Chapter 4

1648 Kata
Hari pertama sekolah, Renata diantar oleh Aki. Ambu sedang hamil dan kesusahan berjalan. Perutnya besar, isinya adik bayi. Renata memakai baju seragam baru, merah dan putih. Baunya persis bau baju lebaran baru. Renata tidak menyukai baunya. Tetapi sesekali ia menciumnya untuk memastikan baju itu benar-benar baru. Aki yang membelinya karena Ambu tidak punya uang. Matanya bergerak liar mengikuti anak-anak berkejaran bermain kasti di halaman. Ada yang memukul bola dengan tongkat, dan ada yang menangkap bola. Renata disuruh menunggu karena Aki sedang mendaftarkan nama Renata di kantor kepala sekolah. Dentang lonceng berbunyi. Anak-anak berhamburan masuk kelas. Aki menyentuh bahu Renata. "Aki balik heula, nya. Kerbau kita belum makan. Kamu bisa pulang sorangan, teu?" Aki bertanya. Renata pelan-pelan mengangguk. Benaknya sibuk membayangkan rute yang sudah dilaluinya bersama Aki pagi ini. Seorang guru perempuan membimbing tangannya masuk kelas. Renata disuruh duduk di tengah, di bangku baris nomor dua. Aki melambaikan tangan. Renata melongok menatap punggung tua lelaki itu perlahan menghilang di balik pintu. Hari ini ia memiliki teman-teman baru. Dua belas orang jumlahnya. Ibu guru menulis di depan kelas menggunakan kapur. Teman sebangku Renata perempuan. Dia kurus berambut panjang dikepang dua. Jejak ingus mengering di bawah hidungnya. Lingkungan sekolah Renata benar-benar asing. Baru kali ini Renata menginjakkan kaki di sana. Jumlah ruangannya ada delapan, ditambah satu buah toilet yang kotor dan bau. Di desa Renata juga ada satu Sekolah Dasar. Ia sering bermain petak umpet bersama Euis di halaman sekolah itu. Aki tidak menyekolahkannya di sana. Renata bersekolah di desa lain yang jauhnya dua kali lipat. Kata Aki, rayonnya berbeda. Renata tidak mengerti apa maksudnya. Rumah Renata berada di seberang sungai, di tengah persawahan. Dindingnya kayu, tidak ada catnya. Untuk pergi ke sekolah, ia harus menelusuri pematang sawah, bertemankan lumpur dan alang-alang. Tidak ada jalan beraspal apalagi kendaraan umum. Abu, anjing Renata, akan menemaninya berangkat hingga separuh jalan. Sebenarnya Renata kepingin memakai sepatu dan kaus kaki sejak dari rumah. Namun, sepatunya pasti kotor. Sesekali ia bisa melakukannya ketika padi-padi mulai menguning. Ia menjinjing sepatunya di tangan kiri. Tas di punggungnya bergoyang-goyang. Kaki-kakinya lincah menginjak rumput yang basah oleh embun. Kala musim mengolah sawah datang, Renata mengangkat roknya lebih tinggi atau roknya akan terkena cipratan lumpur. Di saluran air di belakang sekolah ia membilas kakinya, menendang-nendang sebentar, lalu memasang kaus kaki. Di samping sekolah ada sebuah rumah bercat kuning. Di belakang rumah itu ada kebun jambu yang luas. Aneka rupa bentuk buahnya. Saat musim berbunga, pohon jambu diselubungi serbuk berwarna putih. Ada yang buahnya kecil-kecil berwarna merah muda. Ada yang buahnya amat besar dan merah menyala. Renata meneteskan air liur melihatnya. Uang jajannya hanya lima ratus rupiah dan langsung habis ketika ia membeli makanan ringan. Murid-murid lain tidak ada yang berani meminta jambu-jambu itu. Mereka bilang pemiliknya galak. Bila ada buah jambu yang terjatuh keluar pagar, barulah mereka memungutnya. Karena sangat haus, Renata memberanikan diri menghampiri kakek pemilik kebun. Lelaki itu sedang mengais-ngais rumput dengan sabit. "Kek, boleh minta jambunya?" Kakek itu menoleh, lalu menatap Renata cukup lama. "Kamu mau jambu, geulis?" bisiknya. Renata mengangguk. "Nanti, ya. Sepulang sekolah kamu ke sini lagi. Lewat pintu yang di sana. Jangan bawa teman." Dia menunjuk pintu belakang kebun yang terbuat dari kayu, tersembunyi di balik pohon salam. "Kakek beri jambu yang banyak." Renata senang tidak dimarahi. Matanya tertuju pada jambu merah yang buahnya teramat besar. Ia belum pernah memakan jambu seperti itu. Setelah seluruh teman sekelasnya pulang, Renata bergegas pergi ke belakang kebun jambu. Ia mendorong pintu kayu yang ada di sana. Matahari mengintip dari balik dedaunan. Kakek pemilik kebun melongok dan tersenyum. "Sini, ayo sini!" Kakek itu memegang tangan Renata dan menuntunnya ke sebuah pondok. Bermacam barang teronggok di berbagai tempat. Cangkul, sabit, pakaian berkebun, sepatu bot. Ia disuruh duduk di kursi kayu. "Kamu mau jambu yang mana?" Renata menunjuk pohon jambu berbuah merah dan besar. Kakek itu menggeleng. Ia keluar sebentar, kemudian masuk lagi dan menutup pintu. Tangannya mengulurkan jambu berwarna hijau. "Hari ini kamu cuma boleh makan jambu ini. Besok datang lagi ke sini, barulah Kakek akan memberimu jambu yang itu." "Itu sudah matang?" "Sudah. Memang hijau warnanya. Manis." "Terima kasih, Kek." Renata mengulurkan tangannya, lalu mengelap buah jambu dengan roknya. Kakek itu duduk di sebelah Renata, menyibak rambut di tengkuk Renata dan memijat-mijat bahunya. Renata diam saja. Abah sering melakukan hal yang sama. Jambu itu manis dan segar. Renata mengunyahnya dengan tidak sabar. Ketika tangan lelaki tua itu membuka kancing bajunya dan menelusupkan tangan di sela singlet Renata, ia juga diam saja. Abah juga melakukan hal yang sama. Kata Abah, itu tandanya Renata sedang disayang. Ia senang ada yang sayang kepadanya. Renata juga tidak boleh mengatakannya kepada siapa pun agar tidak ada yang cemburu. Entah apa itu arti cemburu. Tangan lelaki tua itu semakin turun. Tatapan Renata tertuju nanar pada buah jambu yang tersisa separuh di tangannya. Tadinya jambu itu manis, tetapi Renata tidak kepingin lagi memakannya. Perutnya terasa aneh, seperti habis makan terlalu cepat. Resletingnya roknya diam-diam terbuka. Renata merapatkan kedua pahanya. Tak tahu kenapa, Renata kepingin cepat pulang. Aki mungkin sudah menunggunya untuk makan siang. Nini bilang hari ini akan memasak sayur kangkung telur puyuh kesukaan Renata. Namun, kakinya tak bisa digerakkan. Terdengar derik suara daun-daun kering diinjak. Semakin lama semakin dekat. Kakek tua itu buru-buru mengancingkan baju Renata, kemudian mengusirnya keluar lewat pintu belakang dan membekalinya dengan jambu dua buah. Setibanya di luar, napas Renata berembus cepat. Dari dalam pondok terdengar kakek tua itu bercakap-cakap dengan perempuan. Bayangan buah jambu berwarna merah menari-nari di kepala. Esok ia akan datang lagi menagih jambu yang dijanjikan kepadanya. *** Suara gaduh ibu-ibu membuyarkan lamunan Renata yang terseret tanpa sengaja ke berbagai peristiwa puluhan tahun silam. Renata terkesiap. Dari segala penjuru, kepala-kepala melongok dari balik jendela dan daun pintu. Jantung Renata berdetak sangat cepat. Renata tak tahu apakah rasa dingin di telapak tangannya berasal dari angin atau dari sesuatu yang baru saja dirampas darinya. Tanpa peringatan. Tanpa hak. Nuha masih menjerit-jerit. Tangannya menunjuk-nunjuk ke sisi timur. "Bejad itu orang! b******k!" umpatnya lantang. "Ada apa, Neng?" Seorang ibu mendekat penasaran. Dua orang balita bersembunyi di balik pantatnya. "Ini, Bu. Barusan ada motor lewat. Yang itu, tuh..." Nuha celingukan menunjuk motor yang sudah menghilang di balik tikungan, "dia—" "Kami hampir dijambret, Bu," sambar Renata sambil meremas tangan Nuha. Perempuan itu melongo menatapnya. Renata menggeleng pelan memberi isyarat. "Apa yang diambil?" "Nggak ada, Bu. Untungnya kami cepat mengelak." "Oh, syukurlah. Wah, udah nggak aman ini kompleks kita. Masa ada jambret masuk?" Suara massa semakin riuh. Ada yang menyarankan ronda, membayar hansip keliling, dan memasang CCTV. "Kalian sempat lihat plat nomornya?" "Nggak sempat, Bu." Renata menarik tangan Nuha keluar dari kerumunan. "Saya permisi dulu, Bu." "Kenapa sih, Teh?" Nuha bertanya penasaran ketika baru menginjakkan kaki di depan rumahnya. Renata meletakkan jari telunjuk di bibirnya. Pintu depan terkuak. Ayah Nuha keluar mengenakan sarung dan singlet putih yang sudah tipis dimakan usia. "Ada apa ribut-ribut di depan, Nu?" Nuha menatap Renata. "Itu ... ada jambret, Pak," Renata menjawab, "kami hampir dijambret." Bapak Nuha terbelalak. "Kalian nggak apa-apa?" "Kami baik-baik aja, Pak." "Syukurlah. Ya sudah, masuk dulu. Bu!" Bapak Nuha memanggil istrinya. "Makanannya sudah siap belum? Anakmu pulang, nih!" "Sebentar, Pak!" Terdengar sahutan dari dalam. "Nanti Bapak temui Pak RT, ya." Bapak Nuha menguak daun pintu lebar-lebar. Mereka menggeluyur ke dapur. Renata berhati-hati agar tidak menyenggol apa pun. Berbagai barang memenuhi hampir setiap sudut yang kosong. Rak-rak dan lemari penuh dijejali piring dan kain. Sebuah televisi menyala di ruang tengah, berhadapan dengan meja kecil tempat Nuha menyetrika pakaian. "Kalian sudah pulang?" Ibu Nuha membawa empat mangkok mie rebus ke atas meja makan. "Gimana kerjaan tadi? Lancar?" Nuha dan Renata mengangguk berbarengan. Tidak ada yang bertanya kepada Renata tentang bagaimana hari-harinya sepulang bekerja. Ia selalu kesepian. Adiknya, Nur, menelepon hanya untuk meminta uang atau mengabarkan Ambu kumat. Sementara Ambu jarang menelepon Renata. Satu kali sebulan mungkin. Sekalinya menelepon, mereka terjebak dalam keheningan kaku, tak tahu harus mengatakan apa selain berbasa-basi. "Sudah makan? Masak apa hari ini?" Kala Ambu kumat, Renata takkan sekali pun mengangkat telepon perempuan itu. "Makan dulu. Mumpung masih panas. Kalau kurang tambahin nasi." Ibu Nuha menunjuk rice cooker. "Ibu dan Bapak makan di luar. Di sini panas." "Terima kasih, Bu." Renata mengangguk. Semangkok Indomie rebus di hadapannya sudah cukup membuat air liurnya menetes. Tangannya masih menggigil. Ia mengepal-ngepalkannya di bawah meja. Kipas angin menjerit-jerit mengembuskan angin yang tidak terasa di kulit. Nuha menepuknya mesinnya kuat-kuat. Baling-balingnya berputar lebih kencang. Punggung ibu Nuha menghilang di balik pintu. Tiba-tiba d**a Renata sesak terkenang Ambu. "Teteh makan mienya jangan kayak gitu," kata Nuha menginterupsi. "Diseruput, Teh. Mienya jangan dipotong-potong, dimakan sampai ujung." "Kenapa memangnya?" "Dalam filosofi Cina, makan mie yang dipotong-potong kayak motong rezeki, Teh. Bikin kita nggak panjang umur." "Saya memang nggak kepingin panjang umur," sahut Renata spontan. "Eh?" Nuha langsung terdongak. Renata tidak membalas tatapan itu. Ia tetap menunduk, menyeruput mie pelan-pelan seperti sedang menghabiskan waktu, bukan sedang mengisi perut. "Ih, si Teteh mah aneh. Kok, kepinginnya cepat mati," Nuha menggerutu. "Panjang umur tapi miskin apa gunanya, Nu?" Renata menjawab getir. "Malah manjang-manjangin penderitaan." "Siapa tahu nanti Teteh jadi orang kaya." "Naik kasta di negeri ini sulit sekali, Nu. Kecuali ada kesempatan buat korupsi." "Jangan sampai korupsi atuh, Teh. Uang haram. Kita-kita aja kesel lihat pejabat masuk TV pakai baju oren, kan?" Renata mengaduk-aduk mienya tanpa menatap Nuha. "Korupsi di sini sudah jadi budaya, Nu. Kita-kita ini kesel melihat pejabat korupsi karena nggak kebagian jatah saja. Coba kita punya kesempatan buat korupsi, masa dilewatkan? Truk minyak goreng terguling saja dijarah warga, kok." "Benar juga, ya?" Nuha menyesap kuah mie. Uap panas mengaburkan pandangannya sejenak. Ia ingin berganti topik, lalu berkata, "Ngomong-ngomong, kenapa Teteh nggak kepikiran melamar jadi model? Teteh, kan, cantik. Badan Teteh juga bagus." Renata terkekeh. "Model apa, Nu? Buku yasin?" "Buset, buku yasin dibawa-bawa. Kayak yang udah kepingin meninggal aja!" Nuha geleng-geleng kepala. Entah dirinya yang selalu berpikiran positif, atau Renata yang terlalu skeptis dan sinis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN