Chapter 2

1779 Kata
Desa Sawelayang, Tasikmalaya Subuh itu tiba-tiba rumah Ambu ramai. Renata masih mengusap mata ketika pintu dapur diketuk dari luar. Nenek pelit bergigi ompong yang berumah di tepi seberang sungai melemparkan senyuman kepadanya. Ketika rumah nenek itu sepi, Renata dan Euis sering melempari pohon jambunya dengan batu. Tetangga-tetangga perempuan datang satu persatu. Begitu pun saudara-saudara Ambu. Semuanya berkumpul di dapur. Renata tersisih sendiri di sudut. Sebuah boneka Barbie berbaju lusuh tergenggam erat di tangannya. Kakinya copot satu. Ambu berkata belum punya uang membelikan boneka baru. Barbie di tangan Renata pun sebenarnya pemberian teman sekolah Ambu. "Sebentar lagi kamu punya abah baru." Uwa Ijah, kakak sulung Ambu, menghampiri Renata sambil menjinjing kantong plastik berisi bawang merah dan pisau dapur. "Abah?" Renata menelengkan kepala. "Kata Ambu, Abah sudah mati." "Eh, bukan abah yang itu. Ini yang baru. Orangnya tinggi. Ganteng." "Urang mah teu hayang boga abah," Renata merengek sambil beringsut mundur. Ia tidak ingin punya abah. Euis juga punya abah baru dan sering dicubit sampai biru-biru. Uwa Ijah mengibaskan tangan. "Enak tahu punya abah. Nanti Iren bisa punya adik." "Iren nggak mau punya adik!" Renata mulai menjerit. Ia tidak butuh adik. Euis juga punya adik. Saat adiknya nakal, Euis dipukuli ibunya. "Nggak boleh begitu. Iren sudah lima tahun, sudah pantas punya adik. Iren juga bakal dikasih uang jajan," Uwa Ijah berkeras membujuk Renata. Biasanya dia pemarah. Kali ini berkali-kali tersenyum ramah. "Ambu juga ngasih uang jajan." "Tapi kalau Iren punya abah, uang jajannya lebih banyak daripada yang diberi Ambu. Tuh, lihat si Asep. Dia punya abah. Uang jajannya lima ratus!" "Lima ratus?" Renata mengangkat kelima jarinya. Soal uang ia bisa menghitung, meskipun belum bisa membaca. Matanya seketika bersinar. "Beneran lima ratus, Wak?" "Iya, lima ratus." "Hore!" Renata bersorak. Setiap pagi Ambu memberinya seratus rupiah. Terkadang dua ratus kalau ia merengek. Renata membeli permen atau es batu rasa stroberi agar tidak cepat habis saat dimakan. Malam itu Renata menginap di rumah Uwa Ijah. Uwa dan Paman berkata ia tidak boleh tidur bersama Ambu dulu. Ambu tidur bersama ayah baru. Renata merajuk. Bagaimana matanya bisa terpejam tanpa Ambu? Uwa Ijah memberinya sekeping uang lima ratus rupiah. "Ini untuk jajanmu. Pokoknya teh malam ini kamu menginap di sini. Tidur bersama kakak-kakakmu. Besok kamu bisa tidur lagi dengan Ambu. Ingat, jangan nakal. Buat Ambu senang, jangan buat Ambu susah." Renata mengangguk. Susah payah dipejamkannya mata malam itu. Keesokan paginya, ia berlari pulang ke rumah Ambu. Didorongnya pintu ruangan tengah. Seorang laki-laki keluar dari kamar tidur Ambu. Renata langsung manyun. Laki-laki itu tersenyum. "Iren?" Renata ragu-ragu mengangguk. Laki-laki itu belum pernah ia lihat sebelumnya. Mungkin ini yang kata Uwa Ijah dari desa seberang. Tubuhnya tinggi, kulitnya kuning, matanya tajam. Di bawah hidungnya ada kumis tipis. Ujungnya seperti senyum, tetapi Renata malah takut. Orang berkumis biasanya galak, seperti abah Euis. Ambu muncul di belakang. Rambutnya basah. Padahal pagi itu dingin sekali. Renata saja kabur saat disuruh mandi. Nini tergopoh-gopoh menghampiri Renata. "Ayo, cium tangan abahmu." Renata pelan-pelan mengulurkan tangan, lalu mencium tangan lelaki itu. Baunya seperti asap, persis bau tangan Aki. Selepas Nini pergi, lelaki itu merogoh sakunya, mengeluarkan dua keping uang logam dan mengulurkannya ke tangan Renata. "Untukmu." "Hatur nuhun, Abah." Mata gadis kecil itu membiaskan cahaya. Dua keping uang lima ratus disimpannya dalam genggaman. Dengan berlari-lari kecil ia pergi ke warung Bu Iis, satu-satunya warung di desa itu. Dibelinya permen rasa stroberi, tetapi uangnya masih tersisa banyak sekali. Senyuman Renata terkembang lagi. Kalau begini ceritanya, ia bersedia punya ayah baru setiap hari. *** Seumur hidupnya, Renata beberapa kali patah hati karena cinta. Ada cinta monyet, dan ada cinta kala dewasa. Patah hati pertama dimulai saat SMA—sebenarnya ada patah hati lain sebelum itu. Ia berpacaran dengan kawan sebangkunya, semata-mata demi membuat sahabatnya, Alarik, cemburu. Mereka putus satu minggu setelah jadian karena niat Renata keburu ketahuan. Perasaan Renata pada Alarik bertepuk sebelah tangan. Ia tidak berani menyatakan cinta. Pun, Alarik tidak berani menyatakan cinta kepada gebetannya bahkan hingga bertahun-tahun kemudian. Pengecut memang! Pacar kedua, rekan kerja Renata di swalayan. Hubungan itu berakhir dalam dua bulan. Sang lelaki menelepon Renata dalam keadaan mabuk miras. Keesokan harinya lelaki itu merengek memohon kesempatan dan Renata membalasnya dengan surat resign. Pacar ketiga, seorang laki-laki alim dan sopan bukan kepalang. Pada awalnya Renata senang. Mereka kandas jua sebab Renata jengah, terus-menerus dikirimi pesan berisikan potongan ayat dan nukilan ceramah. Pacar keempat bertahan cukup lama. Satu tahun. Akhirnya kandas jua. Lelaki itu ketahuan berjudi di meja biliar. Bodoh sekali! Tidakkah dia tahu, judi itu cara memiskinkan diri sendiri lewat jalur akselerasi? Berkali-kali bertualang cinta menjajaki laki-laki mana yang pantas dinikahinya, Renata selalu menetapkan standar tinggi. Mana tabiat yang bisa ia toleransi, dan mana yang tidak. Potret laki-laki b******n sudah terpatri di benaknya semenjak kecil. Ada yang main perempuan, main judi, mabuk miras, pemalas, tukang tempeleng, anggota ormas, dan mokondo. Lengkap sudah. Rata-rata lelaki dari keturunan Nini—anak dan cucu—adalah lelaki baik, bertanggung jawab, penyayang keluarga. Apesnya, para b******n yang disebut Renata adalah menantu-menantu dan cucu menantu Nini, termasuk suami-suami Ambu. Entah apa sebabnya. Sewaktu remaja Renata berpikir, mungkin Nini pernah melakukan dosa besar yang tidak termaafkan hingga sebagian besar keturunan perempuannya bernasib sial. Standar Renata berhenti di sosok Anggito. Pria itu kandidat nyaris sempurna. Dia tidak romantis, tetapi pekerja keras. Sopan, tidak banyak ulah. Suka berbicara, juga hebat dalam mendengar. Kala gajian, Anggito wajib mengajak Renata makan di luar. Meskipun bekerja sebagai salah satu ASN di kementerian, Anggito tidak malu mengajak Renata berkencan. Latar belakang mereka timpang. Renata sadar itu. Tetapi, menikah dengan Anggito mungkin bisa menaikkan derajat harga dirinya yang tidak seberapa. Melakukannya dengan tangan sendiri ternyata amat sulit. "Elo kenapa, Ren?" Renata terperanjat, lalu buru-buru membuang muka menyembunyikan matanya yang bengkak. Ia melirik angka sebelas pada jam dinding. "Baru pulang jam segini, Mbak?" balasnya kepada Ines. Saking sibuknya melamun, ia tidak sadar Ines sudah pulang. "Lo tahu sendiri jam gue nyari duit nggak beraturan. Kalau ada yang booking jam dua belas malam pun gue jabanin. Yang penting cuan." "Jangan malam-malam amat, Mbak. Di luar banyak begal." "Apa yang mau dibegal dari gue, Ren?" Ines menyeringai. "Harga diri aja nggak punya." Ines menaikkan kecepatan kipas angin, lalu melucuti pakaiannya di hadapan Renata dan hanya menyisakan bra serta celana dalam. Sebuah pemandangan biasa bagi Renata karena Ines puluhan kali melakukannya sejak mereka berbagi kamar. Sampai saat ini Renata masih tak bisa berhenti mengagumi sintalnya bentuk tubuh perempuan itu. "Udah makan lo?" Renata mengangguk samar. Tak sebutir nasi pun singgah ke perutnya sejak tadi siang. "Mbak gimana?" "Gue dapat pelanggan penjual ketoprak." "Dia bawain Mbak ketoprak?" Terkadang Renata masih tak habis pikir dengan tingkah random para pelanggan Ines. "Elo kenapa?" Ines melempar tubuhnya di atas kasur Renata. Matanya menangkap kantong plastik di samping bantal. Ines membukanya. "Dibuang?" "Dijual. Mbak mau?" "Selera pakaian lo bukan selera gue." Ines menutup kantong itu kembali. "Kali aja Mbak suka." Ines mengibaskan tangan. "Muka lo kusut amat. Elo kenapa? Mau cerita sama gue?" Bahu Renata mengedik. Air matanya sudah habis menangis berjam-jam. Ia tidak benar-benar memiliki teman dekat. Selain Ines, ada Nuha, teman kerjanya di swalayan. "Saya dan Gito putus, Mbak." Ines seketika terduduk. "Kenapa? Dia ketahuan BO? Sumpah, Ren! Bukan sama gue!" "Kenapa Mbak kepikiran dia BO?" Renata berjengit. "Jantan zaman sekarang kebanyakan terlibat di dunia l***e. Makanya dalam sehari gue bisa dapat empat atau lima pelanggan." Renata tidak punya kuasa menghakimi pekerjaan Ines. Di awal mereka hidup sekamar, Ines pernah menyemprot Renata karena Renata menatap sinis kepadanya. Lama-lama keduanya saling memaklumi saja. Ia menggeleng lemah. "Bukan itu." "Terus, kenapa?" "Dia kepingin diperkenalkan pada keluarga saya, Mbak." "Baguslah. Itu artinya dia serius sama lo. Masalahnya di mana?" "Saya yang nggak mau, Mbak." Renata meringis kala Ines menepuk bahunya kuat-kuat. "Sakit, Mbak!" "Nggak waras lo, ya? Apa lagi yang lo cari? Hidup lo nggak bakalan susah lagi setelah nikah sama Gito!" oceh Ines histeris. "Setelah dikenalin pun, dia bakalan mundur sendiri, kok. Jadi, lebih baik enggak sekalian, kan?" Ines terdiam sejenak. "Karena nyokap lo?" "Setelah saya pikir-pikir, memang bukan salahnya Gito. Tapi salah saya." Usia mereka sama-sama 28. Wajar Anggito sudah kepingin berumah tangga. "Ya, memang. Elo g****k! Lo takut nyokap lo mengacau?" "Rumah tangga kami bisa rumit gara-gara Ambu, Mbak." "Bukannya keluarga Gito baik banget sama lo, ya?" "Ya, sih." Renata beberapa kali mengobrol langsung dengan Tante Rasmi, ibu Anggito. Dengan kepala yang terus menunduk Renata melucuti kekurangan dirinya. Keluarganya hidup miskin di salah satu desa di Tasikmalaya. Sementara Anggito orang berpunya. Ibunya guru dan ayahnya ASN di tingkat kota. Mbak Kia, kakak Anggito, ASN di kementerian PUPR. Mereka berasal dari kelas yang berbeda. Saat itu, Tante Rasmi menerima Renata dengan baik. Tante Rasmi berkali-kali memuji Renata seorang pekerja keras. Namun, sesungguhnya rasa nyaman hanya singgah sebentar. Dia menyelinap pergi tanpa berpamitan. Sebelum kau siap kehilangan. "Kalau gue jadi Gito, gue bakalan rugi banget kehilangan lo, Ren," kata Ines. Layaknya kebanyakan mojang Priangan, Renata memiliki kulit bersih kuning langsat, bebas dari jerawat. Renata hanya memakai pembersih murah, tanpa harus mengikuti step demi step perawatan mahal. Hidungnya mungil begitupun bibirnya. Kekurangannya hanyalah bulu mata yang pendek dan lurus menaungi mata besar dan indah. Ines pernah bertandang ke kampung Renata lebaran dua tahun yang lalu dan memaklumi dari mana keelokan wajah Renata diwariskan. Ambu Renata mirip artis ternama Desy Ratnasari. "Elo cantik. Gue iri sama lo. Andaikan gue lesbian, udah gue gaet elo dari kapan hari." Renata tertawa hambar. Cantik? Renata tak percaya wajahnya cantik. Lagipula, apa untungnya punya wajah cantik? "Ren, lo tahu masalah lo, tuh, sebenarnya di mana?" tanya Ines. "Elo memandang terlalu jauh ke depan." "Bukannya hidup memang demikian?" "Kalau lo memandang terlalu jauh ke depan, kaki lo bakalan kesandung, Ren. Hadapi saja yang ada hari ini. Jangan melongok terlalu jauh. Belum tentu juga ibu lo bakalan mengacau rumah tangga lo dengan Gito nanti." Renata menggeleng. "Mbak nggak tahu gimana Ambu." "Ya, memang gue nggak tahu. Waktu ketemu dulu lo bilang dia lagi waras. Tapi, lo memandang diri lo terlalu rendah. Hidup ini dibawa santai saja, Ren." "Mana bisa santai, Mbak? Nanti saya nggak bisa makan." "Mau kerja kayak gue? Duitnya gampang." "Nggak!" Renata mendelik. Ines tertawa keras. "Sekali lo masuk dunia hitam, keluarnya susah. Jadi nggak usah coba-coba." "Makanya, Mbak nggak usah ngajakin." "Terus, tujuan hidup lo sekarang apa?" Renata termenung sesaat, lalu bahunya mengedik. Kapan terakhir kali ia punya tujuan hidup untuk dirinya sendiri? Kapan terakhir kali ia bermimpi? Bahkan ia bangun setiap pagi bukan karena ingin, tetapi karena wajib. "Nggak tahu, Mbak. Hidup saya berputar di sekadar bisa makan dan bayar utang-utangnya Ambu saja." "Sana, telpon Gito. Bilang elo menyesal." "Saya nggak mau, Mbak." Untuk apa Renata menelepon Anggito? Kepingin berbaikan? Renata malu. Dan rasa malu itu mencengkeram jiwanya lebih dalam dari yang ia tahu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN