari, ngapain bilang ke gue? Lo lihat gue punya usaha emang.” “Kamu bantu aku cari dong.” Revo mendekat, mengelap sisa saus yang berada di ujung bibir Dela. “Males, ngeribetin gue aja hidup lo! Buruan makan! Gue ada urusan lain.” “Urusan apa?” “Mau nonton sama Angela,” jawab Revo keluar dari ruangan meninggalkan Dela. Angela---perempuan yang Dela kenal sebagai sahabat terbaik Revo. Entahlah, Dela juga tak paham dengan hubungan mereka, karena jika dilihat-lihat, Angela lebih pantas disebut pacar Revo dari pada dirinya. *** Begitu sampai di depan rumah Dela, perempuan itu tidak langsung turun, karena Revo menariknya dan mengecupnya dengan ganas. Bahkan tangan laki-laki itu sudah bermain di atas gundukan Dela, membuat Dela menahan des*han. Dela bisa memaklumi semua permainan Revo, meski harus membuka pakaiannya semua, asal dengan satu syarat, Dela tak ingin berhubungan badan. Dia belum siap, jika terjadi hamil di luar nikah. Karena Dela tahu, jika itu terjadi bisa dipastikan Revo tak mau untuk bertanggung jawab. Menghidupi dirinya saja sudah sulit, gimana lagi jika dia sampai hamil? Dela mendorong tubuh Revo begitu merasa sesak, laki-laki itu terus menciuminya sampai membuat Dela kesulitan bernapas. “Kenapa?” tanya Revo dengan tampang sedikit kesal, matanya sudah mengisyaratkan kalau dia sedang bernafsu dan siap melahap Dela. “Kamu bilang ada urusan penting,” jawab Dela. “Itu bisa ditunda, gue mau lo sekarang.” “Ini di depan rumahku, Vo.” “Ibu dan ayah belum pulang kan? Mobil gue juga nggak bisa kelihatan dari luar, jadi aman.” Revo langsung menyerang Dela dengan kecupannya. Mengabsen gigi Dela dengan lidahnya. Bahkan lidahnya sudah beralih ke leher jenjang Dela, tangannya sibuk membuka kancing kemeja perempuan itu. Setelah terlihat dua gundukan indahnya, bibir Revo turun ke sana, bahkan lidahnya bermain, membuat Dela semakin menahan de*ahannya. Permainan Revo memang selalu membuat Dela tersiksa. Dia menginginkan lebih, tapi akal sehatnya menolak itu. Hampir 30 menit, permainan Revo baru berhenti. Keringat sudah bercucuran dari dahi Dela, membuat perempuan itu terlihat cantik di mata Revo. “Kamu cantik, Dela,” bisik Revo tepat di telinganya. Pipi Dela bersemu, meski Revo selalu mengatakannya cantik setiap selesai bermain, tetap saja Dela selalu merasa senang. Revo kembali mengancingkan kemeja Dela. “Pakai baju yang benar, jangan sampai terlihat orang lain. Karena ini ..,” Revo mengecup ke dua gundukan Dela secara bergantian, “Milik gue.” “Aku selalu serahin diri aku sepenuhnya ke kamu. Tapi, kamu nggak begitu, Vo.” Dela memelas mengingat kebodohannya. “Maaf, Del. Gue memang belum bisa setia, tapi percaya, cinta gue cuma buat lo.” Laki-laki itu mengecup kening Dela sedikit lama, untuk meyakinkan perempuan di depannya itu kalau cintanya memang hanya untuk Dela. “Aku harap kamu segera berubah, Vo. Kalau sudah di kos, kabarin aku, ya.” Dela mengecup singkat pipi Revo dan keluar dari mobil. *** Dela mengehela napasnya begitu memasuki rumah. Terdengar suara televisi yang menyala dari ruang tengah. Perempuan itu melihat jam di pergelangan tangannya. Pukul empat sore, biasanya kedua orang tuanya pulang di jam enam sore, kenapa mereka cepat sekali? “Tumben Ibu sama Ayah pulang cepat?” tanya Dela yang ikut duduk di sisi kanan Ibunya. Perempuan itu tersenyum tipis, duduk bertiga di ruang tengah seperti ini tidak pernah terjadi, karena Dela selalu dilarang jika ingin bergabung dengan ayah dan ibunya. Alicia melirik Dela dengan sinis. “Dari mana aja kamu baru pulang jam segini? Berarti selama ini, kalau ayah dan ibu nggak ada di rumah kamu selalu pulang jam segini?” “Tadi Dela ke toko buku sebentar, Bu.” Tadi, sebelum makan dengan Revo, Dela memang sempat ke toko buku untuk mencari referensi tugasnya.Berada di semester lima, memang tidak seasik di semester satu. Meski tidak membeli buku, setidaknya Dela bisa membaca beberapa bagian yang memang dia butuhkan, selanjutnya ia cari di internet nanti. “Halah, alasan aja kamu. Lihat ini rumah, berantakan! Ibu sama Ayah juga belum makan,” kata Alicia lagi. Padahal rumah berserakan karena sampah kacang mereka. Tak ingin berdebat, Dela berdiri berniat menuju kamarnya untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Lihat kan? Baru saja Dela merasa mereka seperti keluarga, tapi ucapan Ibu-nya seakan menyuruhnya untuk pergi dari sana. “Mau kemana kamu?” tanya Anton. “Ke kamar, Yah.” “Pulang-pulang kok mau langsung ke kamar? Bikinin Ayah kopi!” “Dela letakin tas dulu, ya, Yah, terus ganti baju, baru Dela buatin.” “Nggak usah, buat apa tukar baju? Bikin lama saja!” Dela ingin menangis, tapi rasanya percuma. Kedua orang tuanya tak akan mengerti kesedihannya. Mereka terlalu membenci putri sematawayangnya itu. “Andai Callista masih ada, pasti dia yang mengurus kami berdua. Seharusnya kamu saja yang pergi dari dunia ini, kamu tidak berguna untuk kami berdua,” Langkah kaki Dela berhenti, lagi-lagi Callista. “Itu bukan kesalahan Dela, Yah,” ujar Dela yang sudah lelah dengan semua ini Kehidupan dan kematian semua di tangan Tuhan. Lalu, mengapa kematian Caliista seakan karena Dela? Seakan perempuan itu yang membunuh Callista. “Kalau kamu tidak pergi membeli permen, kamu tidak akan diculik, dan Caliista tidak akan menolongmu! Putriku kehilangan nyawanya karena menyelamatkanmu!” suara Anton meninggi menatap Dela nyalang. “Jadi aku bukan putri Ayah dan Ibu? Hanya Callista? Lalu aku anak siapa? Kenapa kalian membersarkanku? Kenapa tidak membuangku ke jalanan?” Dela sudah tidak bisa menahan air matanya. Dia lelah, lelah fisik, lelah otak dan lelah mental. Tidak ada yang bisa mengerti dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN