4. Yang penting halal

1541 Kata
"Ada tambahan lagi?" Kedua pasangan di hadapannya menggeleng dan mengembalikan buku menu. Arafi tersenyum dan menyambut buku menu itu kemudian pamit untuk menyiapkan pesanan. Ia berjalan ke arah counter dan menyerahkan catatan pesanan yang tadi ia dapat dari salah satu pelanggan. Temannya menginput pesanan ke dalam tablet yang sudah langsung terhubung ke bagian dapur. "Raf, istirahat dulu sana. Dari tadi belum istirahat kan?" Wulan menghampiri Arafi yang masih berdiri di depan counter karena tidak ada pengunjung lagi yang harus ia layani. Arafi tersenyum, "Nanti aja lah sekalian, bentar lagi juga ganti shift," jawabnya. Wulan hanya menggelengkan kepalanya pelan. Lebih dari satu tahun tidak bertemu dan lelaki satu ini masih saja tidak berubah. Tetap ulet dan pekerja keras sehingga dulu dia menjadi anak kesayangan pemilik caffe ini. "Temen-temen yang lain udah pada makan loh, kamu kok malah engga makan dari pagi tadi?" Wulan masih berusaha membujuk pria itu agar mau ke belakang dan menyempatkan makan. "Nanti aja, itu ada yang datang lagi," kata Rafi lalu berjalan ke arah meja yang baru saja ditempati dua orang. Ia sudah bersiap melempar senyum formal saat kemudian menyadari bahwa yang datang adalah dua orang yang seharusnya tidak ia temui. "Waw, siapa ini? Bukankah ini ketua BEM kesayangan semua orang?" Arafi berusaha untuk tidak bereaksi berlebihan ketika mendengar ucapan sarkas dari pria di hadapannya. "Vin, jangan gitu dong! Kita kesini kan buat makan," tegur si wanita yang datang bersamanya. Vindran menoleh dengan tatapan menyelidik pada kekasihnya itu. "Apa nih? Kamu belain dia? Jangan-jangan kamu masih suka ya sama dia? Sama cowok yang nolak kamu di depan banyak orang?" Arafi rasanya ingin segera pergi dari tempat ini, tapi dia sedang bekerja dan harus tetap melayani siapapun tamu yang datang. Maka yang ia lakukan hanya tersenyum dan memberikan buku menu pada pasangan yang tampak bersitegang di depannya itu. "Silahkan, mau pesan apa?" tanyanya ramah. Cleo menatap iba kepada Arafi yang masih berusaha melayani mereka dengan baik meskipun Vindran sudah bersikap buruk padanya. "Kami mau pesan menu yang paling mahal di sini," Vindran berujar dengan percaya diri, senyum miringnya tampak sangat merendahkan dimata Arafi. Arafi mengangguk, mengambil kembali buku menu dari atas meja dan hendak berbalik saat suara Vindran kembali terdengar. "Apa gunanya lulusan terbaik dan juga idola semua cewek di kampus kalau ujung-ujungnya cuma jadi pelayan cafe?" sindirnya. "Vin, kalau kamu masih mau kayak gitu, lebih baik kita pergi!" ancam Cleo. Vindran menatap tajam ke arah kekasihnya. "Sampai sini kamu masih lebih belain dia daripada aku?" tanyanya tak suka. Cleo menatap tak percaya pada pria yang sudah menjadi kekasihnya satu tahun ini. "Jangan ngada-ngada, aku cuma engga mau kamu bikin keributan disini!" bantahnya tegas. Vindran berdecih pelan, dia baru akan menyanggah ucapan Cleo saat tiba-tiba Arafi kembali berbalik dan mendekat ke arah meja yang ditempatinya. "Soal gue yang lulusan terbaik atupun idola cewek di kampus seperti yang lo bilang, itu akan tetap seperti itu sekalipun gue cuma kerja jadi pelayan cafe," tandasnya. Arafi tersenyum tipis saat mendapati wajah terkejut Cleo, mungkin gadis itu tidak menyangka bahwa Arafi akan melawan ucapan Vindran. "Dan lagi, apa yang salah dengan pelayan cafe? Yang penting halal!" imbuhnya. Kemudian ia menunduk sedikit dan berlalu dari meja itu. Vindran mengumpat keras hingga beberapa orang berpaling menatapnya. Sedangkan Cleo langsung mengeluarkan sejumlah uang dari dalam tas dan menaruhnya di atas meja sebelum akhirnya meninggalkan Vindran yang semakin emosi di tempatnya. ** "Kamu bawa motor?" Arafi mengangguk, "Iya. Kamu juga bawa?" tanyanya balik. Wulan mengangguk, "Kalau tahu kamu bakal bawa motor sih aku engga akan bawa, biar kamu nganterin aku pulang," sesalnya. Arafi tertawa kecil mendengar ucapan teman kerjanya itu. "Yaudah sana cepat pulang, keburu terlalu malam," suruhnya. Wulan tersenyum lebar, ia menoleh ke belakang dan menyadari bahwa cafe tempat mereka bekerja semakin malam semakin ramai. Beruntung dia dan Arafi mendapatkan shift pagi. "Tadi itu yang marah-marah temen kamu ya?" Bukannya menuruti ucapan Arafi, Wulan malah melemparkan pertanyaan lain. Arafi langsung teringat dengan Vindran saat pertanyaan itu diterimanya. "Iya, satu fakultas," jawabnya. Wulan mendengkus dengan wajah kesal yang ketara. "Mentang-mentang orang kaya bisa seenaknya ngerendahin orang lain. Aku paling engga suka tipe manusia kayak gitu," sungutnya. Arafi tersenyum, "Dia dari dulu memang begitu. Jadi saya sendiri udah biasa dan engga aneh, apalagi dia nemuin satu hal dalam diri saya yang menurutnya lebih rendah dari dia. Ya..pekerjaan saya ini," ujarnya dengan mengedikan bahu. Wulan menatap tidak setuju pada pria di depannya ini. "Seperti yang kamu bilang tadi di dalam, apa yang salah dengan jadi pelayan cafe? Aku udah lama jadi pelayan dan bisa beli barang-barang yang engga kalah dari orang lain. Kan kata kamu, yang penting halal," sanggahnya. Arafi tersenyum tipis. Dia mengatakan itu di depan Vindran bukan karena memang menganggap baik pekerjaannya yang sekarang, itu semua ia lakukan semata-mata untuk menyelamatkan harga dirinya di depan Vindran yang sejak dulu selalu mencari-cari kekurangannya. Bagaimanapun, dia masih merasak kecewa karena dengan predikat mahasiswa terbaik yang dimilikinya ia masih belum mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Sedangkan tadi Vindran datang ke cafe nya dengan mengenakan setelan jas mewah yang Arafi yakin harganya tidak bisa ia bayangkan padahal dulu semasa kuliah Vindran hanya sibuk mengejar Cleo tanpa mau benar-benar belajar. Ah! Lagi-lagi kebiasaan buruknya yang iri pada kehidupan orang lain itu kembali. "Yaudah kalau gitu, saya pulang duluan ya, Lan. Engga enak kalau kemalaman," pamit Arafi. Dia mulai menyalakan mesin motornya tapi belum berjalan pergi. "Iya, hati-hati di jalan ya, Raf! Sampai ketemu besok," ujar Wulan. Gadis itu tersenyum lebar sebelum akhirnya naik ke atas motornya sendiri. Arafi mengangguk dan melambaikan tangan sekilas sebelum benar-benar berpisah dari Wulan. Ia bukan tidak mengerti, dari dulu Wulan selalu terang-terangan memberikannya perhatian dan pujian, hal yang sudah Arafi paham bahwa wanita itu memiliki harapan lebih padanya. Namun sejak dulu, Arafi tidak pernah membiarkan siapapun masuk ke dalam hatinya. Karena bagi Arafi, hanya ada satu wanita yang memilikinya sejak dulu. Wanita yang semalam baru saja datang ke mimpinya. Orin Fauziah Kallan. ** "Udah pulang, Raf?" Arafi berjalan menghampiri kedua kakaknya yang ada di meja makan. "Iya, Bang. Kan Rafi shift pagi," katanya sambil duduk. "Rafi makan dulu ya, Bang, laper biar habis ini bisa langsung mandi terus tidur," ijinnya Duta mengangguk, "Iya, mending makan dulu baru abis itu mandi," setuju nya. Andin tersenyum dan mengambilkan sepiring nasi untuk suaminya kemudian baru ia ikut mengambil untuk dirinya sendiri. "Pasti berat ya baru mulai kerja lagi?" tanya Andin. Arafi yang sudah mulai mengunyah makanannya mengangguk. "Lumayan, Teh. Karena udah kelamaan nganggur, Rafi jadi gampang cape kerja berat lagi," keluhnya. Duta menatap ke arah adik sepupunya itu. Ia juga sebenarnya tidak tega membiarkan Arafi melakukan pekerjaan kasar dan berat seperti menjadi pelayan, tapi dia sendiri tidak bisa membantu apapun apalagi untuk mencarikan Arafi kerjaan. "Sabar dulu, Raf. Sambil jalan sambil terus kamu cari kerja yang lebih baik, semua pasti ada hikmahnya," nasihat Duta. Arafi tersenyum tipis. Ia bisa saja sabar jika dirinya memiliki simpanan tabungan yang cukup untuk bisa menyumbang biaya sehari-hari di rumah ini. Tapi tabungannya hanya tinggal sedikit dan lagi gajinya di cafe tidak seberapa, Arafi tidak akan bisa menyumbang banyak untuk menopang biaya hidup di rumah ini. "Raf, coba kamu mulai sholat lagi. Dimulai dari yang wajib dulu, engga apa-apa kalau masih bolong-bolong. Yang penting niat kamu," ujar Andin. Dia berujar dengan sangat hati-hati karena tidak ingin membuat suasana hati Arafi menjadi buruk. Tapi ia tahu keputusannya untuk berbicara begitu adalah salah, karena usah dia mengatakan itu Arafi mulai terdiam dan malah tidak mengatakan apapun lagi. Bahkan suaminya pun melemparkan tatapan peringatan padanya. "Maaf ya, kalau Teteh sok tahu dan sok nasehatin kamu," ucap Andin. Dia meminta maaf bukan karena nasihat yang diberikannya tadi, karena ia merasa apa yang dilakukannya sudah benar. Hanya saja dia meminta maaf karena sudah membuat Arafi tampak tidak nyaman dengan ucapannya, dan juga karena tidak ingin menerima kemarahan Duta. Karena dia dan suaminya sama-sama tahu bahwa Arafi sudah tidak pernah lagi melakukan ibadan apapun semenjak lima tahun lalu. "Engga apa-apa, Teh," jawab Rafi sambil tersenyum. Ia lalu bangun dari duduknya dan mengambil tas yang ia letakan di samping kursi. "Rafi udah selesai makan, kalau gitu Rafi ke dalam dulu ya? Mau mandi," pamitnya. Andin dan Duta mengangguk kecil. Arafi kembali melempar senyum sebelum ia bergerak menuju kamarnya. Harusnya ia langsung bergegas masuk ke dalam kamar mandi dan mengguyur kepalanya hingga semua kalut yang mendera nya hilang, tapi tubuhnya justru bergerak sendiri dengan merebahkan diri di atas kasur dengan menatap awang-awang. Sholat? Kenapa Arafi tidak tersentuh sama sekali untuk melakukannya? Apakah kini dirinya sudah benar-benar tidak punya hati? Apakah keimanannya sewaktu kecil sudah mati? Ah biarkan saja! Memangnya apa yang berubah jika beribadah? Dulu saat dirinya masih beribadah pun, semua orang yang berarti bagi hidupnya hilang, meninggalkan dirinya sendiri. Arafi mengerang pelan. Tubuhnya serasa baru saja jatuh dari tebing, lelah dan sakit di mana-mana. Lelah sekali. Sudah lama dia tidak mengerjakan pekerjaan berat seperti ini sehingga kini dirinya merasa sangat lelah. Arafi membatin, bertekad bahwa ini tidak akan berjalan lama. Bahwa secepatnya ia pasti mendapatkan pekerjaan di perusahaan besar dan mendapat gaji juga jabatan yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Ia akan menunjukan pada semua orang yang meremehkannya, bahwa ia tetap Arafi yang populer dengan kecerdasan dan disukai banyak wanita. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN