5. Aku juga pengen punya ponakan, kak!

1502 Kata
Pikiran buruk dan segala firasat yang tidak enak sudah mampu Tian rasakan, seakan dia sendiri tidak nyaman untuk membiarkan istrinya datang ke rumah sendirian. Firasat itu semakin kuat seiring dengan berlalunya waktu, seakan apa yang Tian rasakan benar akan terjadi. Meski, Lenny sebelumnya beberapa kali tersenyum sambil berkata, “Semua akan baik-baik saja, bang. Tenanglah!” tapi, mana mungkin Tian bisa tenang begitu saja. “Aku tahu sikap ibu dan aku juga tahu kebiasaan istriku!” Tian pada akhirnya hanya bisa menghela napasnya dengan resah di kantornya. Menanti setiap waktu yang terlewati sambil terus menatap layar ponselnya. Ia takut, melewati pesan yang mungkin di kirim oleh istrinya. “Aku hanya bisa berdoa semoga itu tidak terlalu menekan istriku!” Begitulah kebiasaan yang entah sejak kapan di mulainya, setiap kali Tian harus membiarkan istrinya tersebut pergi mengunjungi rumah ibunya. Sebuah hal yang seharusnya tidak perlu di resahkan kini justru malah membuat Tian jauh lebih merasa waspada. Walau Tian sendiri tidak mengerti kenapa ibunya bisa setega itu menekan Lenny untuk memiliki anak, sedangkan ibu yang Tian tahu selama ini adalah ibu yang baik dan selalu pengertian yang rasanya tidak mungkin akan menyakiti perasaan menantunya. Apa lagi, sampai membuatnya tertekan yang malah akan membuat Lenny akan semakin sulit untuk hamil. Sementara itu, di sisi lain Lenny yang baru saja tiba di pintu gerbang rumah Tian, menghela napasnya dengan dalam. Rasa gugup mengerayangi tubuhnya, tangannya terasa dingin dan berkeringat, serta perut yang terasa sedikit mulas serta rasa mual yang tiba-tiba saja muncul, setiap kali ia mengingat akan bertemu dengan sang ibu mertua. “Aduh, aku kenapa sih, bisa seperti ini?” Setiap langkah terasa berat bagi Lenny untuk datang mengunjungi ibu mertuanya itu. Sebuah perasaan yang sebenarnya juga terasa mengganjal oleh Lenny. Seakan menjadi perasaan yang tidak seharusnya ada. Tapi, rasa tidak nyaman itu benar-benar terasa nyata oleh Lenny. Sambil terus menenangkan hatinya, Lenny menghela napasnya yang terasa sangat berat tersebut. Akan tetapi, tiba-tiba saja sebuah suara yang tidak asing terdengar, seiring dengan bunyi pintu yang terbuka pada saat itu. “Lenny, sudah sampai? Kenapa tidak langsung masuk?” Belum lagi Lenny masuk ke rumah itu, sebuah pertanyaan dengan nada tinggi sudah menyambutnya. Lenny hanya tersenyum tipis sambil meletakkan sendalnya dengan rapih di pojokan. “Lenny baru saja tiba, Bu.” “Oh, iya, ini Lenny bawakan bolu gulung kesukaan ibu. Tadi, Lenny ada kebetulan lewat ke arah toko kuenya.” Menyodorkan, bolu yang ia pegang Lenny tersenyum dengan cukup lebar. Untung saja, sang ibu terlihat girang saat melihat bolu gulung yang dibawa oleh Lenny. Begitu masuk ke dalam rumah tersebut, jantung Lenny kembali berdegup cukup kencang. Ia merasakan gugup bahkan sebelum sang ibu mengatakan apa pun. “Semoga saja hari ini tidak ada yang membuat aku harus merasa tidak enak dengan ibu.” Doa yang sama itu terus berulang dan Lenny sekarang berusaha untuk bisa tetap tenang. “Lenny, itu jamunya di dalam kulkas, kamu ambil saja. Ibu dapat itu dari teman Ibu.” “Hari ini juga Ibu akan bertemu dengannya, nanti Ibu bagi bolu gulung ini dengannya juga ya.” Tidak butuh banyak kata, sudah pasti Lenny menyetujui apa yang ibunya inginkan. Tapi, meski percakapan itu dimulai dengan perkataan yang ringan. Lenny tetap saja masih tidak tenang. Setiap waktu yang harus ia lalui di rumah mertuanya itu seakan begitu lambat, deru napasnya juga terkadang terasa sesak dengan pikirannya yang kerap tidak karuan. Ia sering serba salah dan merasa canggung untuk melakukan apa pun. “Ini jamunya diminum bagaimana Bu?” Lemah lembut Lenny bertanya pada sang ibu, membuat sang ibu ikut senang dengan reaksi Lenny tersebut. Seakan menandakan bahwa Lenny juga peduli dengan jamu tersebut, membuktikan bahwa Lenny saat ini juga menginginkan buah hati. Padahal semua itu tidak perlu diragukan, karena dibanding semuanya yang paling menginginkan buah hati tetaplah adalah Lenny sendiri. “Jamunya diminum setiap malam, kamu bawa saja terus, tapi kali ini jamunya di minum berdua dengan Tian ya.” “Kamu harus ingatan dia juga.” Suara ibu yang ramah itu terdengar, membuat Lenny yang sebelumnya sudah tegang itu kini kembali santai, tampaknya sang ibu saat ini tidak berniat kembali menyindir Lenny atas dirinya yang belum hamil. Patut di akui, ibu juga tidak sering menyindir seperti itu. Tapi, sekalinya sang ibu menyindir. Rasanya dunia Lenny bisa runtuh seketika, seakan dia tidak lagi memiliki harga diri apapun. “Nanti kamu pulang di antar sama pak Joko saja ya, kamu semalam habis itu kan. Jangan sampai kelelahan juga. Mending kamu langsung pulang dan istirahat saja.” Sama seperti sebelumnya, Lenny mana pernah bisa membantah apapun yang ibu mertuanya katakan. Bahkan bila saat ini sang ibu memberikannya banyak perhatian. Semua itu jelas semata-mata karena ibu mendambakan buah hati dan ibu tahu jika semalam mereka baru saja berhubungan suami istri. Terkadang, ibu memang seperti itu. Ia sering mencurahkan kasih sayangnya yang penuh perhatian jika tahu semalam Lenny berhubungan dengan Tian. Ia selalu bersikap baik dan manis pada Lenny, mungkin agar Lenny bisa lebih cepat hamil. Walau itu juga belum tentu, tapi setidaknya. Bila sang ibu tahu, terkadang ibu mau bersikap baik padanya. Walau itu tidak benar-benar membuat Lenny bisa bernapas lega. “Kak Lenny.. lihat deh. Lucu banget kan!” Adik Tian, Mila tiba-tiba saja berlari dari arah kamarnya dan menghampiri Lenny. Salah satu sosok yang sebenarnya membuat Lenny masih tetap tidak merasa nyaman berada di rumah tersebut. Suara riang Mila sudah pasti membuat jantung Lenny seketika berdebar. Ia yakin bila kali ini, Mila kembali mencoba untuk menganggu Lenny lagi. “Lihat, lucu kan.” “Dia keponakannya temanku. Manis banget, cantik sekali.” “Lihat pipinya deh, kak!” Tak terhitung jumlahnya Lenny tersenyum ketir seperti itu, tapi ia tentu saja tidak mungkin mengatakan bahwa ia merasa risih dengan apa yang adik iparnya lakukan. “Iya, lucu banget ya.” “Aku juga pengen punya ponakan, kak!” Mila langsung menyambar dengan ucapannya yang sekali lagi seakan menusuk jantung Lenny. Saat itu tidak ada Tian di sana yang akan membela dirinya, tidak pula ibu mertua yang akan menghentikan tingkah anaknya yang saat itu bersama dengan menantunya. Malah mungkin bagi mereka itu hanyalah sebuah percakapan biasa yang tidak perlu di permasalahkan. Tetapi, jelas semua berbeda bagi Lenny. Apapun yang berhubungan dengan yang namanya anak kecil, selalu menjadi hal yang sensitif baginya. Namun, semua itu tidak ada yang tahu. Selain dirinya dan juga Tian sebagai suaminya yang sama-sama mendambakan buah hati mereka. “Iya, kakak juga pengen. Mohon doanya ya. Ini juga sudah berusaha. Mudah-mudahkan dengan jamu yang ibu bawa ini, bisa segera ada kabar baik.” “Mila bantu doakan kakak ya!” Beruntungnya, Lenny sudah terbiasa dengan segala situasi yang mendebarkan tersebut. Lenny sudah mulai bisa mengatur ucapannya. Ia juga jauh lebih tenang menghadapi segala hal yang berurusan tentang sindiran tersebut. Sehingga, Lenny berharap jika ia bisa lolos dengan aman saat itu. “Iya, kamu juga bantu doa atau minimal cari cara biar kak Lenny bisa hamil. Jangan cuma ngeluh pengen, mulu.” Sepertinya ibu saat ini suasana hatinya sedang baik, ia seakan membela Lenny, atau mungkin ibu senang saat Lenny menerima jamu yang sudah sang ibu usahakan. “Tidak apa, Bu. Mila kan masih muda, biar Lenny juga yang usaha dan cari informasi. Lenny malah bersyukur punya ibu yang mau repot-repot berusaha untuk mencari jamu yang bagus untuk Lenny!” Senyuman sang ibu semakin merekah mendengar hal tersebut dan itu membuat perasaan Lenny cukup lega. Bahkan, selama di rumah ibu mertuanya hari ini. Semua berjalan dengan sangat lancar dan Lenny benar-benar tidak terlibat dengan masalah apapun. Bisa dibilang, seharunya memang tidak ada masalah. Walau sejatinya, Lenny sendiri tidak paham kenapa semua itu bisa menjadi masalah untuknya. “Yah, tapi aku jadi bisa mengabari bang Tian kalau semua lancar-lancar saja!” Seperti itu lah akhir dari kunjungan yang menegangkan tersebut. Berakhir dengan Lenny yang mampu mengatasi semuanya tanpa menyakiti perasaan siapa pun. Sementara itu, Tian yang tidak percaya dengan isi pesan yang istrinya sampaikan. Pulang dengan terburu-buru ke rumah, ia tidak sabar untuk mendengar cerita apa yang akan istrinya sampaikan di rumah mereka. Tian penasaran tentang apa saja yang Lenny lakukan selama di rumah ibunya. “Sayang, jangan bohong. Kamu benar, baik-baik saja?” Pertanyaan itu lantang terdengar dari Tian begitu ia masuk ke rumah. Bahkan tanpa mengucapkan salam apapun saat ia memasuki rumah mereka tersebut. “Abang, jangan teriak-teriak, malu sama tetangga.” “Iya, tapi, jawab dulu. Benar kamu baik-baik saja?” Jujur saja, sebenarnya Lenny sedikit kesal dengan pertanyaan tersebut. Seakan suaminya tidak percaya dengan apa yang ia katakan. Namun, Lenny memendamnya dan ia pun mencoba menjelaskan apa yang terjadi di rumah tersebut. Akan tetapi, semua itu ternyata tidak semudah yang Lenny bayangkan. Tanggapan Tian jauh lebih menyesakkan hatinya. “Kamu jangan ngomong gitu tentang Mila dong.” “Mana mungkin Mila sengaja menunjukkan foto ponakan seperti itu hanya untuk menyindir kamu!” Lenny kembali menghela napas dengan perasaan campur aduk yang sulit untuk ia jabarkan. Serasa semua kembali adalah kesalahan dirinya, apapun yang ia katakan tidak akan menjadi sebuah kebenaran dan hanya pemicu lain yang seakan menunjukkan kesalahan darinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN