7

1299 Kata
Pagi itu aku duduk di bangku taman sekolah, sendirian. Biasanya aku suka duduk di sini untuk menenangkan pikiran. Tapi pagi ini, matahari terasa terlalu terang, angin terlalu kencang, dan suara anak-anak sekolah seperti hanya jadi latar dari rasa sesak yang tak juga reda. Aku mencintai ayah sahabatku. Dan itu... bukan hal yang bisa diceritakan pada siapa pun. Di saat teman-teman lain sibuk cerita soal cowok sekelas atau gebetan di media sosial, aku sibuk memikirkan seorang pria yang bahkan tak bisa kusebutkan namanya tanpa merasa bersalah. Aku tahu ini salah. Tapi kalau ini salah... kenapa rasanya lebih hidup dari apa pun yang pernah kualami? --- Sore harinya, aku pulang sendiri. Alika ada les tambahan dan mobil jemputan terlambat, jadi aku naik ojek online dan langsung masuk ke rumah dalam keadaan lelah. Ibu sedang pergi ke rumah nenek, jadi rumah kosong. Saat kubuka pintu kamar, di atas meja ada amplop kecil. Tanpa nama. Tapi aku tahu tulisan tangannya. "Untuk kamu yang diam-diam mengacaukan isi kepalaku." Tanganku gemetar saat membukanya. Di dalamnya hanya satu kalimat, ditulis dengan tinta biru yang sedikit pudar: "Kalau aku hilang esok hari, harapanku cuma satu: kamu tetap jadi perempuan yang kuat, meski pernah jatuh karena lelaki sepertiku." Mataku panas. Tapi aku tidak menangis. Karena aku tahu, ini bukan akhir. Ini hanya jeda. --- Malamnya, aku berdiri di balkon. Menatap langit yang kosong tanpa bintang. Kupikir cinta hanya soal senyum dan degup jantung yang cepat. Tapi ternyata, cinta juga bisa diam. Juga bisa perih. Juga bisa membuat seseorang merasa kehilangan bahkan saat masih saling punya. Dan di balik semuanya... aku tetap menunggunya. Bukan karena aku lemah, tapi karena aku tahu, rasa ini... belum selesai. Hari-hari setelah surat itu berjalan pelan. Terlalu pelan. Dan setiap detik terasa seperti pengingat bahwa aku sedang menunggu seseorang yang mungkin takkan pernah datang lagi. Om Raditya tak muncul lagi di ruang makan saat aku di rumah Alika. Bahkan mobilnya sering tak terlihat di garasi. Alika hanya bilang, "Ayah sibuk banget akhir-akhir ini. Kayaknya ada masalah besar di kantor." Masalah besar? Atau... ia sedang menjauhiku sepenuhnya? Aku tidak tahu. Dan ketidaktahuan itu lebih menyakitkan dari penolakan. Suatu sore, aku dan Alika duduk di sofa ruang tengah sambil menonton film lama. Tapi pikiranku melayang terus, tak bisa fokus. "Key, kamu kenapa sih akhir-akhir ini?" tanya Alika tiba-tiba. Aku menoleh cepat. "Kenapa?" "Kamu beda. Lebih diam. Lebih... kosong." Aku tersenyum kecil. "Cuma lagi banyak mikir aja." Dia menghela napas. "Kamu bisa cerita, tahu. Apapun itu." Aku ingin cerita. Ingin sekali. Tapi bagaimana mungkin? Bagaimana aku bisa bilang bahwa aku jatuh cinta pada pria yang duduk di meja makan yang sama dengannya? Bahwa setiap kali aku ke sini, aku sedang menunggu ayahnya, bukan dirinya? Aku hanya menunduk, pura-pura mengatur bantal di sofa. "Saya baik-baik aja, Lik." Alika diam. Tapi tatapannya menelanjangiku. Seolah ia tahu, tapi memilih tak bertanya lebih lanjut. Malamnya, aku kembali berdiri di balkon. Angin malam mengacak rambutku. Dan untuk pertama kalinya, aku bertanya pada diriku sendiri: Apa yang sedang aku lakukan? Aku terlalu muda untuk jatuh pada cinta serumit ini. Tapi aku juga tahu, kalau perasaan bisa dikendalikan, mungkin dunia tak akan seberantakan ini. Ponselku bergetar. Satu pesan masuk. Nomor Tanpa Nama: Besok jangan ke rumah Alika. Aku akan ada di sana. Dadaku berdebar kencang. Antara bahagia dan takut. Dia akan ada di sana. Tapi kenapa aku tak boleh datang? Apa karena dia tak sanggup melihatku? Atau... karena ada sesuatu yang akan dia lakukan? Besok adalah teka-teki yang belum terpecahkan. Tapi satu hal yang pasti: aku tidak akan tenang sampai melihat matanya lagi. Dan tahu... apakah ia masih menyimpan perasaan yang sama seperti aku. Pagi itu, aku bangun lebih awal dari biasanya. Udara dingin masih menggantung di udara, tapi tubuhku hangat oleh satu hal-tekad. Dia bilang jangan datang. Tapi bagaimana bisa aku tidak datang? Bagaimana bisa aku pura-pura tak peduli, ketika satu-satunya tempat yang membuatku merasa hidup adalah tempat dia berada? Aku tiba di rumah Alika pukul 09.00. Rumah itu tampak tenang, seperti biasa. Alika belum pulang dari les renang, jadi hanya ada pembantu dan... dia. Aku melangkah pelan ke dalam rumah. Nafasku memburu sejak di pintu. Langkah-langkahku terasa asing, seperti pencuri di rumah yang dulu terasa nyaman. Dan di ruang kerja, pintu sedikit terbuka. Ada suara. Suaranya. Aku mendekat. "Keyla." Namaku keluar dari mulutnya sebelum aku sempat mengetuk pintu. Seolah dia tahu aku akan datang meski dia sudah melarang. Aku berdiri di ambang pintu, menatapnya. Dia duduk di kursi kulit hitam, jasnya terbuka, kemeja abu-abu sedikit kusut. Tapi wajahnya masih seperti biasa-dingin, tajam, dan... menyakitkan. "Tadi aku bilang jangan datang," katanya pelan. Aku mengangguk. "Saya tahu." "Kenapa kamu tetap datang?" Aku menelan ludah. "Karena saya... nggak bisa nggak lihat Om." Dia menghela napas panjang, lalu berdiri. Mendekat. Dan saat jaraknya hanya tinggal dua langkah dariku, dia berhenti. Tatapannya menelusuri wajahku-seolah ingin mengingat tiap detail, sebelum akhirnya berkata: "Kamu harus pergi, Keyla. Ini terakhir kali kamu datang ke sini." Dadaku seperti diremukkan. "Kenapa?" "Karena aku mulai kehilangan kendali." Suaranya retak. Bukan marah. Tapi takut. "Aku... ingin kamu. Tapi aku juga takut jadi pria yang kamu benci nantinya." Aku menggigit bibir, menahan air mata. "Saya nggak akan pernah benci Om." Dia menggeleng, pelan, seolah tak percaya. "Tetap saja. Ini salah. Kamu terlalu muda. Dan aku... sudah terlalu rusak." Aku melangkah maju satu langkah. "Kalau Om rusak, biar saya jadi yang bantu memperbaiki." Dia menatapku, lama. Tapi tak menjawab. Hanya diam. Dan dari diamnya, aku tahu... perasaannya nyata. Tapi dunia kami... tidak pernah benar sejak awal. Pagi itu, aku pergi dengan langkah berat. Tapi aku tidak menyesal datang. Karena meskipun perih, aku sempat lihat matanya. Dan dari mata itu, aku tahu... rasa ini masih hidup. Sudah tiga hari sejak pertemuan terakhir itu. Tiga hari tanpa kabar, tanpa tatap, tanpa sepatah kata pun. Tapi rasanya, pikiranku terus terikat padanya. Seolah dalam diam pun, dia masih bicara padaku. Alika mengajakku menginap malam ini. Katanya, ia bosan tidur sendirian karena ayahnya akan pulang larut malam. Aku tak bisa menolak, meski tahu ini keputusan yang berbahaya. Karena aku tahu... aku akan berada di bawah atap yang sama dengannya lagi. --- Malam itu kami menghabiskan waktu di kamar Alika, menonton film, tertawa, dan saling bertukar cerita. Tapi hatiku setengah tertinggal di lantai bawah-tempat dia mungkin baru akan pulang. Jam menunjukkan pukul 22.41 saat kudengar suara pintu depan dibuka. Alika sudah tertidur, dan aku terjaga sendirian di ranjang. Perlahan, aku bangkit. Berdiri di depan pintu kamar. Mendengarkan. Langkah kaki berat. Suara kunci diletakkan di meja. Suara napas pria yang sudah terlalu letih oleh dunia. Aku membuka pintu. Mengintip sedikit. Ruang tamu remang. Tapi aku melihatnya-punggungnya membelakangiku saat ia menuang air ke gelas. Lalu dia berbalik. Dan kami bertatapan. Satu detik. Dua detik. Tak ada kata. Tapi matanya... berbicara. Dia melangkah pelan ke arah tangga. Tapi saat melewatiku, dia berhenti. Diam di sebelahku, membelakangi kamar Alika yang tertutup. "Kenapa kamu turun?" tanyanya tanpa menoleh. "Saya haus," jawabku cepat. "Airnya sudah di meja." Aku tahu maksudnya: pergilah sebelum terlambat. Tapi aku diam. Lalu pelan-pelan berkata, "Om juga belum tidur?" Dia hanya mengangguk. Lalu menatapku untuk pertama kali malam itu. "Kenapa kamu terus di sini, Keyla?" katanya dengan nada nyaris putus asa. Aku menatapnya balik. "Karena saya nggak tahu harus ke mana... kalau bukan ke sini." Untuk pertama kalinya, dia terlihat lelah bukan karena kerja. Tapi karena perasaan yang tak bisa ia hapus. Dia menghela napas panjang, lalu memalingkan wajah. "Kamu harus tidur." Aku mengangguk. Tapi sebelum melangkah, aku berkata pelan, hampir tak terdengar: "Meski Om nggak ngelihat saya lagi... saya tetap lihat Om." Dan aku masuk ke kamar, menutup pintu dengan hati yang kembali penuh oleh luka. --- Malam itu aku sadar: mencintai seseorang seperti Tuan Raditya bukan tentang dimiliki, tapi tentang bertahan diam-diam di sisi yang gelap-dan berharap, suatu hari... dia akan memandangku seperti yang kulakukan padanya. --- Gimana guyss ada yang kurang
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN