Tiga

2207 Kata
Aksa memang tidak tahu apakah ada surat yang asli atau hanya sebatas itu. Danu pun tidak menjelaskan detailnya seperti apa.  Aksa memutar-mutar mouse komputer seperti tidak ada pekerjaan. Pikirannya benar-benar tidak fokus.  “Si Danu bilang nggak siapa yang udah malsuin surat itu?” tanya Oji. Aksa menggeleng pelan.  “Terus dari mana dia tahu? Kalau itu palsu.” “Alika.” Aksa menatap Oji. “Alika ‘kan tahu itu palsu.” “Gue nggak nyangka, lu bisa dibegoin sama bocah ingusan kayak dia gitu.”  “Gue panik, Alfian Fauzi.” Aksa mengempas punggung ke sandaran kursi.  “Ya, ya, gue lupa. Gini-gini elu panikan, ‘kan.” Memang apapun jika menimpa orang yang mudah panik, semua akan menjadi sulit, akal pun tidak dapat berpikir logis.  Aksa mendengkus. Tak lama dia menerima sebuah panggilan dari nomor yang tidak dikenal. “Halo,” ucapnya usai mendekatkan ponsel ke telinga.  [Halo, Pak. Bisa tolong ke rumah sakit?] Aksa mengernyit. “Ada apa ya?” [Nona Alika kecelakaan dan hanya nomor anda yang bisa kami hubungi.] Aksa bangkit dari duduknya. “Oke,” ucapnya sebelum memutus sambungan. Aksa  memasukan ponsel ke saku celananya. “Siapa?” tanya Oji sembari melihat pergerakan Aksa. Ada kepanikan yang sedang Aksa sembunyikan.  “Alika kecelakaan. Masuk rumah sakit.”  “Udah biarin aja,” usul Oji.  Inginnya Aksa juga seperti itu, biarkan saja perempuan yang telah membuatnya ada dalam masalah. Namun, Aksa pernah berpikir, mungkinkah Alika juga korban dari surat wasiat palsu itu, jika begitu apakah ada surat wasiat yang asli? “Gue harus pergi, Ji,” ucap Aksa seraya bangkit.   “Ngapain?” Oji ikut bangkit. Dia menepuk bahu Aksa. “Udah lu biarin aja, mungkin ini hukum alam buat dia.” “Kalau gue nggak nolongin dia, itu artinya gue sama aja dong kayak dia,” ucap Aksa. “Sudahlah, sebagai sesama manusia kita harus tolong-menolong, sesuai sila pancasila kedua,” imbuhnya sembari merapikan mejanya dan memasukkan laptop ke dalam ranselnya. Memasukan jas ke dalam tas menggantinya dengan jaket jeans.  Oji hanya menyaksikannya tanpa berkomentar. Hati dan pikiran Oji sebenarnya merespons, kalau pada dasarnya dia ragu, apa manusia seperti Alika memang butuh bantuan? “Gue cabut.” Aksa menarik ujung rokok dari mulut Oji dan menekannya di asbak lalu membuangnya. “Jangan merokok di kantor, bandel lu ye.”  Oji hanya termangu. Bibir atasnya tersenyum mengejek. Padahal Aksa pun sering curi-curi waktu merokok di kantor.  Aksa berlari keluar dari kantor. Hari ini dia hanya membawa motor. Hingga motor itu melaju memecah kemacetan Jakarta. Sesekali Aksa melirik jam di pergelangan tangannya. Demi apa dia sepeduli itu pada Alika, bukankah kemarin dia marah, hingga meninggalkannya sendiri bersama pernikahannya?  Waktu menunjukan pukul delapan malam. Aksa sudah berada di depan ruang UGD.  “Bu Alika mengalami pendarahan kecil di kepala. Tapi dia belum sadarkan diri. Seseorang yang mengantarnya ke mari memberikan nomor bapak,” terang petugas kesehatan itu.  Aksa mengusap kasar wajahnya. “Ini pasti Danu,” gumamnya. Siapa lagi, jelas hanya Danu yang dia tahu dekat dengan Alika.  “Kalau begitu saya permisi, Pak.” Aksa mengangguk mengizinkan wanita berseragam khas rumah sakit itu untuk pergi. Dia masuk ke dalam ruangan tempat Alika dirawat. Menatap gadis itu dengan perban yang melilit di kepalanya. “Lu kenapa sih Al?” dengkusnya. “Lu nggak niat bunuh diri ‘kan?” Aksa menarik kursi dan duduk di sebelah ranjang Alika.  Menunggui Alika tersadar malah membuat Aksa melenggut karena tiba-tiba kantuk menyerangnya. Dalam setengah sadar suara tipis membelai telinganya. “Bang, tolongin aku, Bang.”  Aksa terperanjat melihat ke sekelilingnya yang sepi, tak ada orang satupun di ruangan itu. Alika pun masih belum sadarkan diri. Dia menghela napas dan beranjak dari duduknya menuju kamar mandi. Dengan ransel yang  masih menyampir di sebelah bahunya.  Aksa mencuci muka di depan wastafel dengan cermin besar di depannya. Saat air mengenai wajah dengan mata terpejam. Suara tipis itu kembali menghangatkan telinganya. “Bang, tolongin aku, Bang.” Aksa membuka matanya cepat. Dia kembali memperhatikan sekitarnya. Dia segera keluar dan berjalan cepat menuju kursi tunggu. “Gue nggak salah dengar, ‘kan?” gumamnya. Dia menggosok-gosok telinganya hingga panas dan memerah.  Aksa tengadah, menatap langit-langit rumah sakit. Tiba-tiba Aksa merasakan tempat duduknya sedikit bergoyang. Dia menoleh pada seorang perempuan yang tiba-tiba duduk di sebelahnya. Lekuk tubuh indahnya terbungkus gaun satin sutra berwarna putih. “Bang, tolong aku, Bang,” lirih perempuan itu. Aksa hanya melirik dengan ekor matanya, kemudian menunduk kembali.  “Bang, tolongin aku, ada orang yang mau aku mati.”  Aksa masih tak peduli, dia terus tak menghiraukan suara perempuan di sebelahnya. Dia yakin itu hanya halusinasinya saja. Perempuan mana yang memakai gaun tidur dengan sedikit terbuka sehingga dua bukit mengintip di balik bajunya, di rumah sakit pula dengan udara yang cukup dingin menusuk pori, jelas hal itu membuat kening Aksa mengkerut seketika.  “Bang Aksa,” panggil wanita itu datar.   Aksa menoleh, bagaimana mungkin perempuan yang baru dia lihat, bisa mengetahui namanya? Aksa mengerjap. Jelas itu bukan Ariana Grande, penyanyi favoritnya. Meski memiliki rambut dan tulang pipi yang sama, tapi itu tidak mungkin.  “Cuma kamu, Bang, yang bisa nolongin aku.”  Aksa bangkit. Dia memilih pergi dan menghindari perempuan aneh, yang menurutnya hanya halusinasi.  Dia memilih pulang karena Alika tak kunjung sadarkan diri.  Aksa berjalan cepat di koridor rumah sakit. Namun, dia merasa ada yang mengikutinya.  Motor Aksa melaju memecah keheningan malam. Aksa menggelengkan kepala dan tersenyum tipis. Halusinasinya terlalu mendominasi. Kenapa dia merasa sepasang tangan berkulit putih melingkar di perutnya. Ini gila! Benar-benar gila!  Cepat Aksa menginjak rem. Jantungnya mencelus dan dia baru menyadari itu bukan halusinasi. “Apa mungkin hantu?” gumamnya. Dia menarik napas. Menggelengkan kepala dan kembali melajukan motornya.  Sesampainya di rumah Aksa melihat Nayna dan Gibran juga kedua orang tuanya berkumpul di ruang keluarga dengan televisi menyala menayangkan sinetron Arya Saloka.  “Hai,” sapa Aksa pada Abhie. Namun, bayi kecil yang digendong ibunya itu menangis melihat Aksa. “Lah kok nangis?” Aksa mengernyit. “Bawa aura negatif ya?” kelakar Nayna.  Aksa malah terdiam. Dia melihat sekeliling dan seketika terkesiap karena perempuan yang cantik dan seksi seperti Ariana Grande itu mengikutinya.  “Kenapa?” tanya Nova aneh. Napas Aksa terasa berat. “Kayaknya aku harus mandi deh. Terus ngaji.” Aksa berlalu dan segera masuk ke kamarnya.  Dari jauh Nayna berteriak. “Jangan lupa diamalkan.” Aksa pura-pura tak mendengar. Dia mengenyakkan tubuh di ranjang.  “Katanya mau mandi, katanya mau ngaji,” suara lembut itu menagih ucapan Aksa.  “Astaga.” Jantung Aksa mencelus. “Kamu siapa?” Dia bangkit dan mengucek mata.  “Saya Freya. Saya cuma mau minta tolong.” Dia menjatuhkan tubuh di sebelah Aksa. “Beneran saya nggak ada maksud buat bikin kamu takut, Bang.” Aksa mengernyit. Menelan saliva yang mendadak tersangkut di tenggorokan.  Bibir perempuan itu mengerucut. “Saya bukan hantu kok.” Aksa berdiri dan berkacak pinggang, “Gue nggak peduli ya, elu mau dari jenis kuntilanak, demit, siluman, bodo amat, gue nggak takut.” Aksa menatap perempuan yang terus mendekat padanya. Bahkan caranya tersenyum dan berjalan sama sekali tak menakutkan. “Mending sekarang elu keluar deh, pergi jauh-jauh, gue capek mau tidur,” dengkus Aksa.  Aksa mengempas tubuhnya di kasur. Dalam keadaan telungkup dia memejamkan mata dan tak memedulikan keberadaan kuntilanak itu. Baginya hardikan yang baru saja dia katakan sudah cukup menyakitkan untuk ukuran perempuan, meski itu dari jenis kuntilanak sekalipun.  *** Alika membuka mata di tengah malam. Dia melihat Danu ada di sebelahnya sedang tertidur dengan tangan dilipat di d**a, sementara kepala terkulai setengah tertunduk.  Apa yang Danu lakukan?  Tangan Alika bergerak hendak menyentuh Danu. Namun, sayang tangan piria itu terlalu jauh, hingga tangannya tidak sampai pada Danu.  Alika hendak memanggil. Namun, tenggorokannya yang kering membuatnya terbatuk. Hingga membuat Danu terbangun.  “Kamu udah sadar?” Danu bersegera mengambil air mineral yang sudah tersedia di meja. “Minumlah.” Dia mendekatkan botol ke mulut Alika yang sudah duduk tegap.  Alika menatap pria itu.  “Aku minta maaf,” ucap Danu. “Karena aku kamu jadi seperti ini.” Alika membuang muka. “Terus kenapa kamu di sini?” “Aku nungguin kamu. Tadi siang aku sudah telepon mama kamu juga.” Alika menoleh cepat. Dia tidak suka jika ibunya datang. Menyebalkan! Wanita cerewet itu pasti akan membawanya pergi dari sini.  “Besok mamamu akan datang.” “Kamu nggak usah sok peduli.” Alika menepis tangan Danu yang hendak menggenggam tangannya.  “Aku peduli.” Danu menarik kursi agar lebih dekat ke arah Alika. “Maaf karena aku telah menggagalkan pernikahanmu.” Danu memberi jeda. “Aku masih cinta kamu, aku nggak mau kehilangan kamu.” Alika masih terdiam tanpa menatap wajah Danu.  “Aku tidak bermaksud membuatmu seperti ini, sungguh.” Danu membelai pipi Alika. “Tidak percayakah kalau aku bisa bahagiakan kamu?” Alika menarik napas. Sebisa-bisa dia menghindari mata Danu.  “Tidak berartikah hubungan kita selama setahun ini, hm? Kamu melupakanku dalam sehari karena sebuah ramalan yang bisa saja tidak terjadi.”  Bendungan air mata yang Alika tahan akhirnya jatuh juga. “Aku minta maaf,” desis Alika.  “Beruntung aku dapat buktikan semuanya padamu.” Danu kembali memberi jeda. “Kumohon jangan seperti ini lagi. Kamu harus janji.” Alika mengangguk. Digenggamlah tangan pria itu. “Aku tidak mengira ada orang yang ingin memisahkan kita dengan membuat surat wasiat palsu.” Danu mengangguk.  “Terus kenapa bisa kebetulan dengan sebuah ramalan?”  Danu mengangkat bahu. “Kamu kenal dengan perempuan itu?”  Alika menarik napas sembari menggelengkan kepala. Dia tidak kenal. Namun, kenapa Danu harus seemosi itu, memperlakukan wanita itu dengan keji.  “Sudah, nggak usah dipikirin. Sekarang kamu tidur lagi.” Danu membantu Alika untuk berbaring. “Aku di sini temanin kamu,” lanjutnya.  *** Aksa menggeliat, merentangkan tubuhnya ke segala arah. Kemudian kembali terpejam. Namun, tangannya terasa menyentuh sebuah tangan lancip dengan kuku-kuku cantik, kutek soft pink memberi warna semakin cantik. Saat mata Aksa setengah terbuka.  Aksa kembali terpejam sembari mengingat mimpi apa dia tadi malam. Aksa memaksakan diri untuk membuka mata. Akhir pekan memang yang paling dia rindukan karena bisa berlama-lama tidur. Namun, genggaman tangan itu membuat dia memaksakan diri untuk bangun.  “Aaaaah.” Aksa terperanjat. Dia pikir dia benar-benar mimpi. Jantungnya berdebar. “Mau apa lagi sih?” sentaknya keras seraya menjauh. Ketukan pintu sedikit keras membuat Aksa salah tingkah. “Bangun woy. Ngigau ya,” teriak Nayna dari luar. Adiknya itu mendengar teriakan Aksa yang tiba-tiba membuat kegaduhan.  Gigi Aksa bergemeretak. “Mau apa lagi?” desisnya.  “Aku mau kamu tolongin aku, Bang. Aku nggak akan pergi sebelum kamu benar-benar tolongin aku.” Wanita itu kembali memohon.  Aksa terdiam menatap wanita itu. Dari mana datangnya, kenapa dia harus datang padanya? “Saya nggak kenal siapa kamu, dan kenapa kamu bisa mati penasaran.” Akhirnya Aksa bersuara.  “Harus ya, membantu itu hanya untuk orang yang dikenal saja?” Aksa berjingkat mengambil handuk dalam lemari. “Nggak juga,” ucapnya. Kemudian dia menoleh karena wanita itu sudah ada di belakangnya. “Sesama antar manusia harus saling tolong menolong. Masalahnya kamu bukan manusia,” pekik Aksa.  Mendengar penolakan Aksa. Air mata mulai turun dengan indah melewati pipi mulusnya. Air muka gadis bergaun putih itu berubah kecewa.  Mulut Aksa membulat dan sedikit terbuka. Dia merasa heran, kenapa hantu bisa menangis dan itu benar-benar terlihat nyata. “Hei ….” Suara Aksa berubah pelan. Dia menurunkan intonasi suaranya. Tangannya mengambang di udara saat hendak menyeka pipi wanita itu. Namun, dia segera tersadar, perempuan itu bukan manusia. “Ah.” Dia menjatuhkan tangannya dengan kasar. Bisa-bisa dia gila, jika terus-menerus diikuti arwah gentayangan seperti itu. Meski cantik dan menarik tetap saja dia bukan manusia. Aksa bergidik dengan semua yang ada di pikirannya.  “Aku Freya,” ucapnya pelan, sehingga terdengar seperti berbisik. “Aku cuma mau minta bantuan kamu.” Freya terus mendekat. “Aku mohon, cuma kamu yang bisa bantu aku,” lanjutnya.  Aksa terus mundur sementara punggung sudah mengenai kaca lemari. “Datanglah ke rumah sakit, kamar mawar no 10,” ucap Freya dengan berjarak lima senti dari wajah Aksa, membuat pria itu merasakan embusan angin dari mulut freya. Entah dia merasa ini seperti wangi mint bercampur dengan wangi kayu manis. Aneh sekali. Sampai-sampai membuat jantung Aksa berdebar.  Aksa mengerang frustasi. Namun, begitu pelan. Tidak seperti berteriak. Dia seperti terkunci dan sulit menghindari wanita misterius itu.  “Cuma kamu yang bisa lihat aku,” desis Freya. Dia terus meyakinkan Aksa agar pria itu mau membantunya.  Aksa menarik napas panjang. Melangkahkan kaki dengan pelan meninggalkan perempuan itu ke kamar mandi.  Freya tak banyak berkata lagi, apa dia benar-benar harus menyerah saja dan membiarkan hidupnya berakhir seperti ini? Mengenaskan! Sebelum menutup pintu kamar mandi Aksa menatap wanita yang tertunduk itu. Ini aneh! Aksa melihat kakinya yang telanjang menyentuh lantai. Jelas-jelas seperti manusia biasa. Lalu kenapa saat kemarin malam wanita itu mengikutinya semua anggota keluarga tak ada yang dapat melihatnya.  Apa memang benar hanya dirinya yang dapat melihat wanita itu?  Saat Freya menoleh dan menatapnya. Aksa segera menutup pintu kamar mandi. Di balik dadanya berdegup kencang, Aksa seperti kepergok habis mengintip anak gadis mandi. Argh! Aksa kembali mengerang. Dia mengusap wajahnya kasar. Dosa apa dia, harusnya yang datang menghantui adalah orang yang dia tabrak. Bukan siluman, makhluk jadi-jadian, kuntilanak atau apalah sebutannya.     ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN