9

1741 Kata
Sudah dua bulan sejak aku terakhir melihat Raditya. Aku dan Alika perlahan kembali akrab. Kami tak pernah menyentuh topik itu lagi. Seolah-olah semuanya tak pernah terjadi. Tapi aku tahu, kami hanya menyembunyikan retakannya dengan senyum. Aku sibuk dengan tugas akhir semester. Alika sibuk dengan organisasi. Kami berusaha mengisi waktu agar tak sempat memikirkan luka. Tapi malam tetap saja sunyi—dan saat sunyi datang, bayangan itu kembali. Dan hari itu datang tanpa aba-aba. --- Aku sedang magang di sebuah kantor arsitek kecil. Hari pertama, aku gugup bukan main. Saat sedang duduk di lobi, seorang pria bersetelan abu-abu masuk… dan dunia berhenti sesaat. Raditya. Tanganku refleks mencengkeram buku catatan. Dia terlihat lebih lelah, tapi tetap dengan aura tegasnya yang membuat ruangan jadi terasa sempit. “Ada janji dengan Pak Arman?” tanya resepsionis. Dia mengangguk. “Ya. Presentasi proyek kerja sama.” Presentasi? Hatiku mencelos. Tak lama, atasanku memanggilku. “Keyla, kamu ikut ke ruang meeting. Kita bantu klien ini untuk tahap konsep.” Klien. Dan aku tahu, takdir benar-benar sedang bermain-main denganku. --- Aku masuk ruang rapat dengan jantung berdebar hebat. Raditya duduk di ujung meja, sibuk membuka dokumen. Tapi ketika matanya bertemu dengan mataku… waktu seolah berhenti. Dia terkejut. Tapi cepat menutupi. Aku hanya menunduk, duduk diam, berpura-pura profesional. Selama dua jam, kami bicara soal bangunan, layout, material. Tapi tak sekali pun kami bicara soal kita. Sampai saat semua orang keluar, dan hanya kami berdua tersisa. “Apa kabar?” tanyanya akhirnya. Aku menatapnya. “Baik.” Diam. Sunyi. Tapi matanya menatapku dalam—menyiratkan rindu yang tak terucap “Seharusnya aku nggak kaget kamu di sini,” katanya. “Tapi tetap saja… melihatmu lagi begini…” Aku menggigit bibir. “Saya juga nggak nyangka.” Dia mengangguk pelan. “Kamu makin dewasa.” Dan entah kenapa, kalimat itu justru terasa paling menyakitkan. Karena aku tahu… yang ia maksud bukan sekadar penampilan. Tapi hatiku yang dipaksa dewasa karena cinta yang tak boleh kumiliki. Sejak hari itu, kami jadi sering bertemu. Bukan karena pilihan hati, tapi karena pekerjaan. Raditya dan timnya sedang mengembangkan proyek bangunan kampus, dan kantor tempatku magang menjadi salah satu mitra desain. Setiap minggu ada rapat. Setiap minggu aku harus duduk tak jauh darinya. Menyimak suaranya, mencuri tatapannya. Dan setiap minggu pula, aku berpura-pura tak peduli. “Keyla,” panggil Pak Arman suatu hari. “Kamu bantu Pak Raditya evaluasi revisi desain. Dua orang cukup. Yang lain udah saya suruh ke site.” Jantungku langsung berdegup kencang. Sendirian. Bersama dia. Raditya hanya menatapku sebentar sebelum kembali pada layar laptopnya. Kami duduk di ruang kecil. Hanya kami berdua. Sunyi dan sesak. “Kamu kelihatan lebih tenang sekarang,” katanya pelan, masih fokus ke layar. “Saya belajar,” jawabku singkat. Ia mengangguk. “Tapi kamu masih menyimpan semuanya, ya?” Aku mengangkat wajah, menatap matanya. “Om juga, kan?” Dia tak menjawab. Hanya menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, “Aku berusaha.” --- Setelah sesi itu selesai, aku mengemasi barang. Tapi sebelum aku benar-benar keluar ruangan, dia berdiri dan berkata pelan, “Kalau waktu bisa diputar… aku tetap akan menjauh darimu, Keyla. Tapi bukan karena aku nggak sayang. Justru karena aku terlalu sayang.” Aku membeku. Kata-katanya menampar, sekaligus membelai hatiku yang rapuh. “Om...” bisikku. Dia menunduk.. “Maaf. Aku tahu harusnya nggak bilang itu. Aku cuma manusia.” Aku menunduk dalam. Air mataku menetes—tanpa isak, tanpa suara. Lalu aku pergi. Tanpa berpaling. Karena jika aku menoleh, aku tahu aku takkan sanggup menahan diri untuk tetap menjauh. Beberapa hari setelah kejadian itu, aku dan Raditya kembali berusaha bersikap biasa saat rapat. Tapi tatapan kami, bahasa tubuh kami… aku mulai menyadari, mungkin kami tidak seahli itu dalam menyembunyikan rasa. Dan seseorang mulai melihat celah itu. Alika. Hari itu, dia datang menjemputku sepulang magang. Katanya sekalian mampir beli kopi di kafe favorit kami. Aku senang, jujur saja. Sudah lama kami tak hang out seperti dulu. Tapi saat kami duduk berdua, ada yang berbeda dari caranya memandangku. “Ky,” katanya tiba-tiba. “Kamu pernah ngerasa suka sama orang yang nggak boleh kamu suka?” Aku menegang. Tapi tetap berusaha tersenyum. “Maksudnya?” “Ya… kayak misalnya, orang yang lebih tua banget, atau orang yang… deket sama kamu, tapi mustahil kamu miliki.” Aku pura-pura tertawa. “Kamu nonton drama apa sih?” Tapi dia tak ikut tertawa. Dia menatapku lama—dan jujur, tatapan itu bikin aku gemetar. “Kamu kelihatan beda akhir-akhir ini,” lanjutnya. “Terutama setiap abis dari kantor magang. Dan… Ayah juga.” Aku mencoba terlihat tenang, tapi jantungku sudah berdetak tak karuan. “Ayah keliatan berubah. Lebih diam. Lebih... terjaga. Dan itu cuma muncul saat kamu ada.” Aku tertunduk. Lidahku kelu. Lalu dia berkata, pelan… tapi tajam: “Aku cuma berharap, kamu nggak jadi alasan dia berubah.” --- Malamnya, aku menangis dalam diam. Karena ternyata, sekeras apa pun aku berusaha menyembunyikannya… seseorang selalu bisa melihat apa yang tak ingin kita perlihatkan. Dan kini, bukan cuma hati yang harus kujaga… tapi juga persahabatan yang mulai retak karena cinta yang salah arah. Pagi itu, aku menerima pesan dari Alika. Kita ketemu. Sekarang. Singkat. Tegas. Tak seperti biasanya. Kami bertemu di taman kampus. Angin lembut bertiup, tapi suasana di antara kami kaku dan dingin. Alika duduk menatapku dengan mata yang tak lagi teduh seperti dulu. “Aku nggak mau muter-muter lagi, Ky,” katanya pelan. “Jawab aja. Jujur. Kamu ada hubungan apa sama Ayahku?” Pertanyaan itu menghantamku lebih keras dari yang kubayangkan. Aku ingin bilang tidak. Ingin menyangkal semuanya. Tapi… aku tahu dia layak dapat kebenaran. “Aku nggak pernah niat, Lik. Semua ini… terjadi di luar kendali,” jawabku akhirnya, nyaris berbisik. “Berarti iya?” suaranya meninggi, matanya berkaca-kaca. “Kamu… kamu suka sama Ayahku?” Aku mengangguk pelan, dan saat itu, sesuatu di antara kami retak. Alika berdiri. “Kamu temanku, Ky. Tapi kamu juga perempuan yang diam-diam mencintai laki-laki yang aku hormati sebagai ayah. Kamu ngerti gimana sakitnya itu buat aku?” “Aku ngerti,” suaraku pecah. “Tapi aku juga nggak pernah minta perasaan ini datang. Aku udah coba menjauh. Aku udah coba lupakan.” “Coba bukan berarti berhasil, kan?” Dia menatapku tajam. “Kalau kamu masih mau aku di hidup kamu… kamu harus berhenti. Sekarang juga. Jauhi Ayahku, dan jangan pernah lagi muncul di antara kami.” Aku terdiam. Karena untuk pertama kalinya, aku sadar… mencintai seseorang tak selalu soal memiliki. Kadang, cinta juga tentang mengorbankan semuanya—bahkan kebahagiaanmu sendiri—demi mereka yang kau cintai. Aku menunduk, mengangguk pelan, meski air mata mulai membasahi pipi. “Oke. Aku janji…” Dan saat aku berjalan menjauh dari Alika hari itu, aku tahu—hatiku tertinggal di tempat yang tak mungkin lagi bisa kujelang. Sudah seminggu Keyla tidak muncul di kantor arsitek. Raditya tahu—karena dia diam-diam mencatat jadwal rapat yang biasa mempertemukan mereka. Dan kini, setiap kursi kosong yang tak lagi diisi Keyla terasa mencolok. Terlalu sunyi. Di ruangannya, Raditya membuka file revisi desain. Di pojok dokumen itu tertulis: Revisi awal: Keyla R. Hanya sebuah nama. Tapi cukup untuk membuatnya memejamkan mata, menarik napas panjang. Ada sesuatu yang mengganjal sejak terakhir mereka bicara. Sejak hari di mana ia, sekali lagi, mengucapkan kata-kata yang seharusnya tak pernah keluar. Dan kini… semuanya hening. Dia mencoba menyibukkan diri. Menjadi sosok keras seperti biasanya. Tapi tetap saja, setiap lewat lorong, setiap buka pintu rapat—dia berharap suara itu muncul. Tatapan itu kembali. Senyum itu mengisi ruangnya yang dingin. Tapi tidak ada. Sampai akhirnya, dia bertanya langsung pada Pak Arman, atasan Keyla. “Magangannya kenapa? Kok nggak kelihatan?” Pak Arman mengangkat alis. “Keyla? Oh, dia minta pindah divisi. Katanya ingin fokus di bagian administrasi proyek. Lebih banyak kerja di balik layar sekarang.” Raditya hanya mengangguk. Tapi dadanya terasa sesak. Pindah? Karena aku? Karena kami? Dia berjalan ke mobilnya dengan langkah berat. Duduk di balik kemudi, dan menatap pantulan wajahnya di kaca. Dan untuk pertama kalinya… dia bertanya pada diri sendiri: Apa yang sudah aku lakukan pada gadis itu? Hari-hari berlalu dengan lambat, seperti jam yang enggan bergerak. Setiap pagi, aku berusaha untuk bangun dan menjalani rutinitasku. Tetapi, setiap kali aku melangkah keluar, perasaan itu kembali menghantui—perasaan yang tak bisa aku hilangkan, meski sudah berusaha sangat keras. Aku berusaha tetap fokus pada kuliah dan magang. Tetapi di setiap rapat, di setiap pertemuan, pikiranku selalu kembali padanya—Raditya. Raditya… pria itu. Ayah sahabatku. Dulu aku percaya bisa menjauh, tapi kenyataannya, semakin aku berusaha, semakin ia menguasai pikiranku. Dalam diam, aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa ini adalah hal yang benar, bahwa aku harus menjaga jarak. Namun, setiap kali aku melihatnya—meskipun hanya sekilas—semua logika itu runtuh. Aku belum bisa melepaskan perasaan itu. --- Satu minggu setelah pertemuan terakhir dengan Alika, aku tidak bisa lagi menghindari kenyataan bahwa aku harus memilih. Bukan hanya untuk diriku, tapi juga untuk persahabatan yang hampir saja hilang. Aku harus menenangkan hatiku, dan meyakinkan Alika bahwa aku akan menjaga perasaan kami. Aku memutuskan untuk menulis surat untuk Raditya, meskipun aku tahu surat ini tidak akan pernah dikirim. Tapi aku harus mengeluarkan semua perasaan yang terpendam ini—perasaan yang sudah terlalu lama dipendam. > Raditya, Aku mencoba, sungguh. Aku mencoba untuk tidak merasa seperti ini, tapi rasanya mustahil. Kamu bukan hanya sahabat Ayahku, kamu juga seseorang yang sudah terlalu dekat dengan hidupku. Aku tahu aku harus menjauh. Aku tahu kamu juga sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan apapun yang terjadi di antara kita. Tapi itu tidak mengurangi kenyataan bahwa aku masih mencintaimu, dalam diam. Aku akan berusaha menjaga jarak. Karena aku tahu itu yang terbaik untuk kita semua. Tapi jangan pernah lupakan bahwa ada seorang gadis di sini yang selalu akan mengenangmu dengan cara yang berbeda. Keyla. Aku menatap surat itu. Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan. Semua ini hanya akan menjadi kenangan yang tertinggal. Aku berharap ini akan menjadi penutupan, meskipun aku tahu itu tidak akan pernah cukup. Hari berikutnya, saat aku sedang menunggu di depan kampus, sebuah mobil berhenti tepat di depanku. Aku menoleh, dan jantungku hampir berhenti. Raditya. Dia keluar dari mobil dan mendekat. Wajahnya terlihat lebih lelah dari sebelumnya, seolah beban yang dia bawa terlalu berat. Aku menahan napas, mencoba tidak menunjukkan betapa terkejutnya aku. “Kamu di sini?” tanyanya, suaranya lebih lembut dari yang aku bayangkan. Aku hanya bisa mengangguk. “Ada apa, Om?” Dia menghela napas panjang. “Aku harus bicara denganmu.” ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN