"Hiks..hiks.."
Ruangan luas dengan satu ranjang besar dan beberapa perabotan yang sebenarnya tidak diperlukan ada di dalam kamar seorang anak berusia delapan tahun itu, kini penuh dengan suara isak tangis.
Gabriel yang berdiri di sisi jendela, menoleh dengan senyum kecil pada dayang setia yang dipilihkan oleh ibunya itu.
"Sudah, Acelia. Kamu sudah menangis terlalu lama, jika lebih lama lagi maka mata mu akan kesulitan untuk terbuka," katanya dengan nada tenang.
Namun yang tidak disangka, tangisan Acelia justru semakin kencang setelah mendengar ucapannya. Hingga akhirnya Caravan yang sejak tadi hanya berdiri di pojok ruangan, bergerak mendekat dan memeluk gadis itu.
"Kamu hanya membuat Pangeran semakin cemas. Diam lah," tegurnya.
Barulah setelah itu Acelia mulai berusaha meredam tangisannya.
Gabriel kembali tersenyum, tubuhnya mulai menghadap ke arah luar kamar yang sedikit terik di musim semi. Sudah berjalan tiga hari dari hari dimana dirinya gagal menjalani upacara kebangkitan kekuatan suci, dan selama tiga hari pula Acelia terus menangis melihat dirinya yang hanya berdiri berjam-jam di samping jendela dan melihat ke arah luar.
Perintah kurungan dari Ayahnya belum dicabut hingga saat ini, hal yang berarti Gabriel tidak diijinkan untuk keluar dari kamarnya sedikitpun.
Gabriel sendiri sebenarnya merasa tidak keberatan, toh sebelum ada perintah ini pun Gabriel lebih banyak menghabiskan waktu di kamarnya atau di taman lotus yang merupakan peninggalan Ibunya. Apalagi setelah dirinya gagal dalam upacara, kabar tentang hal itu sudah menyebar bahkan hingga keluar istana sehingga walau dirinya hanya di dalam kamar telinganya seakan bisa mendengar setiap guncingan yang ada di luar kamar dan istana dengan sangat jelas.
"Sudah semakin terik. Apakah taman Ibu dirawat dengan baik?" gumamnya pelan.
"Taman Lotus dirawat dengan baik, Pangeran Putra Mahkota," jawab Caravan yang masih bisa mendengar pertanyaan Gabriel.
Gabriel menoleh, senyum kecil masih menghiasi wajah tampannya.
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu, Caravan. Aku sudah bukan Putra Mahkota," sanggahnya.
Caravan terkejut, dia sempat saling pandang dengan Acelia yang sudah bersiap untuk menangis lagi.
"Bagi saya, Pangeran Gabriel tetaplah Putra Mahkota Kerajaan Aloysius. Dan satu-satunya tuan yang bisa kami layani seumur hidup," bantah Caravan dengan yakin.
Gabriel membalik tubuhnya, tatapan anak berusia delapan tahun itu terlihat tegas dan tidak menyiratkan kesedihan sedikitpun.
"Kalian yang paling tahu jika sejak kecil aku tidak menginginkan posisi sebagai Raja selanjutnya, Ibu bahkan tahu itu dan tidak pernah memaksakan aku untuk jadi Raja. Bagiku, apa yang terjadi sekarang adalah sebuah bantuan dari Dewa agar aku terlepas dari takdirku sebagai Raja selanjutnya."
Sebuah kalimat yang terdengar memilukkan namun diucapkan dengan senyum indah di wajah anak berusia delapan tahun itu.
"Tapi...hal buruk akan terjadi. Pangeran akan diungsikan ke tempat lain karena sudah mempermalukan keluarga Kerajaan," cicit Acelia dengan nada sedih.
Gabriel sendiri tahu tentang hal itu. Karena dirinya yang gagal dalam upacara besar yang hanya terjadi setiap keturunan langsung Raja berusia delapan tahun, maka hukumannya adalah diusir dari istana. Dan saat ini Raja dan para Bangsawan serta petinggi Kerajaan sedang mengadakan pertemuan yang membahas perihal ini.
"Itu sudah menjadi aturannya, bahkan meski aku adalah anak Raja, aku tidak bisa lepas dari segala aturan yang ada di Kerajaan ini," balasnya.
Sungguh ironi melihat anak berusia delapan tahun yang bertingkah tidak sesuai umurnya. Entah itu dari cara bicara atau perilaku, Gabriel sudah jauh lebih dewasa dari yang seharusnya. Tidak ada nada ketakutan dalam setiap ucapannya, padahal nasibnya bahkan tidak jelas bagaimana di masa depan. Dia baru kehilangan ibunda tercinta, dan kemudian harus menerima hukuman karena menjadi keturunan Raja yang mengalami kecacatan karena tidak memiliki kekuatan suci
"Bawalah saya kemanapun Pangeran pergi, jika tidak maka saya akan keluar dari Istana," ujar Caravan. Tubuhnya menunduk, meminta belas kasih dari tuannya itu.
"Bawa saya juga, Pangeran. Saya juga akan ikut kemanapun Pangeran pergi," sahut Acelia menggebu.
Gabriel tersenyum haru. Dua orang paling setia yang diletakan oleh ibunya itu bahkan masih sangat muda. Masih ada waktu bagi mereka untuk menikah, namun mereka berbicara seakan-akan mereka akan hidup selamanya hanya bersama dengan Gabriel.
"Kalian perlu menikah suatu saat nanti dengan orang yang kalian sayang, kalian tidak bisa terus bersamaku," balas Gabriel.
Hebatnya, kedua orang itu langsung menggeleng bersamaan.
"Kami tidak butuh yang seperti itu, Pangeran. Hanya dengan berada di sisi Pangeran saja sudah cukup bagi kami."
Maka yang dapat dilakukan oleh Gabriel selanjutnya hanyalah menghela napas dan menganggukkan kepala pelan.
Setelah kehilangan semuanya, dia masih memiliki dua orang yang mau menemani dirinya kemanapun dan apapun yang terjadi.
__
Seperti yang sudah diduga oleh Gabriel dan dayang setianya, malamnya secara pribadi Gabriel diundang ke kediaman Raja Balendin secara langsung.
Kali ini, anak lelaki itu hanya pergi seorang diri. Meskipun Caravan bersikeras untuk menemani nya, namun Gabriel menolak dan berkata bahwa dia akan baik-baik saja.
Langkah kaki kecilnya terus berjalan tanpa ragu, di sepanjang lorong yang dilewati oleh para pekerja, samar-samar dirinya mendengar pembicaraan tentang kegagalan yang dia alami beberapa hari yang lalu. Bukannya merasa tertekan dan gemetar, Gabriel justru mengulas senyum tipis. Dalam hatinya ia merasa bersyukur karena dengan dia berada di titik terbawah maka dia akan tahu siapa orang yang benar-benar setia padanya dan mana yang akan langsung berpaling.
Di depan pintu besar itu Gabriel berhenti, dia menunggu Sang penjaga pintu untuk mengabarkan kedatangannya pada Sang Ayah.
"Pangeran pertama Gabriel sudah tiba, Yang Mulia!" seru seorang prajurit.
Kali ini pun Gabriel hanya tersenyum kecil. Panggilannya sudah berubah, bukan lagi Pangeran Mahkota melainkan Pangeran pertama dimana keberadaan adiknya kini semakin terlihat dan hanya menunggu waktu hingga posisi itu menjadi milik Falerious.
Ketika pintu di depannya terbuka, Gabriel memasuki ruangan megah itu dengan perlahan. Jika biasanya ia akan melihat Sang Raja duduk di kursi baca dengan memangku buku tebal, kali ini Sang Raja justru terduduk di tempat tidur dengan punggung yang bersandar di kepala ranjang. Wajah yang tegas dan mata yang selalu menyorot tajam itu tidak pernah lenyap meskipun kali ini terlihat lebih lelah dari biasanya. Sekelebat pikiran muncul di kepala Gabriel, mungkinkah Ayahnya kelelahan karena masalah yang dia timbulkan?
"Semoga berkat Dewa selalu menyertai Yang Mulia Raja yang Agung!" salam Gabriel dengan menundukkan tubuh kecilnya.
Ia tidak berani mendongak, menunggu hingga sepatah kata keluar dari ayahnya.
"Bagaimana kabarmu?"
Hal yang paling tidak Gabriel duga saat ayahnya lebih dulu bertanya soal kabarnya. Dia gugup, lebih gugup dari saat dirinya harus menghadiri upacara suci.
"Hamba dalam keadaan baik, Yang Mulia," jawabnya dengan nada rendah.
Kemudian hening mendera. Gabriel hanya terus menunduk sedangkan tidak ada lagi kata yang muncul dari mulut Sang Raja.
Hingga kemudian suara kasur yang berderit menjadi pemecah hening di antara mereka.
Walaupun Gabriel tidak mengangkat kepalanya, namun dia dapat menebak jika ayahnya turun dari tempat tidur. Langkahnya terasa berat ketika melewati Gabriel begitu saja dan menuju ke kursi baca.
"Pertemuan sudah diadakan tadi pagi, dan hasilnya juga sudah ditentukan," ucap Sang Raja tiba-tiba.
Tanpa sadar Gabriel memejamkan matanya sejenak. Meski dirinya sudah menduga apa hasil yang akan disebutkan oleh sang Ayah, namun hatinya masih terasa sedih karena harus meninggalkan tempat dimana dirinya lahir dan dibesarkan.
"Sebelumnya aku ingin tahu apa yang membuat kamu tidak bisa menunjukkan kekuatan suci mu. Adakah kamu melakukan sebuah dosa?"
Gabriel langsung menggeleng dengan pelan.
"Satu-satunya dosa yang hamba lakukan adalah menangisi kepergian Ibunda hingga berlarut-larut, Yang Mulia."
Nampaknya jawaban yang keluar dari mulutnya adalah sesuatu yang tidak bisa dibalas oleh Sang Raja. Hingga yang terdengar kemudian hanya helaan napas yang berat dan panjang, seakan apa yang ada di pundak Sang Raja adalah sebuah beban berat.
"Pada petinggi dan bangsawan meminta kamu untuk pindah ke kota tua, tinggal di sana hingga kamu bisa kembali layak menjadi penggantiku."
Gabriel terdiam. Tidak ada hukuman yang lebih buruk daripada diungsikan ke tempat yang bahkan hewan buas pun tak ingin tinggal di sana. Di kota tua hanya ada para lansia yang menunggu akal mereka. Kelompok orang tua yang dibuang oleh keluarganya karena terlalu merepotkan. Tidak ada kehidupan di sana, tidak ada anak kecil sepertinya yang berlarian di taman kota atau penduduk yang berjualan di pasar. Hanya ada para orang tua yang bekerja dengan menanam segala jenis tumbuhan untuk persediaan makanan mereka.
"Baik, Yang Mulia," jawabnya patuh.
Hal yang tidak terduga selanjutnya adalah saat Sang Raja tiba-tiba bangun dari duduknya, berjalan mendekat hingga menyentuh pundak kecilnya yang bisa remuk kapan saja. Entah karena sedih harus pergi atau terharu karena tindakan yang dilakukan Ayahnya, Gabriel merasa ingin menangis.
"Apa ada yang kamu mau sebelum pergi?" tanya Ayahnya dengan nada dalam dan rendah.
Beberapa saat Gabriel hanya terdiam, kepalanya sedari tadi tidak terangkat sedikitpun meski jarak dirinya dan Ayahnya begitu dekat.
"Hamba mohon tolong jaga taman lotus peninggalan Ibunda dengan baik, hingga hamba kembali," pintanya dengan suara bergetar.
Ketika Ayahnya memintanya untuk mengangkat pandangan, maka itu menjadi pertama kalinya Gabriel menangis di hadapan Sang Raja selain saat pemakaman ibunya. Dia tergugu, anak kecil itu menangis dengan histeris sambil menjatuhkan kepala di pundak Sang Ayah.
Padahal hubungan mereka tidak dekat, padahal Gabriel nyaris membenci ayahnya sendiri. Namun kali ini dia membiarkan hatinya terbuka begitu saja di hadapan sang Ayah. Dengan elusan kaku yang diberikan Sang Raja, dan juga kata-kata yang sedikit menghibur.
"Kembalilah. Jangan terlalu lama menjadi tidak berguna."
Sebuah pesan yang tajam namun menjadi motivasi bagi Gabriel yang nyaris menyerah atas segalanya.
__