[Pov Arya]
***
Arya Bima Anggarajaya. Papi bilang, Arya artinya bangsawan, dan Bima adalah luar biasa. Bisa dipastikan, ketika aku terlahir, orang tuaku berharap putranya tumbuh sebagai lelaki hebat dan tangguh. Namun, yang terjadi sebaliknya. Aku tumbuh menjadi anak manja dan cengeng, juga gendut.
Setelah kejadian di toilet itu, aku pulang ke rumah. Sepanjang jalan aku berusaha untuk tidak menangis.
"Arya akan tumbuh menjadi lelaki berani dan hebat," gumamku. Mengepalkan kedua tangan, meyakinkan diri dan hati.
"Den Arya, sudah pulang?" Mbok Darmi menyambutku di ruang tengah. "Mau Mbok siapkan cemilan?"
Aku berhenti melangkah. "Mulai sekarang, jangan beri lagi Arya cemilan!" teriakku.
Beberapa asisten rumah tangga berlarian dari berbagai arah, ada dari dapur, dari halaman belakang, dari lantai atas. Pak Imran pun berlari masuk ke dalam rumah.
"Ada apa, Mbok?" Kudengar suara Pak Imran dari arah belakang.
Semua terdiam. Hanya menatapku dengan sorot tanda tanya.
"Kenapa? Den Arya sakit?" Mbok Darmi mendekatiku. Suaranya masih tetap lembut dan penuh kasih sayang seperti biasa.
"Enggak! Jangan perlakukan Arya kayak anak kecil lagi! Arya udah gede!" teriakku lagi selantang mungkin. Lalu berjalan ke arah anak tangga dengan menghentakkan kaki.
"Den Arya kenapa, Pak Imran?"
"Sepanjang jalan tadi memang terasa aneh. Tidak biasanya Tuan Muda diam terus," sahut Pak Imran.
Aku tidak memedulikan obrolan mereka. Terus melangkah ke arah kamar. Hingga akhirnya suara mereka tak lagi terdengar. Dan bisa dipastikan, kabar ini dengan cepat sampai di telinga Mami. Berselang satu jam kemudian, Mami pulang. Bahkan jauh lebih awal dari biasanya.
Terdengar pintu kamar diketuk berkali-kali. Aku tetap menyembunyikan tubuh di bawah selimut.
"Arya. Arya, Sayang. Kamu kenapa, Nak?" tanya Mami.
"Arya, buka pintunya!"
"Arya, jangan buat Mami cemas, Sayang!"
Aku tetap diam. Hingga suara ketukan pintu berganti menjadi dering ponsel. Kuraih benda itu, nama 'Papi' tertulis di layar.
Kenapa Mami selalu mengadukanku?
Deringnya berhenti, tapi hanya beberapa detik. Ponselku kembali berbunyi. Dengan perasaan setengah terpaksa kutekan tombol jawab.
"Halo, Arya."
"Ha ... lo, Pi."
"Ada masalah?"
Ingin aku menjawab, mengatakan rasa sakit hatiku atas perbuatan Arif. Namun, yang ada hanya isak tangis keluar dari bibir.
"Buka pintu kamarnya. Mami mau bicara. Jangan buat Mami sama Papi sedih. Ya?"
"Iya, Pi. Arya buka pintunya."
"Papi kerja lagi, ya. Bye."
"Bye." Kusimpan ponsel, mengusap kedua belah pipi. Ternyata aku masih cengeng. Segera aku turun dari ranjang, berjalan ke arah pintu. Membuka kuncinya.
"Arya." Mami memelukku dengan gerak cepat. "Kamu kenapa, Sayang?"
"Maafin Arya, Mi."
Mami melepas pelukannya. "Semua orang rumah bersedih, lihat Arya marah-marah."
Aku merunduk. Menyesali keteledoranku yang sudah marah-marah tak jelas.
"Ayo, minta maaf dulu. Habis itu, kamu cerita sama Mami. Mau?"
Aku menganggukkan kepala.
.
"Mau ... diet?"
"Iya. Arya enggak mau gendut lagi," ujarku.
Mami mengembuskan napas. Tampak sedang berpikir. "Baiklah, nanti Mami tanya-tanya dulu sama Om Rizki. Bagaimana caranya diet yang sehat untuk anak seumur kamu."
Aku tersenyum antusias.
Esoknya, perubahan mulai terjadi. Tidak ada lagi sarapan nasi goreng dan s**u. Mbok Darmi memberiku potongan buah dan sayur, juga jus. Dia juga tidak pernah menawariku cemilan. Semua orang rumah bekerja sama, bergantian menemaniku olahraga.
Selama beberapa bulan, aku konsisten dengan keinginanku. Perlahan teman-temanku pun mulai menatap heran.
"Arya, kurusan, ya?"
"Kok, agak beda, sih?"
"Wah, Arya udah enggak gendut lagi, ya?"
Aku tersenyum sambil mengangguk. Orang-orang yang dulu selalu menatapku dengan sorot mengejek, kini berubah.
Lalu, hari itu pun tiba. Di saat secara tak sengaja aku bertemu dengan Arif di perpustakaan. Karena semenjak masuk ke kelas sembilan, kami memang tidak sekelas lagi. Sebenarnya aku pernah jika hanya sekedar berpapasan dengannya, tapi aku abaikan dia. Dan sepertinya dia menyadari perubahan sikapku.
"Bener kata orang-orang. Arya si gendut, udah musnah ternyata," ejeknya.
Aku simpan kembali buku yang sudah aku pegang di antara himpitan buku lain. "Kenapa memang? Tidak ada lagi orang yang bisa kamu manfaatkan," tukasku.
"Jangan begitu. Bagaimana pun juga kita pernah jadi teman dekat, Arya." Arif menyentuh pundakku.
"Teman apa yang hanya mengambil kesempatan dalam kesempitan." Kutepis tangannya.
"Aku melakukannya justru karena kasihan melihat kamu sendirian terus," sindirnya.
"Orang yang patut dikasihani, itu kamu. Kenapa harus sampai berpura-pura sakit jika hanya ingin buah-buahan, roti dan s**u?"
Arif mendelik tajam.
"Kamu tinggal bilang sama aku, aku bisa belikan." Kudekatkan wajahku. "Uangku banyak," bisikku.
Arif menggeram. "Dasar, anak sombong!"
"Sekarang aku udah enggak cengeng. Aku bukan anak manja lagi. Aku juga udah enggak gendut. Arya yang sekarang, bukan Arya yang dulu. Arya yang dulu, udah musnah," ujarku santai. "Aku akan menjadi ... Arya yang sombong. Supaya tidak ada lagi yang mendekatiku, berpura-pura menjadi temanku. Padahal, cuma jadi parasit. Contohnya ... kamu." Kutunjuk dadanya dengan telunjuk.
"Belagu!" Arif mendorong dadaku.
Punggungku terbentur lemari kayu, beberapa buku pun berjatuhan. "Orang yang marah ketika mendapat tuduhan, biasanya dia merasa terpojok."
Karuan Arif semakin marah. Dia menarik kerah kemejaku dengan tangan kiri, dan tangan kanannya sudah melayang ke udara. Hampir saja mengenai pipiku, namun terhenti ketika ada siswi yang berteriak. Imbasnya beberapa anak berlarian menghampiri kami. Aku dan Arif jadi tontonan.
"Tunggu apa lagi?" bisikku.
Arif mengentakkan tangan kirinya dari bajuku. "Lihat pembalasanku nanti," desisnya.
"Ada apa ini?!" bentak penjaga perpustakaan. Lelaki berseragam kuning itu menekuk kedua tangannya di pinggang.
Semua diam. Aku dan Arif juga sama. Akhirnya, kami diminta mengikutinya ke ruang BK.
.
Sejak saat itu, aku dan Arif benar-benar menjadi musuh. Kami diam bila bertemu, tak menoleh apalagi menyapa. Namun, aku yakin dia menyimpan dendam yang mendalam. Itu semakin terlihat nyata, ketika di ulang tahunku yang ke lima belas, aku mengundang semua siswa SMP 98. Hanya satu orang yang tidak datang, Arif. Padahal aku sengaja menitipkan undangan pada teman sekelasnya, agar dia tahu siapa aku sebenarnya.
***
Pagi. Aku mematikan alarm dari ponsel. Tak lama, pintu kamar terbuka. Pak Dirga masuk seperti biasa.
Aku tersenyum melihatnya. Tampaknya hari ini akan berjalan seperti biasa. Aku bangun tepat waktu, tanpa ada perasaan gelisah. Ah, mungkin itu karena pertemuanku dengan Dinda kemarin siang.
Kini, aku tahu rasa apa yang terpendam di hatiku, setiap kali bertemu dengannya. Ketidakpuasan, karena terlalu sebentar bersamanya. Dan kemarin, rasa itu sudah berhasil aku enyahkan. Ketika melihat kepanikannya mencari anaknya yang hilang.
Awalnya aku tidak tahu, jika gadis kecil itu adalah putri seorang Dinda Almaira. Ketika aku keluar dari sebuah toko jam tangan, Alifia menabrak tubuhku. Ya, namanya Alifia. Anak perempuan berambut hitam dengan mata bulat, mirip dengan Dinda.
"Maaf ... Om," ucapnya pelan.
"Kenapa lari-lari? Mana orang tua kamu?" tanyaku intens.
"Bunda ... tadi pergi tinggalin Fia. Tapi ... Fia takut ...." Lalu dia berjongkok, menahan wajahnya di kedua telapak tangan.
Kendati kesal karena ulahnya, tapi aku juga terenyuh. Aku ikut berjongkok di depannya. "Nanti Om hubungi pihak keamanan. Kita tunggu Bunda kamu di bawah. Ya?"
Anak itu mengangkat wajahnya, lalu menganggukkan kepala.
"Siapa nama kamu?" tanyaku di saat berjalan menuju coffe shop.
"Alifia Khumaira."
"Nama ibumu?"
"Dinda Almaira."
Deg. Aku berhenti melangkah. Menoleh ke arah samping, yang jauh lebih rendah dari kepalaku. Anak itu ternyata ikut berhenti. "Dinda ... Almaira?" gumamku secara tak sadar.
"Iya. Om ... tau Bunda?"
Aku menggelengkan kepala. "Ayo, jalan lagi. Nanti Om belikan es krim," tandasku.
Alifia mengangguk, melangkah kembali bersamaku. Aku tak memegang tangannya. Tangan kiriku memegang paper bag berisi jam tangan untuk hadiah salah satu rekan kerjaku. Sementara tangan kanan lebih memilih menelusup di balik saku celana. Namun, entah kenapa keringat dingin mengucur dari pelipis.
Apa mungkin aku gugup, karena berjalan bersama dengan anak dari ... Dinda?
Ah, Dinda. Ternyata kamu sudah jauh melangkah dariku. Kamu ... berada jauh di depanku.
Kini, aku tahu rasa apa itu. Ketidakpuasanku, berubah menjadi penyesalan. Aku menyesal, karena selalu menganggapmu menungguku selama bertahun-tahun. Kupikir, kamu merasakan hal yang sama denganku. Menunggu waktu itu tiba, di mana kita bertemu lalu mengungkapkan kerinduan yang terpendam. Nyatanya, kamu tak sanggup menungguku.
Aku kecewa.
.
Aku mengempaskan tubuh di atas kursi, di balkon kamar. Udara pagi yang segar, selalu berhasil membuat hariku berjalan dengan tenang. Kuraih cangkir putih berisi cappuccino, menyesap aromanya, lalu meneguknya perlahan.
Inilah rutinitasku selama beberapa tahun ini. Tepatnya, lima tahun lalu semenjak kepulanganku dari Amerika. Bosan? Tentu saja tidak. Aku lebih senang menyebut ini sebagai keteraturan dalam hidup.
Aku harus membuat hidupku teratur. Setidaknya itu, yang diajarkan oleh Papi, agar aku menjadi orang hebat.
Kubuka laptop berwarna hitam di depanku, membuka salah satu pesan email. Satu pesan baru masuk. Ternyata dari Jeremy, Direktur Operasional sekaligus pemilik saham di perusahaanku. Isinya tentang jadwal pembangunan apartemen terbaru kami. Kuraih ponsel di sebelah cangkir kopi.
"Halo, Arya."
"Ya, halo, Jem. Seperti kesepakatan kita Minggu lalu, aku sudah memberitahukan semua divisi untuk mempersiapkan dari sekarang. Kurasa hari Senin besok aku juga akan mulai memeriksa hasil perencanaan dan rancangan pekerjaaan mereka satu-persatu."
"Itu yang aku suka darimu. Terjun langsung ke lapangan. Baiklah, kalau begitu besok kita bertemu di jam makan siang."
"Oke," tandasku. Lalu mengakhiri panggilan. Kusimpan ponsel dengan gerakan sedikit kasar. "Selamat berlembur, Arya." Dengan satu tangan meraih roti panggang.
***
Aku keluar dari mobil. "Terima kasih, Pak Mali," ucapku.
"Sama-sama, Tuan." Pak Imran menganggukkan kepala. "Hari ini, ada makan siang di luar?" lanjutnya.
"Ada. Nanti saya kabari," pungkasku. Lalu melangkah menuju lobi.
"Siap, Tuan." Terdengar sahutan lelaki berumur empat puluh lima itu.
Aku berjalan menyusuri lantai marmer berwarna abu. Di depanku, empat karyawan perempuan memasang wajah ramah dan senyum manisnya di balik meja resepsionis. Dan di belakang mereka, backdrop dengan logo BA Grup terpampang jelas. Berwarna abu-abu gelap, serasi dengan latarnya yang hitam. Lalu di bawahnya tertulis kembali arti singkatan itu. Bima Anggarajaya Grup. Perusahaan yang sudah lima tahun ini aku pimpin.
"Selamat pagi, Pak Arya," sapa mereka bersamaan.
"Pagi." Aku menganggukkan kepala. Tetap melanjutkan langkah ke arah lift, yang terletak di bagian kanan resepsionis.
Seperti biasa. Beberapa karyawan menyingkir, memberi tempat untukku. Kemudian sapaan-sapaan mereka, yang kubalas dengan anggukan kepala.
Lift terbuka. Aku masuk segera. Tak ada yang mengikuti. Mereka lebih memilih menunggu sepertinya. Kutekan lantai tujuanku, setelahnya berdiri dengan satu tangan menenteng tas kerja. Pandanganku lurus ke arah depan, dengan kepala tegak. Ketika itulah, kulihat Dinda berhenti melangkah, lalu berdiri di sana. Jarak antara kami hanya sekitar lima meter. Namun, rasanya seperti kami berdiri terhalang oleh lautan luas. Seakan aku tak mengenalnya lagi.
Pintu mulai bergerak. Kali ini, tak kubuka lagi pintu lift untuknya agar dia bisa masuk. Kurasa, aku memang benar-benar harus membatasi jarak kami.
Sepanjang waktu di dalam lift, terbayang wajahnya itu. Datar, dingin, tanpa ekspresi. Berbeda dengan ketika kami bertemu di mal tempo hari. Aku masih mengingat ekspresinya itu. Ketika dia berdiri di pintu coffee shop, dengan raut panik setengah mati. Lalu, tatapannya berubah ketika dia melihatku. Seperti kaget dan kebigungan. Dan yang paling menyebalkan adalah, ketika aku bertanya tentang suaminya.
"Bukankah, biasanya di akhir pekan, keluarga kecil selalu pergi bersama?"
"Ke mana ... suamimu?"
Dinda tak menjawab. Ah, mungkin dia malu. Atau mungkin tidak tahu harus menjawab apa. Jelas saja, bukankah dulu dia yang berjanji akan menungguku? Agar kami bisa hidup bersama, seperti impian kami dahulu.
Sudahlah. Mungkin dia tak sanggup menanti kepulanganku. Lagi pula, kini dia sudah memiliki anak ... dan suami tentunya.
Hah, suami. Siapa suaminya? Siapa dia?!
Tanpa terasa jemariku mengepal. Kenapa tiba-tiba aku semarah ini?
Jika mengetahui Dinda sudah menjadi istri orang, rasanya saja seperti ini. Bagaimana jika suatu hari nanti bila aku bertemu dengan laki-laki itu, suaminya?
Di mana suaminya?
Bisa saja, berada di sekitarku?
Namun, bila dia bekerja, kenapa Dinda juga harus bekerja?
Tunggu. Kenapa hal ini baru terpikirkan?
Jika memiliki suami, Dinda tak harus bekerja. Mengingat anaknya masih sangat membutuhkannya. Atau ....
Apa mungkin, rumah tangganya bermasalah?
Itu sebabnya dia bekerja, demi memenuhi kebutuhan anaknya. Jika itu benar, apa bisa aku anggap itu sebagai peluang? Namun, aku juga tidak bisa gegabah, jika kembali harus menjalin hubungan dengannya. Aku belum tahu jelas, status Dinda sekarang.
Astaga, kenapa aku bisa berpikiran sejauh ini? Kuusap wajahku demi menyadarkan diri dari lamunan.
Pintu lift terbuka. Aku mengembuskan napas kasar demi membuang semua asumsi tak jelas. Aku keluar. Berjalan menuju ruanganku.
"Selamat pagi, Pak Arya." Gisela menyapaku di balik mejanya.
"Pagi. Sudah ada konfirmasi dari para kepala divisi?" Aku berhenti sejenak di depan mejanya.
"Sudah, Pak Arya. Saya baru selesai memeriksa divisi mana yang sudah siap memberikan laporan hari ini lebih dulu. Dan sejauh ini, baru Pak Indra yang memberi konfirmasi."
"Pak Indra ... Perencanaan Kontruksi?"
"Ya. Semua timnya sudah sepakat akan memberikan contoh disain pagi ini."
"Oke, saya tunggu di ruangan sebelum jam makan siang. Terima kasih," tandasku. Lalu melanjutkan tujuan. Membuka pintu, berjalan menuju meja. Menyimpan tas dan duduk di kursi.
Divisi Perencanaan Kontruksi?
Entah kenapa, pikiranku lagi-lagi tertuju padanya. Jika pembangunan apartemen akan dimulai, itu artinya ... aku akan semakin sering bertemu Dinda. Dia salah satu anggota dari tim disain interior. Aku menerima dia bekerja di sini, karena alasan itu.
Ah, kenapa tiba-tiba aku merasa hari-hariku akan berjalan sedikit rumit?
.
Telepon di atas meja berdering. Kutekan salah satu tombol. "Ya, Gisela."
"Pak Indra sudah datang, Pak Arya."
"Suruh langsung masuk," pintaku.
"Baik."
Tak lama, pintu terbuka. Lelaki berkemeja merah marun itu berjalan ke arahku.
"Selamat pagi, Pak Arya," sapanya penuh hormat.
"Pagi. Silakan duduk," tunjukku ke arah kursi di depan meja. "Bagaimana, apa sudah ada rekomendasi untuk disain apartemen Harmonise Bay?" tanyaku setelah melihatnya duduk.
"Saya membawa beberapa contoh rancangan," ujarnya sambil menyimpan sebuah map di atas meja. "Untuk ini, saya menggunakan luas 250 m2."
Aku meraih, lalu membukanya. Helai demi helai, aku perhatikan secara seksama. Hingga tiba di bagian terakhir. Kuarahkan tatapan ke sudut kiri bagian bawah. Setahuku, Pak Indra memang selalu meminta timnya untuk menuliskan tanda pengenal di setiap hasil gambar disainnya. "DA?"
"Inisial DA, artinya hasil gambar Dinda." Pak Indra memberi seulas senyum. Seakan memberitahukan, jika dia pun menyukainya.
Kuanggukkan kepala beberapa kali. "Baiklah, saya akan perlihatkan gambar ini pada Pak Roy dan Pak Jeremy siang nanti. Silakan tunggu kabar selanjutnya."
"Ya. Terima kasih, Pak Arya," ucap Pak Indra setelah berdiri. Dia pun berbalik, berjalan ke arah pintu. Kuperhatikan dia hingga menghilang di balik pintu. Kemudian membuka kembali isi map yang tadi kutekan dengan siku.
Jujur aku akui, Dinda memang hebat dalam menggambar. Dulu pun aku sempat melihatnya, tapi tidak berpikir akan sejauh ini hasilnya.
Kualihkan pandangan ke arah jendela. Menatap langit biru yang membentang luas tanpa batas.
"Apa cita-cita Kak Arya?"
"Enggak tau."
"Kok gitu, sih?"
"Kalau kamu?"
"Menggambar."
"Menggambar?"
"Iya. Aku mau, menuangkan berbagai macam warna di atas kertas. Lalu membuat orang-orang tersenyum melihat hasilnya."
"Ribet banget. Bilang aja jadi pelukis."
"Beda, dong!"
"Sama-sama tukang gambar ini."
"Kak Arya nyebelin banget, sih!"
"Ya, gitu aja marah. Hahaha!"
"Ih, jangan lari. Sini!"
"Kejar kalau bisa!"
Sepuluh tahun lalu, itu terjadi pada kita. Apa kamu ingat, Dinda?
*****
--bersambung--