3

1540 Kata
"Yang Mulia Putra Mahkota, Pangeran Falerious datang berkunjung!" Gabriel yang sedang duduk dengan tenang di kursi miliknya itu, langsung menutup buku di tangannya dengan senyap. Matanya melirik ke arah Acelia yang dengan sigap langsung berjalan ke arah pintu. Sesaat kemudian, pintu kamarnya terbuka menampilkan anak lelaki berpakaian kerajaan yang berjalan percaya diri memasuki kamar. "Salam sejahtera untuk Yang Mulia Putra Mahkota!" Falerious menunduk, kepalanya menatap ke bawah. "Duduk lah!" titah Gabriel. Adik kecilnya mengangguk kecil, berjalan dengan langkah pelan hingga sampai di bangku yang berhadapan dengan Gabriel. "Ada perlu apa Pangeran datang kesini?" tanya Gabriel dengan senyum kecil. Bagi mereka yang merupakan anak dari seorang Raja, tidak ada waktu dimana mereka bisa bermain selayaknya anak kecil pada umumnya. Sedari berumur lima tahun, Gabriel sudah harus melaksanakan pendidikan dasar seorang bangsawan. Bahkan mereka diharuskan bersikap hormat satu sama lain di depan anggota keluarga kerajaan yang lain. Seperti yang dilakukan oleh Falerious saat ini. "Saya hanya ingin mengetahui kabar Yang Mulia Pangeran. Saya dengar dari Ibunda, Pangeran Putra Mahkota sangat sedih karena kepergian Yang Mulia Permaisuri," jawabnya. Gabriel kembali tersenyum. Ia menahan ucapan yang akan menjadi balasan perkataan Falerious saat Acelia datang dengan membawakan mereka teh dan kudapan. "Aku baik-baik saja. Banyaknya hal yang harus aku lakukan, membuatku lupa jika aku sedang dalam kehilangan," katanya. Hal yang dimaksud oleh Gabriel adlah ucapan penyambutan masa dewasanya yang akan dilaksanakan di usia yang ke delapan tahun. Dimana segel kekuatan suci dalam tubuhnya akan lepas dengan sendirinya dan Gabriel secara sah akan menjadi penerus Kerajaan generasi selanjutnya. Falerious, bocah kecil berumur enam tahun itu menunduk dalam. "Saya sudah mendengar hal itu dari Ibunda. Saya harap upacara kedewasaan Kakak bisa berjalan dengan baik," harapnya. Acelia membelalak kaget, dirinya sudah bersiap maju menegur Pangeran saat Pangeran Falerious memanggil Gabriel dengan sebutan yang tidak sopan. Namun gerakannya terhenti saat Gabriel mengangkat tangannya, merasa tidak keberatan dengan panggilan apapun yang diberikan oleh adiknya. "Terimakasih atas doa tulus mu. Aku akan mengalami banyak masa sulit jika saja tidak ada orang-orang yang tulus mendoakan dan mendukung ku." Gabriel duduk bersandar, matanya menatap jauh ke arah taman yang terletak di sisi kamar tidurnya. Obrolan yang dilakukan bocah berumur tujuh dan enam tahun ini adalah obrolan yang paling tidak wajar. Falerious yang masih enam tahun bahkan tidak bisa bertingkah sesuai umurnya hanya karena dirinya adalah anak dari seorang Raja. "Apa kau tidak menyukai teh dan kudapan nya? Apakah aku perlu meminta Acelia membawakan yang lain?" tanya Gabriel saat adiknya tidak menyentuh hidangan yang tersaji di depannya. Falerious menggeleng, "Mana mungkin saya berani makan sebelum Pangeran Putra Mahkota makan lebih dulu," jawabnya dengan suara pelan. Gabriel tertawa pelan, tangannya bergerak menyentuh makanan di piring dan mengambilnya satu. "Sekarang kau sudah boleh makan, Adikku," suruhnya. Dengan patuh, Falerious ikut mengambil kue yang sama dan memakannya lamat-lamat. Tidak ada suara apapun di ruangan megah itu, yang ada hanya dua anak kecil yang menikmati kudapan mereka hingga nyaris habis. Kemudian setelah dirasa tidak ada lagi yang dapat dilakukan di sana, Falerious berpamitan untuk kembali ke istana selir. Meninggalkan kakaknya dalam perasaan gamang yang tiba-tiba mendera. "Saya harap Pangeran tidak terlalu dekat dengan Pangeran Falerious," ujar Acelia hati-hati. Gabriel mencuri lihat dari balik bahunya, tersenyum kecil sambil beranjak menuju jendela kamarnya yang lebar. "Falerious hanya anak berusia satu tahun di bawah ku. Kalaupun ada niat buruk dalam tubuh kecil itu, kita sama-sama tahu darimana itu berasal," balasnya bijak. Acelia berpandangan dengan Caravan yang berdiri di sisi pintu. Kedua abdi setia itu tersenyum kecut, memahami bahwa tuan mereka bahkan sudah tidak terlihat seperti anak berusia tujuh tahun. "Saya akan menyiapkan pakaian Pangeran untuk makan malam bersama Yang Mulia Raja," ujar Acelia sebelum kemudian berjalan mundur ke arah lemari pakaian milik Gabriel. * Langkah kaki kecilnya menjadi penanda, membuat langkah besar di belakangnya ikut memelan seirama dengan tapak kaki Sang Pangeran. Jubah kebesaran yang berwarna merah terang perpaduan dengan hitam dan warna emas yang menyala, membalut tubuh kecil itu dengan istimewa. "Yang Mulia Putra Mahkota sudah tiba!" Adalah tanda yang diserukan oleh penjaga pintu ruang makan keluarga Kekaisaran. Ketika pintu itu terbuka, di kursi yang berada paling ujung, sudah duduk dengan melipat tangan di atas meja, Sang Raja dari Aloysius, Balendin yang merupakan ayah dari Gabriel. Juga adik kecil Gabriel yang duduk di sisi kanan seorang diri. Gabriel menunduk, memberi hormat pada Ayahnya. "Semoga berkat Dewa selalu menyertai Yang Mulia Raja Aloysius!" Balendin menatap datar Putra Mahkota nya itu. "Duduklah. Kau terlambat," katanya dingin. Gabriel semakin menunduk dalam, kemudian dia bergerak ke sisi kiri dimana tempat biasa yang selalu ia duduki bersama dengan mendiang ibunya. Berbagai makanan mewah dengan menu khas Aloysius disajikan di atas meja. Namun tidak ada di antara Falerious dan Gabriel yang berani bergerak sebelum ayah mereka. Ketika tangan yang sudah banyak menjatuhkan musuh di medan perang saat masa mudanya itu bergerak mengangkat sendok perak di hadapannya, menyantap satu suap makanan yang sebelumnya sudah dipastikan aman oleh para dayang, barulah kedua anak kecil itu memajukan tubuhnya, ikut menyantap makan malam mereka. Tidak ada yang berani bersuara, bahkan suara napas pun hampir tidak terdengar. Yang bisa didengar dari ruangan itu hanyalah denting sendok yang semakin lama semakin pelan. Hingga benar-benar menghilang saat Sang Raja membalik posisi sendoknya, pertanda bahwa tidak akan ada makanan lebih yang masuk ke dalam mulutnya. "Upacara nya akan diadakan kurang dari enam bulan lagi, aku harap kamu sudah mempersiapkan diri dengan baik," ucap Balendin dengan suara datar dan tajam. Meski tidak menyebut nama siapapun dalam ucapannya, namun Gabriel tahu jika dirinya lah yang dituju oleh Ayahnya itu. "Saya sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin, Yang Mulia," katanya dengan patuh. Balendin mengangguk pelan, tanpa mengatakan apapun lagi dirinya bangkit dengan mengibaskan bagian belakang jubahnya. Setiap langkah yang dijejak olehnya, membawa rasa sesak bagi siapapun yang berada satu ruangan dan dekat dengannya. Barulah ketika Balendin menghilang bersama para dayang dan pengawalnya, dayang yang lain bergegas mendekat, merapikan meja makan dari hadapan para Pangeran. Gabriel mendorong pelan bangku yang didudukinya, ikut mengibaskan jubah yang ia pakai kemudian tersenyum kecil ke arah Falerious yang memberinya hormat. "Aku akan kembali ke kamarku," katanya memberi tahu. Falerious mempertahankan posisinya yang menunduk. Memberi penghormatan pada kakaknya yang berjalan keluar dari ruang makan. "Apa saya perlu menyiapkan cemilan, Pangeran? Biasanya Yang Mulia Permaisuri selalu menyiapkan makanan kecil ketika Pangeran selesai makan dengan Yang Mulia Raja," tanya Acelia, menawarkan. Gabriel menggeleng tanpa menoleh, terus berjalan hingga mencapai kamarnya. Namun setelah pintu besar itu dibuka, bukannya bergegas masuk ke dalam, Gabriel justru berjalan ke arah taman yang dibuat ibundanya untuk dirinya. Taman yang terletak di samping kamarnya itu. "Kenapa bunganya tidak seindah yang ada di taman Ibu?" gumamnya. Acelia yang berdiri dekat dengan sangat Tuan, menunduk dengan posisi tangan terlipat di perutnya. "Karena Yang Mulia Permaisuri memiliki berkat untuk menyuburkan tanaman, Yang Mulia Pangeran," jawabnya. Gabriel menoleh, alisnya bertaut bingung. Kemudian matanya kembali menatap tanaman yang tampak biasa, tidak menarik dan tidak menawan matanya. "Tolong tetap rawat mereka, aku tidak ingin ada yang layu walaupun sedikit," titahnya. Acelia dan beberapa dayang mengangguk, patuh. Sebelum kemudian bergerak mundur saat tuan mereka berjalan kembali ke arah kamar. Angin yang berhembus kencang itu menerpa tubuh Gabriel yang terbalut jubah kerajaannya. Ketika jubah itu terlepas dari tubuhnya, angin itu semakin menusuk tulang dan nyaris membuatnya menggigil. "Perlukah saya menutup jendela nya?" tanya Acelia. Dengan senyum kecil, Gabriel menggeleng. "Tolong bawa kursi milikku untuk menghadap jendela, dan juga selimut," pintanya. Tanpa banyak bertanya, Acelia bergerak mengangkat kursi besar yang biasa diduduki tuannya itu hingga ke dekat jendela. Kemudian dengan hati-hati menyampirkan selimut tebal di pundaknya hingga melingkupi tubuh kecil itu. "Kau boleh kembali ke kamar mu, Acelia," ucapnya dengan nada pelan. Acelia hendak membantah ucapan tuannya, namun ketika melihat Gabriel yang sudah tenggelam dengan suasana malam yang mencekam dan dingin itu, ia memutuskan menunduk, memberi hormat sebelum kemudian melangkah mundur dan berbalik pelan menghampiri pintu besar kamar tuannya. Gabriel menghela napas dengan berat, badan kecilnya yang terlatih dengan segala jenis latihan beladiri semenjak dirinya berusia lima tahun itu, dibiarkan bersandar di kursi dengan tangan yang memeluk selimut dengan erat. Satu tangannya terangkat, menampilkan pergelangan tangannya yang terbalut gelang berwarna biru gelap dengan hiasan permata sebagai bandulnya. Gelang itu adalah gelang pemberian ibunya dulu, gelang yang sama sekali tidak pernah Gabriel lepas meski hanya sedetik. Tanpa disangka, gelang itu kini menjadi peninggalan satu-satunya yang ia punya dari mendiang ibundanya. Sekian taman lotus yang masih ada di istana Permaisuri, yang entah sampai kapan bisa bertahan karena pemiliknya yang sudah pergi dan tidak akan pernah kembali lagi. "Ibu, apa benar sekarang Ibu sudah menjadi bintang? Atau itu cuma omong kosong?" tanyanya pelan sambil menatap langit malam yang pekat dan dihujani bintang yang bersinar terang. "Kalau saja itu benar, setidaknya aku tidak akan merasa sindiran sekarang. Rasanya sepi sekali seakan aku sudah tidak memiliki apapun yang tersisa di dunia ini." Gabriel meratap. Pegangannya pada selimut semakin mengetat. "Aku tidak pernah menginginkan tahta, aku hanya ingin ibu ada disini hingga aku dewasa dan menikah," katanya lagi. Nyaris tidak terdengar karena tenggorokannya terasa tercekat dan menyakitkan. Ketika angin kian berhembus kencang, nyaris seluruh tubuhnya tenggelam dalam selimut. Bukan karena merasakan dingin yang menyayat kulitnya, namun karena dirinya sudah tidak bisa menahan rasa perih dan sesak yang ada dalam dadanya. Malam itu, sang Putra Mahkota kembali melanggar aturan Raja. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN