Sejak tadi malam, Devan menginap di rumah sakit karena adiknya dirawat akibat penyakit maag yang dideritanya. Tadinya, kedua orangtua Devan akan ikut menginap di rumah sakit untuk menemani anak bungsu mereka tersebut, mengingat adik perempuan Devan itu akan berubah menjadi manja dan suka merengek jika penyakitnya sudah kambuh seperti ini. Namun, Devan menyuruh kedua orangtuanya tersebut untuk beristirahat saja di rumah dan dia yang akan menginap di rumah sakit.
Pagi-pagi sekali, Devan sudah bangun. Laki-laki itu mengucek kedua matanya dan menguap kecil sambil menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar rawat adiknya ini. Diliriknya Davina, adik perempuan sekaligus satu-satunya saudara kandung yang dia miliki itu dengan lirikan lembut. Davina masih tertidur dengan pulas di atas ranjangnya dengan wajah damai. Dia benar-benar tidak tega ketika melihat Davina kesakitan kemarin, saat dibawa ke rumah sakit. Penyakit maag Davina memang sudah parah karena lambungnya sudah luka. Hal yang selalu membuat Devan khawatir setengah mati dengan Davina karena kesibukan gadis itu di kampusnya. Davina kalau sudah sibuk dengan kegiatannya, dia akan selalu lupa waktu dan akhirnya telat makan.
Jarum jam menunjukkan angka tujuh pagi. Devan bangkit berdiri dan merenggangkan otot-otot tubuhnya. Laki-laki itu berjalan menuju kamar mandi dan mencuci muka di westafel. Air dingin yang mengalir pada pori-pori kulit wajahnya membuat Devan merasa segar dan bersemangat lagi. Laki-laki itu kemudian mengganti kemeja kerjanya yang belum sempat dia ganti tadi malam dan menyisir rambutnya dengan menggunakan jari. Setelah dirasa cukup, Devan tersenyum lebar dan keluar dari kamar mandi untuk selanjutnya pergi ke lantai dasar guna mencari sarapan.
Di koridor rumah sakit, Devan memikirkan sesuatu. Sesuatu yang berkaitan dengan masa kuliahnya dulu. Saat itu, ketika dia lulus kuliah, dia menemukan secarik kertas didalam ranselnya. Si pengirim tidak menuliskan identitasnya, namun didalam surat itu, dia mengatakan bahwa Devan adalah laki-laki b******k. Laki-laki yang sangat b******k, karena tidak sadar dengan kehadiran seorang gadis yang menaruh hati padanya sejak lama. Gadis yang rela tersakiti hatinya karena terus-menerus melihat kemesraan Devan dengan pacarnya. Gadis yang masih saja menyayangi dan mencintai Devan meskipun tahu bahwa Devan tidak pernah melihat ke arahnya. Gadis yang tetap bersikap baik kepada Devan, meskipun Devan selalu membuatnya menangis tanpa sadar.
Gadis bernama Zevarsya Venzaya.
Waktu membaca surat itu, Devan terkejut bukan main. Pasalnya, Devan mengenal Zeva karena mengikuti organisasi yang sama di kampus. Devan cukup mengenal Zeva dan mereka selalu mengobrol bersama jika ada kesempatan. Dia bahkan sering SMSan dengan Zeva, BBMan dan telepon-teleponan. Zeva memang gadis yang baik hati dan Devan tahu itu. Tapi, Devan sama sekali tidak menyangka kalau adik tingkatnya itu menyimpan sebuah rasa untuknya.
Pernah suatu hari, saat dia dan Zeva berada didalam lembaga kampus, menunggu anggota organisasi yang lain, dia melihat gadis itu merenung. Zeva terlihat sibuk dengan dunia dan pikirannya sendiri, sampai-sampai tidak sadar kalau dia memanggilnya. Ketika pundak gadis itu ditepuk olehnya, barulah Zeva menoleh. Saat dia bertanya apa yang sedang terjadi pada Zeva, gadis itu menggelengkan kepala dan berkata tidak ada yang terjadi.
“Beneran nggak ada apa-apa?” tanya Devan sangsi. Ditatapnya wajah Zeva sekali lagi untuk memastikan bahwa gadis itu memang baik-baik saja. Tanpa sadar, Devan memajukan wajahnya dan menatap kedua mata Zeva yang kini membulat maksimal. Gadis itu terlihat sedikit gugup, membuat Devan mengulum senyum. Dia harus mengakui kalau Zeva terlihat sangat lucu dan menggemaskan dengan raut wajahnya saat ini.
“Ng—nggak ada apa-apa, Kak. Beneran, deh.” Zeva berusaha menarik tubuhnya agar wajahnya tidak terlalu dekat dengan wajah Devan. Laki-laki itu mengangkat bahu tak acuh dan tersenyum lebar.
“Kalau nggak mau cerita juga nggak pa-pa, sih,” kata Devan seraya terkekeh pelan. “Gue cuma mau bantuin lo aja kalau misalkan elo emang lagi ada masalah, Va.”
Jeda selama beberapa detik. Sampai kemudian, Devan mendengar Zeva menarik napas panjang, membuat Devan kembali memusatkan perhatiannya pada wajah gadis itu. Devan bisa melihat senyum yang terlihat getir juga pahit menghiasi bibir Zeva saat ini. Kedua mata Zeva menerawang, seolah sedang menjelajahi dimensi yang mungkin hanya bisa dilihat oleh gadis itu sendiri.
“Kakak tau, nggak, rasanya mencintai tanpa dicintai?”
Kening Devan mengerut ketika mendengar pertanyaan Zeva tersebut. Laki-laki itu mengusap dagunya pelan, nampak sedang berpikir keras, sebelum kemudian berkata, “Kenapa nanya kayak gitu?”
“Rasanya itu kayak ngejar angin, Kak,” balas Zeva tanpa menjawab pertanyaan Devan barusan. Zeva tidak menatap ke arah Devan, melainkan tetap menatap pada lantai dingin di bawah kakinya. Jantungnya berdegup dengan kencang, darahnya seakan terserap keluar dari tubuhnya, napasnya seakan tercekat di tenggorokan. Dia mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya tanpa diketahui oleh Devan. “Angin... Kakak nggak ngeliat bentuknya, tapi Kakak tau kalau angin itu ada. Menerpa wajah Kakak, memainkan rambut Kakak, memberikan sensasi yang begitu menyegarkan bagi Kakak. Sama kayak mencintai seseorang yang tidak mencintai kita. Kakak tau kalau orang yang Kakak cintai itu ada, tapi, Kakak hanya bisa merasakan cinta itu sendiri... Kakak hanya bisa menatapnya dari jauh, melihat senyumnya dari jauh, meski begitu, walaupun rasanya sangat sakit dan menyiksa, Kakak tetap bahagia.”
“Lo...beneran baik-baik aja, Va?” tanya Devan. Dia heran dengan ucapan Zeva barusan yang dirasanya sangat aneh.
“Baik.” Zeva mengangguk pelan. Gadis itu menarik napasnya lagi dan mengalihkan pandangan. Menyembunyikan tangisnya dari pandangan Devan.
Saat itu, Devan sama sekali tidak menyangka kalau Zeva begitu menderita akan perasaannya. Saat Zeva mengungkapkan kalimat-kalimat yang tidak dipahaminya itu, yang dia rasa sangat aneh, Devan hanya menganggap Zeva sedang berbicara melantur. Dia juga menganggap mungkin Zeva sedang memendam perasaannya pada laki-laki yang gadis itu sukai. Tapi, Devan tidak menyangka bahwa laki-laki yang kemungkinan besar disukai oleh Zeva saat itu adalah dirinya! Sayangnya, ketika surat itu dia dapatkan, surat yang mengatakan bahwa Zeva menyukainya sejak kuliah dulu, dia sudah berada di Amerika untuk melanjutkan S2 disana.
Asyik dengan dunianya sendiri, Devan tidak sadar bahwa dia sudah menabrak seseorang dari arah berlawanan. Tubuh orang yang dia tabrak itu kehilangan keseimbangan dan nyaris terjungkal ke belakang kalau saja dia tidak cepat-cepat mengulurkan tangan untuk menahan tubuh orang tersebut. Dan begitu dia menatap orang yang ditabraknya itu, Devan nyaris tidak mempercayai penglihatannya. Rasa senang dan bahagia itu meluap-luap didalam tubuhnya.
“Zeva?”
Gadis itu memang Zeva, Devan sangat yakin! Tubuh Zeva menegang, dia bisa merasakannya. Wajah gadis itu juga berubah pias. Kedua matanya tidak menatap ke arahnya, hal yang membuat Devan yakin seratus persen kalau gadis itu memang Zeva.
Sampai kemudian, seorang laki-laki datang dan merusak suasana. Laki-laki itu mencekal lengan Zeva yang masih bebas dan berkata bahwa dia adalah pacar gadis itu. Devan kaget bukan main.
“Siapa, lo?” tanya Devan dingin. Laki-laki itu mengerutkan kening dan menatap tajam laki-laki tersebut sementara tangannya masih mencekal lengan Zeva yang satu lagi. Devan bahkan lupa akan kehadiran gadis di depan Zeva saat ini. Dia yakin kalau gadis itu adalah sahabat Zeva, karena samar, dia ingat dengan wajah gadis itu. Hanya saja, Devan lupa namanya siapa.
“Loh? Nggak dengar, tadi?” tanya laki-laki itu dengan wajah terkejut. Dia langsung merenggut Zeva dengan paksa dan merangkul pundak gadis itu dengan sikap posesif. Seolah-olah memberitahu Devan bahwa Zeva adalah miliknya yang tidak bisa diganggu-gugat oleh siapapun di dunia ini. Devan harus mati-matian menahan diri untuk tidak menarik Zeva dan menghajar laki-laki sialan itu.
Devan yakin bahwa dia tidak memiliki perasaan apapun terhadap Zeva, sekalipun dia sudah tahu akan perasaan Zeva padanya melalui surat yang dia terima waktu itu, empat tahun yang lalu. Karena kenyataannya, dia masih bersama dengan pacarnya sampai saat ini. Masih dengan gadis yang sama, sejak masa kuliah dulu.
Tapi, kenapa darahnya seakan mendidih melihat Zeva dirangkul dengan sedemikian rupa oleh laki-laki tengil di depannya itu?
“Gue pacarnya. Dengar, kan?” tanya laki-laki tengil itu, membuat Devan muak setengah mati. “Nama gue Keylo. Keylo Izkar Arvenzo.” Keylo mengangkat sebelah tangannya untuk menyapa Devan, sementara itu dia tidak sadar kalau tindakannya saat ini—mencium aroma rambut Zeva—membuat Zeva memberengut kesal dan menggeram dalam hati. Dia melirik ke arah Jasmine dan sahabatnya itu hanya menatapnya jenaka. “Nama lo?” tanya Keylo lagi.
“Devan. Grezan Devanio Elkansa.” Devan melirik ke arah Zeva dan gadis itu mengalihkan tatapannya.
Kenapa? Kenapa Zeva tidak berniat untuk menatap ke arahnya barang sedetikpun? Kenapa Zeva juga bersikap tidak bersahabat dan berbicara dengan nada ketus kepadanya tadi?
Apa... luka yang sudah di torehkan tanpa sadari di hati gadis itu tidak bisa terobati?
“Nice to meet you, Devan.” Keylo tersenyum lebar dan semakin mempererat rangkulannya pada pundak Zeva. Harus Keylo akui, aroma rambut dan tubuh Zeva benar-benar memabukkan, membuat darahnya berdesir dan jantungnya berdegup tidak karuan. Heran, ini benar-benar tidak masuk akal! Dia bahkan tidak mengenal gadis yang bernama Zeva ini sebelumnya. Dia hanya kebetulan menolong Zeva yang jatuh pingsan di tengah jalan dan membawanya ke rumah sakit. Dia juga sedang dalam perjalanan menuju kamar Zeva tadi, berniat untuk mengantar gadis itu pulang karena dia tahu kalau hari ini Zeva sudah diperbolahkan pulang oleh dokter dan tidak sengaja melihat Zeva sedang berusaha untuk melepaskan diri dari laki-laki yang bernama Devan ini.
Tapi, coba lihat dirinya sekarang. Terkutuklah dirinya karena sudah terhanyut dan terbuai dalam aroma rambut milik Zeva. Wangi yang menguar dari tubuh gadis itupun seakan menyihirnya. Benar-benar b******k! Kenapa dia bisa deg-degan tidak karuan seperti ini terhadap gadis yang baru saja dikenalnya?
“Nice to meet you, too... Keylo.”
Dalam hati, Keylo terbahak keras. Dari nada suara Devan, Keylo bisa menebak kalau laki-laki itu sedang menahan amarahnya. Kemudian, Keylo menyadari bahwa Devan sedang menatap Zeva dengan tatapan nanar, sebelum kemudian dia melanjutkan langkahnya lagi.
Ada masalah apa sebenarnya diantara laki-laki yang bernama Devan dan gadis yang bernama Zeva ini?
“ARRRRGGHHH!!!” Keylo menjerit keras hingga menarik perhatian orang-orang disekitar mereka. Laki-laki itu mengusap tulang keringnya dengan cepat dan mendongak untuk menatap Zeva yang baru saja menendangnya dengan penuh niat. Gadis itu nampak kesal dan berkacak pinggang, membuat Keylo mengerutkan keningnya.
“Lo gila?!” seru Keylo bete. Laki-laki itu menegakkan tubuhnya kembali dan menguliti Zeva dengan tatapan tajamnya. Harusnya, Zeva merasa terintimidasi akan tindakannya ini. Setidaknya, itulah yang ada di pikiran Keylo, karena tinggi Zeva hanyalah setinggi pundaknya saja. Tapi nyatanya, gadis itu justru mendongak dan menantang Keylo balik. Keylo bahkan yakin, gadis itu sanggup mengeluarkan kedua bola matanya jika dia terus-terusan memelototinya seperti itu.
“Elo yang gila!” sembur Zeva langsung. “Apa maksud lo ngaku-ngaku jadi pacar gue, hah?!”
“Heh, cewek sinting! Gue itu lagi ngebantuin lo buat lepas dari laki-laki tadi. Ini ucapan terima kasih lo buat gue?”
“Gue nggak butuh bantuan lo!”
“Ini cewek emang, yah....” Keylo menggeram kesal dan tertawa pendek dengan nada hambar. Ditunjuknya wajah Zeva lurus-lurus. “Elo emang benar-benar....”
Belum selesai Keylo berbicara, Zeva telah lebih dulu menggigit jari telunjuknya. Lagi, Keylo berteriak keras, sementara Jasmine dan semua orang yang menonton kejadian tersebut terbahak keras. Laki-laki itu mengaduh dan meniup-niup jari telunjuknya yang baru saja digigit oleh Zeva itu.
“Zevarsya Venzaya! Bar-bar banget, sih, lo?!” sungut Keylo kesal. Tadi tulang keringnya yang jadi korban, sekarang jari telunjuknya.
“Oh iya, makasih buat pertolongannya tempo hari, Tuan Keylo Izkar Arvenzo yang terhormat,” ucap Zeva sambil mendengus dan menaikkan sudut bibir kanannya ke atas. Ciri khas seorang Zeva kalau dia sedang kesal dengan orang lain.
Tanpa memberikan kesempatan bagi Keylo untuk berbicara, Zeva menarik tangan Jasmine dan mengajak sahabatnya itu untuk segera pergi dari rumah sakit. Di tempatnya, Keylo hanya bisa meringis dan menatap punggung Zeva yang semakin menjauh. Senyum miring tercetak di bibirnya yang merah.
“Ketemu lagi, gue pites, lo!” sungut Keylo sambil terkekeh pelan.
###
“Nah... lagi ngelamunin apaan, lo, Va?”
Tepukan pelan disertai dengan pertanyaan bernada geli itu membuat Zeva tersentak dan mendongak. Sosok Devan muncul dan langsung mengambil tempat di samping adik tingkatnya itu. Sejak mengikuti kegiatan kampus di organisasi yang sama, Devan dan Zeva menjadi dekat. Kadang, Devan selalu curhat mengenai pacarnya—Neyla.
“Nggak ngelamunin apa-apa, Kak.” Zeva tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. Keduanya saat ini sedang duduk di taman belakang, menikmati semilir angin sore yang memainkan rambut keduanya. Tanpa kentara, Zeva menatap sosok Devan di sampingnya. Laki-laki itu sedang memejamkan kedua matanya dan bibirnya menyunggingkan seulas senyum.
“Va?”
“Hmm?”
“Menurut lo, gue sama Neyla bisa terus bersama, nggak?”
Tuhan... rasanya sangat sakit mendengar hal tersebut keluar dari bibir orang yang dicintai olehnya. Zeva memalingkan wajah dan menatap ke bawah, ke arah rerumputan.
“Ke....” Zeva membasahi bibirnya yang terasa kering dan menarik napas sejenak untuk mengisi paru-parunya yang mulai kehilangan banyak oksigen. Mati-matian dia menahan airmata yang mengancam untuk jatuh membasahi wajahnya. “Kenapa Kak Devan nanya kayak gitu?”
Devan membuka kedua matanya perlahan dan menghembuskan napas keras. Dia menoleh dan memiringkan kepalanya kala menatap wajah Zeva. “Neyla lagi ngambek sama gue. Dia ngambek karena gue nggak bisa nganterin dia buat beli buku karena kita harus rapat. Heran, deh. Apa semua cewek kayak gitu, ya? Tukang ngambek?”
“Kak Neyla paling ngambeknya cuma sebentar, Kak.”
“Tapi, gue paling nggak tahan kalau dia udah ngambek sama gue, Va.” Devan menghela napas. Mendung mulai menghiasi wajahnya, membuat Zeva tidak tega dan kasihan. “Gimana, ya, biar dia nggak ngambek lagi sama gue?”
“Bawa gitar dan nyanyiin dia lagu?”
“Hah?”
Zeva tersenyum lelah. “Nyanyi sambil main gitar di depan Kak Neyla, Kak... bawain lagu kesukaan Kak Neyla. Jangan lupa setangkai bunga mawar pink juga cokelat. Gue nggak sengaja dengar dari para fans-nya Kak Neyla kalau Kak Neyla suka banget sama cokelat. Gue yakin, Kak Neyla pasti bakalan seneng banget dan nggak ngambek lagi sama Kak Devan.”
“Ide bague banget, Va! Kenapa gue nggak kepikiran, ya?”
Melihat Devan tertawa, senyum Zeva semakin terlihat. Dia sangat suka apabila melihat Devan tertawa. Dia suka melihat lesung pipit yang muncul saat Devan tertawa.
“Makasih, ya, Va, buat sarannya.” Devan mengacak rambut Zeva dengan gemas dan mengedipkan sebelah matanya. “Do’ain semoga gue sama Neyla langgeng terus sampai maut memisahkan, ya!”
“Oke.” Zeva menjawab lirih. Dia memegang dadanya dengan tidak kentara. Sakit.
“Sudah sampai, Mbak.”
Suara berat tersebut memotong kilasan masa lalu yang baru saja muncul di otaknya. Lagi-lagi, dia memikirkan masa lalunya bersama Devan. Selalu seperti itu. Dia selalu saja membodohi dirinya sendiri dengan cara mengingat semua hal mengenai Devan. Mau bagaimana lagi? Dia tidak mungkin bisa membohongi perasaannya sendiri kalau dia memang masih memiliki perasaan terhadap laki-laki itu. Belum lagi pertemuannya dengan Devan kemarin. Kejadian itu membangkitkan semua rasa rindu yang memenjarakannya selama ini.
Zeva mengerjapkan kedua matanya dan menatap gedung megah di depannya itu. Gedung itu adalah tempat kerjanya yang baru. Zeva menarik napas panjang dan menyerahkan uang lima puluh ribu ke arah supir taksi yang sudah mengantarnya.
“Makasih, ya, Pak.”
Dengan langkah ragu, Zeva mulai memasuki gedung tersebut. Gadis yang baru saja melewati ulang tahunnya yang kedua puluh empat itu tersenyum ke arah orang-orang yang berpapasan dengannya. Sampai kemudian, seorang wanita muda yang terlihat anggun dan cantik menghampirinya dan tersenyum lembut.
“Zevarsya Venzaya?”
“Saya sendiri. Maaf, dengan Ibu Intan Khalista?” tanya Zeva seraya menjabat uluran tangan wanita tersebut. Wanita yang baru saja mengkonfirmasi bahwa dirinya memang benar bernama Intan tersebut langsung menyuruh Zeva mengikutinya ke sebuah ruangan yang dipenuhi dengan beberapa kubikel dan orang-orang yang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.
“Perhatian semuanya.” Intan bertepuk tangan beberapa kali untuk menarik perhatian para pegawai di staff keuangan tersebut. “Hari ini, Nona Zevarsya Venzaya akan mulai bekerja sebagai pegawai baru di bagian keuangan. Saya harap, kalian semua bisa membantu Zevarysa di hari pertamanya.”
Sepeninggal Intan, Zeva membungkukkan tubuhnya sedikit dan tersenyum ke arah rekan-rekan kerja barunya itu.
“Selamat pagi semuanya... nama saya Zevarsya Ven—“
Suara Zeva terhenti di udara ketika kedua matanya menangkap sosok seseorang di kejauhan. Sosok itu menatapnya dengan alis terangkat satu dan kedua tangan yang dilipat di depan d**a. Laki-laki itu tersenyum miring dan melambaikan sebelah tangannya sekilas, yang langsung bisa membuat Zeva panas-dingin di tempatnya. Gadis itu menelan ludah susah payah dan menggigit bibir bawahnya senewen.
“Ma—maaf, saya ke toilet sebentar.”
Dan gadis itupun langsung melarikan diri.
###
Di meja kerjanya, Devan memainkan bolpoinnya. Pertemuannya dengan Zeva untuk yang pertama kali sejak empat tahun mereka tidak bertemu membuatnya tidak karuan. Laki-laki itu masih memikirkan ucapan seseorang yang bernama Keylo kemarin. Laki-laki yang mengaku sebagai pacar Zeva.
Ada yang salah pada dirinya saat ini, Devan sangat yakin akan hal itu. Dia merasa tidak rela dan tidak senang ketika tahu bahwa Keylo dan Zeva berpacaran. Padahal, dia masih menjadi pacar Neyla sejak dulu. Apakah pantas, disaat ada Neyla didalam hatinya, dia merasa tidak rela jika Zeva sudah memiliki pacar? Bahkan, surat yang berisi penjelasan mengenai perasaan Zeva padanya itupun tidak menggoyahkan rasa sayangnya pada Neyla waktu itu. Tapi, kenapa sekarang semuanya berantakan?
“Apa Zeva benar-benar berpacaran sama Keylo?” tanya Devan pada dirinya sendiri. Rasanya, ada yang tidak beres dengan kelakuan Keylo kemarin. Juga pada tingkah laku Zeva. Gadis itu seakan risih dengan tindakan Keylo padanya. Apa... ada yang disembunyikan oleh mereka?
Ponsel Devan berdering. Pada layarnya yang berkelap-kelip, nama Neyla muncul disana. Laki-laki itu menghembuskan napas panjang dan menekan tombol berwarna hijau, sebelum kemudian mendekatkan ponselnya ke telinga.
“Halo, Sayang....”
###
Setelah puas meratapi nasib sialnya dan merutuki dirinya yang harus dipertemukan lagi dengan Keylo didalam kamar mandi, Zeva keluar dari ruangan tersebut dengan wajah masam. Dia benar-benar tidak habis pikir bahwa dia akhirnya harus berada didalam gedung yang sama dengan laki-laki tengil yang sudah mengaku sebagai pacarnya di depan Devan kemarin.
“Sial! Kenapa si tengil—“
“Siapa yang tengil?”
Suara serak yang menginterupsinya membuat Zeva terkejut dan kehilangan keseimbangan. Gadis itu menjerit pelan dan tidak bisa menahan keseimbangan tubuhnya sendiri. Dia memejamkan kedua matanya, bersiap disambut oleh kerasnya lantai.
Tapi... yang terjadi justru diluar perkiraan Zeva.
“Tenang aja, Tuan Puteri Zevarsya Venzaya... Pangeran yang tampan ini tidak akan pernah membiarkan Tuan Puteri terluka sedikitpun.”
Kaget dengan sebuah suara yang terdengar jelas di telinganya, Zeva langsung membuka kedua matanya dan terbelalak.
Keylo sedang menahan tubuhnya dengan cara melingkarkan tangan laki-laki itu di pinggangnya dan wajah Keylo saat ini sangat dekat dengan wajahnya!
“Tuan Puteri terlalu kaget sepertinya....” Keylo tersenyum lebar dan mengedipkan sebelah matanya. Jari-jarinya menyusuri wajah mulus Zeva, sementara gadis itu masih berubah menjadi patung. Hanya diam, membelalakkan kedua matanya.
Dan jantungnya tiba-tiba bermain drum dengan penuh semangat!
###