{ 01 } Stand

1861 Kata
{ 01 }  . . . Tubuhnya berjalan gontai, mengabaikan suara bising sirene mobil yang berdengung memenuhi seluruh jalan. Dengan sebuah wig berwarna hitam pendek, serta pakaian yang biasa melekat pada tubuhnya. Ari pergi melewati jendela kamar yang tidak jauh dari tempatnya. Jendela yang tinggi, mengingat dimana Ia berada sekarang. Menggunakan tali yang cukup kuat untuk menurunkan tubuhnya dari atas sana. Dengan lihai, wanita itu turun. Menampakan wajah tenang, di saat seluruh tempat Ia berada kini terasa sepi. Tidak ada tanda-tanda keberadaan seseorang, dirinya aman. "Aku harus segera pergi dari sini." Bergumam kecil, Ari melangkahkan kakinya secepat mungkin. Penyamarannya berhasil, dia yang awalnya berpenampilan glamour dengan wig hitam panjang, kini berubah kembali. Menjadi wanita berambut hitam pendek dengan memakai pakaian rumah miliknya. Aroma darah yang menyengat tadi sudah menghilang sepenuhnya, terguyur air selama tiga kali sudah cukup ampuh untuk mengembalikan aroma tubuhnya seperti semula. Tidak ada yang bisa mengenalinya lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore, Ia harus cepat-cepat menyiapkan makan malam untuk sang suami. "Aku yakin, dia akan terlambat hari ini." Menutup manik sekilas, meresapi suara dengung sirene mobil polisi yang semakin mendekat. Wanita itu berlari kecil, Menghampiri mobil yang setia menunggu di dekat gang tempatnya berada. Sesuai rencana. Hanya dia lah yang mengetahui tentang keberadaan mobil ini. Mobil yang diberikan khusus untuknya dari sang ayah Pintu tertutup sempurna, Ari memastikan keadaan sekali lagi. Tidak ada siapa pun di sini, semua orang sepertinya masih terpaku pada satu titik yaitu gerbang hotel. Mendengar suara sirene mungkin mereka heran dan memilih untuk melihat ada kejadian apa di sana. Cepat sekali pegawai-pegawai itu sadar. Sepertinya darah yang menggenang di dalam ruangan cukup banyak sehingga keluar dari celah bawah pintu merupakan salah satu akibatnya. Tapi Ari tentu saja lebih cepat dari mereka- "Hh, berusaha-lah mencariku." Mendengus singkat, wanita itu menghidupkan mobil, melaju cepat. Meninggalkan tempat tadi, berpikir kembali apakah misi ayahnya bisa Ia selesaikan? . . . Masih berada di dalam mobil, saat lampu merah menyala. Tanpa aba-aba Ari melepas wig yang dipakainya, memperlihatkan geraian rambut coklat bergelombang yang sejak tadi tergulung. Lensa kontaknya akan Ia lepas setelah pulang nanti, kalau untuk pakaian- Ini adalah pakaian yang Ia gunakan saat di rumah, jadi tidak masalah baginya. Menggeleng kecil, membiarkan geraian rambut panjang itu bergerak ke kanan dan ke kiri, Ari menutup maniknya sekilas- Pikirannya masih melayang, memikirkan pekerjaan yang selanjutnya. Kenapa Laki-laki itu tiba-tiba meminta Ia membunuh Liam. Kenapa harus Liam? Kenapa tidak orang lain saja?! Liam itu suaminya, orang yang paling Ia cintai. Meskipun di hadapan laki-laki itu dia harus menjauhkan wajah dingin andalannya. Tapi tetap saja, "Kh!" Tangan putih itu memukul setir, menggigit bibir bawah, menahan teriakan yang sewaktu-waktu bisa keluar. 'Kenapa harus, Liam? Aku tidak tahu kalau dia mempunyai musuh, bahkan sampai berniat membunuhnya!' Mengira selama ini bahwa sang suami tidak mungkin mempunyai musuh, karena memiliki kepribadian yang berbalik darinya. Baik hati, selalu tegas, dan cengiran rubah yang dimiliki Liam pun mampu membuat hati dingin Ari meleleh karenanya. Ia jatuh cinta pertama kali, mencintai laki-laki itu dengan tulus. Menahan tangisan yang hampir keluar. Berkali-kali Ari memukul setir, menundukkan wajah tepat ke sana. Sebelum akhirnya lampu merah berganti warna. Menghentikan tindakan tadi, Ari memilih melajukan mobil kembali. . . . Saling jatuh cinta, itulah yang dirasakan Ari serta Liam. Kedua pasangan yang sebenarnya memiliki sifat yang berbeda serta perbedaan umur yang cukup jauh. Ari, 23 tahun dan Liam 28 tahun. Tapi itu tidak cukup membuat Liam menghentikan niatnya melamar Ari. Bak cerita telenovela Liam terus mengejar Ari. Sampai akhirnya gadis itu menyerah, menerima lamaran yang diberikan Liam. Mereka mengadakan pernikahan yang hanya dihadiri beberapa kerabat saja. Liam bahkan menikahi Ari tanpa mengenal marga wanita itu sama sekali, dan semua berakhir bahagia? Benarkah? Tidak. Dalam kamus Ari, kebahagiaan itu hanya semu. Tidak kekal, semua senyum manis, sikap lemah lembut yang Ia berikan pada Liam hanya sebuah akting belaka. Menikah dengan laki-laki itu selama hampir setahun lebih. Mengenal  Liam dengan baik. Tapi dia justru menyembunyikan semua hal tentangnya. Sifat, perangai, pekerjaan asli. Bahkan- Keluarga yang dimilikinya- Ya, selama ini Ari berbohong pada Liam. Mengatakan kalau dirinya hanya seorang anak dari panti asuhan yang sama sekali tidak memiliki keluarga. Ayah serta ibunya meninggal dalam kecelakaan mobil saat berpergian tanpa dirinya. Meninggalkan gadis mungil itu di depan panti asuhan dalam keadaan tanpa tahu nama ataupun marga keluarganya. Hanya Ari saja. Pernikahan yang diadakan secara tertutup, hanya beberapa undangan saja yang boleh datang. Siapa kira, kalau semua rencananyam berhasil dengan lancar. Liam percaya begitu saja, laki-laki itu bahkan sempat menangis mengeluarkan ingus saking terharu. Memeluk tubuh Ari erat, dan mengatakan kalimat yang sangat manis padanya- 'Aku akan menjaga, dan mencintaimu selamanya Nona Abhivandya.' Satu kalimat singkat namun mampu membuat Ari menangis tulus dari dasar hati. Pikirannya hancur, tidak teratur, bimbang, dan panik. Menangis terharu dan takut- Takut kalau nanti Liam akan tahu tentang kebenaran dirinya. Menjadi seorang wanita pembunuh bermarga Mahesa, menyembunyikan topeng dirinya selama ini, dia bukanlah seorang wanita lemah lembut seperti yang dikira oleh suaminya selama ini. . . . Memarkirkan mobil milik di sebuah gudang tak terpakai. Cukup dekat dari tempat Ia tinggal, dan suasana yang aman membuat Ari yakin kalau di sini tidak akan ada orang yang tahu tentang keberadaan mobilnya. Keluar dari dalam mobil. Menyembunyikan wig di dalam sana serta tak lupa melepaskan lensa kontaknya dengan hati-hati, Ari menghela napas panjang, satu hari terlewatkan seperti biasa. Membunuh dan membunuh. Ia menepuk kedua pipi pelan, mencoba membentuk kembali raut wajah serta senyuman yang biasa diperlihatkan pada Liam. "Aku harus memikirkannya sekali lagi," Mengangguk kecil, dalam hati Ari merasa senang. Dapat melihat wajah suaminya kembali, lelah Ari terasa hilang begitu saja saat melihat cengiran laki-laki itu. . . . Pintu berwarna coklat itu terbuka, menampilkan ruangan yang tertata rapi di sana. Dengan sebuah vas bunga yang diletakkan pada lemari kecil khusus menyimpan alas kaki. Melepaskan sepatunya, Ari memperhatikan tempat itu sekali lagi. Lampu yang sebagian tidak dinyalakan sudah menjadi bukti kalau suaminya belum kembali. Seperti perkiraan Ari tadi. Ia mendesah lega, perlahan berjalan memasuki ruangan lebih dalam lagi. Menuju ruang tamu yang tak jauh dari sana, menghidupkan seluruh lampu dan menyampirkan tas yang dibawa sejak tadi pada sofa. Betapa lelah tubuh wanita itu sekarang, akibat banyak bergerak saat melakukan pembunuhan tadi. Tidak mudah, tentu saja. Mengingat bagaimana tubuh sekelompok laki-laki yang menjadi sasaran itu sangat-lah berbanding jauh dengan tubuhnya. Ditambah lagi mereka mafia yang biasa bertarung, tentu saja menguras kekuatan Ari lebih banyak. Ingin berbaring dan tidur untuk beberapa saat, namun segera Ari tepis. Ia harus menyiapkan makan malam untuk Liam, jika sang suami mendapati dirinya tengah tertidur dengan tubuh lelah. Pasti pikiran-pikiran aneh menyusup di otak laki-laki itu. Mengingat dirinya hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga, wanita yang diam, dan melakukan pekerjaan rumah tidak mungkin akan terlihat se-lelah itu ‘kan? Berpura-pura kuat adalah hal yang harus dilakukannya setiap hari, "Hah, aku harus cepat." Mengerang pelan, Ari kembali melangkahkan kakinya menuju dapur. Dengan menu-menu makanan yang sudah tercatat di otaknya. . . . Mencuci sayuran, memotong dan memilah bahan makanan yang ingin dipakai. Pikiran wanita itu masihnya terpaku pada satu titik. Manik ambernya menatap kosong sembari memotong sayur, sama sekali tidak memikirkan kalau jemarinya bisa saja terluka. Suara potongan terus terdengar, mengabaikan air hangat yang sudah mendidih di sebelahnya. Pandangan Ari menunduk, memotong pelan wortel. Entah kenapa dia sama sekali tidak ada niat untuk membuat apapun hari ini. Sang ayah sudah sukses membuat moodnya hancur. 'Apa yang harus kulakukan sekarang,' Tangannya semakin bergerak cepat, keringat dingin perlahan turun dari pelipis. Ari bingung, otaknya seperti berperang, saling melempar argument. . . . Bunuh Liam demi ayahmu! Kau ini seorang pembunuh handal, hanya membunuh satu orang tidak akan mengubah apa-apa! Jangan! Kau mencintai laki-laki itu, ingatlah kalau dia yang selama ini menerimamu apa adanya! Aku yakin kalau kau mau mengatakan yang sebenarnya, dia akan mengerti! Karena itu jangan membunuh orang yang kau cintai! Kumohon, Ari! Hah?! Jangan bodoh!! Menerimamu apa adanya? Laki-laki itu sama sekali tidak tahu apa-apa tentangmu!! Bayangkan ekspresinya jika mengetahui pekerjaanmu yang sebenarnya! Kau hanya seorang pembunuh bayaran yang keji!! Bunuh! Jangan! Bunuh! Jangan! . . . Pikirannya saling bertarung, memilih mana yang seharusnya Ari pilih. Membunuh Liam atau membiarkan laki-laki itu tetap hidup! 'Hentikan, aku tidak tahu harus melakukan apa!' Memejamkan manik, hatinya yang dingin perlahan meleleh. Sikap Ari yang tadi terlihat tenang, kini perlahan-lahan gusar kembali. Raut wajah wanita itu berubah. Genggaman tangannya mengerat, potongan pada sayur semakin cepat. Tidak bisa berpikir jernih. Seolah terhasut. ‘Liam, apa yang harus kulakukan-' Mengucapkan nama laki-laki itu terus menerus. Pikiran Ari mulai tidak memperhatikan sekitar lagi. Melayang entah kemana. Tubuhnya gemetar. Apa yang terjadi padanya? Padahal membunuh sudah menjadi pekerjaan Ari sehari-hari. Apa yang Ia takutkan?! Membunuh tidak bisa membuat wanita itu gentar, Ari sudah pernah merasakannya sejak dulu. Jadi untuk apa takut?! Untuk apa Ia harus takut membunuh satu orang saja!! Pembunuh professional sepertinya!! Liam. Manik itu membulat, satu tetes keringat perlahan turun, gemetar tubuhnya tidak berhenti. Reflek Ari menegang saat dua buah lengan kekar melingkari pinggang rampingnya. Tangan wanita itu turun cepat, hendak mengambil sebuah pistol yang sudah disembunyikan dibalik rok panjang miliknya. Cepat, dan tanpa sadar. Sebelum aroma citrus jeruk menelisik masuk ke dalam penciumannya serta suara baritone yang mengalun lembut- "Aku pulang, Ari~" Tubuh itu berhenti bergerak. Pergerakan tangannya terhenti seketika. Manik dan posisi tubuh yang tadi bersiaga, langsung lemas begitu saja. Liam, itu suara suaminya, memeluk pinggang erat, menghembuskan napas disela-sela leher. Membuat sensasi tegang yang Ari rasakan tadi perlahan meleleh begitu saja. Napas berubah tak teratur, gemetar tubuhnya kembali lagi. Mengingat perkataan ayahnya tadi. Ari takut untuk membalikkan tubuh. Bibirnya yang kaku berusaha mengucapkan salam, "Se-selamat datang, Liam," ucapnya setengah gugup, dan takut. Hembusan napas itu masih terasa, perlahan sebuah dagu menyandar di pundaknya, "Hm, kau memasak apa hari ini? Sepertinya enak sekali." Tawa kecil, dan ciuman lembut mendarat di pipi Ari. "A-aku-" Dia masih belum bisa menyesuaikan diri, topeng itu hampir retak. Apa yang harus Ia lakukan?! Ari tidak mau penyamarannya terbongkar secepat ini. Tidak mau! Terlalu berkonsentrasi, wanita itu sama sekali tidak sadar kalau sedari tadi dirinya masih memotong sayur-sayuran, alhasil jemarinya terkena irisan pisau membuat darah perlahan mengalir dari sana. "Ugh-" Mengerang sakit, reflek Ia menarik tangannya, membiarkan pisau di hadapannya terjatuh ke lantai. Wanita itu hendak menghentikan tetesan darah yang jatuh ke lantai dengan menyesapnya, "Astaga, apa yang kau pikirkan, Ari?" Tangan kekar Liam menarik tangannya lembut. Menyesap jemari terluka tadi pelan. Kedua manik coklat itu menatap khawatir, memperhatikan gerak-gerik istrinya yang terlihat aneh. Ari yang cekatan dalam memasak bisa terluka, jawaban yang tepat untuk itu semua pasti karena istrinya melamun sejak tadi. "Ti-tidak ada. A-aku hanya kaget saja." Mencoba tersenyum kecil, ringisan keluar dari bibirnya. Seakan tidak percaya, Liam menatap penasaran, "Benarkah? Kulihat tadi kau melamun. Kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, katakan saja padaku." Menggenggam jemari istrinya pelan, Liam perlahan mematikan seluruh kompor yang masih hidup. Ari menggeleng cepat, "Aku baik-baik saja. Kau mandi saja dulu. Aku akan menyelesaikan ini dulu," Sebelum sempat melanjutkan kalimatnya, laki-laki itu ikut menggeleng. "Hari ini biar aku yang memasak, tanganmu masih terluka. Jadi kau mandi saja, dan bersiap-siap makan." Mengeluarkan cengiran rubahnya, Liam langsung mengajak Ari ke ruang tamu. Mendudukan wanita itu, dan berjalan mengambil sekotak obat-obatan. Sedangkan Ari, Ia menunduk dalam. Mengigit bibir bawahnya keras. Topeng manis itu hampir lepas begitu saja, sakit, perih. Ari tidak ingin membunuh Liam. Dia tidak mau- Tapi kalau Ia tidak membunuh Liam, wanita ini takut jika sang ayah tahu dan mengirim orang lain untuk melakukannya. Air mata yang ditahan sejak tadi, merembak begitu saja. Ini berbeda dari pembunuhan yang sering Ia lakukan. Sangat berbeda, ayahnya sama sekali tidak tahu kalau target mereka selanjutnya adalah suami Ari sendiri. Ari takut- Tubuh wanita itu gemetar, kini diiringi isakan kecil. Membiarkan jemarinya mengeluarkan darah. Ari reflek memeluk tubuh sendiri. "Apa yang harus kulakukan?" Menangis lirih, berusaha meredam air mata serta suaranya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN