6. Ancaman

995 Kata
Pulang dari kantor seperti biasanya bagi Candra, bertemu dengan sepi dan kesunyian. Dirumah yang cukup megah ini hanya Candra seorang diri kecuali jika pagi hari ada si mbok yang bertugas membersihkan rumah. Untuk makan malamnya sendiri biasanya Candra memesan di salah satu aplikasi atau jika ingin keluar Candra akan menghabiskan malamnya hanya di kafe teman terdekat. Sebenarnya Candra memiliki adik perempuan, hanya saja Poppy tinggal bersama kedua orang tuanya di luar kota. Ya, menjadi orang dengan kemampuan finansial yang mumpuni itu juga ribet, bingung menghabiskan uang untuk kepentingan apa?. Kepala itu tersandar di kepala sofa yang empuk dengan warna merah maroon dengan bahan bludru. Ia menghela napas menyalurkan kelelahannya. Hidup sendiri tanpa orang yang menyayanginya jelas membuat Candra merasa jenuh. Kehidupannya selama ini hanya seputar rumah, kantor dan kafe selain itu ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Pernah terpikir dalam benak Candra untuk keluar dari zona nyaman. Seperti, bermain dengan banyak wanita di club malam yang akan berahkir di coret dari kartu keluarga atau paling tidak mereka akan berpikir masa remaja Candra kurang bahagia dan nakal. Dan memang faktanya seperti itu, terlalu takut untuk mencoba gagal menjadikan hidup Candra sampai dewasa saat ini menjadi manusia yang selalu perfeksionis. Ia amat takut untuk sebuah kegagalan, sebab itu sesuatu halnya akan Candra pikirkan matang-matang. Perutnya berbunyi nyaring sekali, sudah waktunya jam makan malam. Candra melirik jam di pergelangan tangan, ia bahkan belum sempat membersihkan diri sebelum berangkat menjemput Laras untuk menemaninya ke tukang laundry. Pria tersebut tak ingin menunda-nunda waktu dan rencananya ia akan sekalian makan malam. Beranjak dari posisinya, Candra mulai memasuki kamar mandi melepaskan penat dengan mengguyur air hangat yang membasahi setiap inci kulit tubuhnya. . Mobil miliknya melaju dengan kecepatan sedang, tujuannya saat ini adalah rumah Laras-sekretaris barunya. Ia akan meminta pertanggung jawaban atas jas yang di kotori oleh Laras. Terdengar ringan, tapi bagi Candra harus di selesaikan. Setelah menghubungi Laras, Candra mencoba mencari alamat tempat Laras tinggal. Memasuki komplek dan mencari kos-kosan Laras. Pada ahkirnya setelah melewati beberapa rumah Candra menemukan tempat tinggal wanita itu. Pria tersebut keluar dari dalam mobil, gerbang terbuka tanpa permisi Candra masuk begitu saja lalu mencoba menelfon Laras untuk mengabari wanita itu bahwa dirinya telah menunggu diluar. Tak selang beberapa menit Laras keluar dari dalam rumah. Candra mengenryitkan dahinya. "Kemeja kamu kusut sekali." Teguran itu sontak membuat Laras tertegun. Ia melirik kemejanya sekilas lalu meringis "Ini model terbaru pak." Candra memilih mengangguk. "Jadi?" "Iyalah pak, saya sudah rapi begini." "Hah? Kamu bilang penampilan mu ini rapi?" Dengan santainya Laras mengangguk, membuat Candra bergidik ngeri. "Ganti pakaianmu." Perintahnya, Laras melotot tak terima "Gak, ini sudah paling bagus. Lagian cuman ke tempat laundry kan?" "Saya bilang ganti ya ganti." Laras berkacak pinggang tak suka. "Lagian bapak siapa saya sih, ngatur-ngatur saya!" "Saya bos kamu." Kata Candra tak kalah sengit. Kedua orang dewasa itu saling beradu tak ingin kalah. "Bapak memang bos saya, tapi itu cuman pagi sampai sore hari." "Oh begitu, ya sudah. Tadinya saya akan memberimu tip dan mengajakmu makan malam." Laras terdiam, mendengar kata itu membuat jiwa miskinnya meronta-ronta. Wanita itu merubah posisinya menjadi sopan dan tersenyum dengan manis. "Emm, baiklah pak saya akan mengganti pakaian saya." "Nah, cepat saya gak punya banyak waktu." "Baik pak." Kata Laras patuh lalu kembali masuk kedalam. Ini demi makan malam gratis dan juga tip yang akan di berikan oleh bosnya itu. Ah, jika saja Laras mengetahui hal itu sedari tadi ia tak mungkin memakai kemeja yang dua hari lalu tak di cucinya. Kini Laras sudah siap, dengan mengenakan dress sebawah lutut berwarna army. Hanya dress polos yang memperlihatkan sifat feminimnya, wanita itu tak lupa menyemprotkan wewangian yang dibuatnya menggunakan pewangi pakaian. Setelah siap, barulah Laras berjalan menyusul Candra. "Lama sekali." Gerutu Candra, Laras berdecak. Serba salah batinnya "Bapak yang meminta saya ganti baju." "Iya, sudahlah ayo." Katanya. Mereka berdua lalu masuk kedalam mobil menuju tempat laundry biasa Candra menitipkan pakaian-pakaiannya. Setelah melewati kecanggungan dan rasa bosan ahkirnya mereka sampai di tempat laundry. Laras terkejut bukan main saat melihat tempat laundry yang menjadi langganan Candra. Tempat itu adalah bangunan dimana para pebisnis dan sosialita memanjakan pakaian mereka dengan wewangian yang begitu mahal. "Pak.." "Hmm, ada apa?" "Apa bapak sering mencuci pakaian bapak disini?" "Tentu, disini pelayanannya sangat bagus. Kamu kalau mau bisa mencuci pakaian kamu disini." "Oh tidak pak, saya hanya bertanya saja." Katanya lalu terdiam, dan hanya mengikuti Candra masuk kedalam bangunan itu. Ya, memang berbeda jiwa-jiwa miskin dan orang kaya. Untuk masalah pakaian saja mereka menempatkan pada tempat terbaik dengan harga yang melejit. Gila! Jika Laras mungkin sudah menjadi gembel tertimpa penyakit karena memikirkan hutang-hutang demi memanjakan pakaiannya di laundry terbaik. "Kenapa kamu?" Laras terkesiap, dan menggeleng. Candra selebihnya bersikap acuh tak acuh. Lalu Laras memilih duduk di kursi sofa yang disediakan, sembari menunggu Candra yang sedang berbincang asik sekali dengan seorang perempuan. Dari kasat mata, nampaknya wanita tersebut adalah si pemilik usaha ini. Ya, begitulah mereka jika sudah membahas bisnis sampai lupa waktu. Maklumlah, kehidupan orang awam seperti dirinya dengan Candra memang berbeda. Laras hanya terdiam sembari mengamati isi ruangan yang ada. Bahkan ini bisa dikatakan tempat laundry bintang lima. "Ini pacar baru kamu Candra?" "Bukan, dia sekretaris baru aku." Merasa di bicarakan Laras menoleh, dan tersenyum tipis ke arah wanita itu. Dengan segenap rasa sopannya, Laras mencoba mendekati wanita tersebut dan berkenalan. "Aku Laras, sekretaris baru pak Candra." "Saya, Ajeng teman dekat Candra." Kata wanita itu. Yang entah mengapa dari sorot matanya menunjukan rasa tidak suka pada Laras. Ia bisa merasakan itu, bahkan saat wanita itu menjabat tangannya. Namun, tak ingin berpikir negatif Laras mencoba bersikap sentral mungkin. "Ajeng, kalau gitu aku pamit dulu." "Cepet banget. Gak pengen ngobrol dulu?" "Lain kali ya?" Kata Candra, Ajeng mengangguki dan tersenyum manis. Mereka berpamitan. Namun pergerakan Laras terhenti, saat Ajeng mencekal lengannya. "Eh, kamu jangan genit dengan Candra ya!" Ancam Ajeng, membuat Laras menaikkan alisnya heran. Laras hanya terdiam dan melenggang pergi karena tak ingin membuat keributan di tempat pertama yang ia kunjungi. Kalau kalian jadi Laras, berbuat apa?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN