BAB 5

1855 Kata
Sesuai perjanjian, Andria dan Nate akan  bertemu di bandara John F. Kennedy  untuk terbang ke Washington. Pukul sebelas siang, Frans menghentikan mobilnya di parkiran bandara. Mereka segera keluar dan mengambil koper kecil yang dibawa Andria. Sebenarnya Andria sudah menolak untuk diantar Frans. Namun Frans adalah Frans. Dengan segala kekeraskepalaan pria itu.                   Frans yang hari ini memakai kaus abu-abu bergambar Captain Amerika memang terlihat tampan ditambah dengan kacamata hitam Raybannya. Sedangkan Andria menggunakan kaus putih, jaket kulit berwarna krem dan celana jeans berwarna hitam. Mereka bergandengan tangan saat masuk menuju pintu keberangkatan. Tepatnya, Frans yang terus menggenggam tangan Andria, menolak untuk melepaskan Andria.                   “Miss Delanna?” sapa seorang pria yang pernah Andria lihat sering berkeliaran di lantai tempat ruangan Nate berada. Dia Jake, kaki tangan pria itu.                   “Ya,” sahut Andria. Ia tidak tahu apa nama belakang Jake dan rasanya kurang sopan jika ia memanggil Jake dengan nama depannya karena seperti yang terlihat, Jake sepertinya sudah berumur lebih dari tiga puluh tahun.                   “Anda sudah ditunggu oleh Mr Mikaelson di ruang VIP,” ucap Jake datar namun berwibawa. “Mari saya tunjukan jalannya,” sambungnya.                   “Aku ikut. Setelah kau check-in, baru aku akan pulang.” Nada tegas tak terbantahkan keluar dari bibir Frans dan Andria hanya menganggukan kepala dan segera berjalan mengikuti Jake.                   Setelah beberapa saat, mereka berhenti berjalan. Jake mempersilahkan Andria untuk masuk ke dalam. “Saya akan segera masuk, tunggu sebentar,” pinta Andria dan segera menghadap Frans.                   “Ingat Andria, jangan sampai kau terpesona oleh bosmu dan terperdaya olehnya. Dia lelaki b******k yang suka meniduri wanita. Terutama wanita cantik sepertimu. Jaga hatimu untukku, oke?” seru Frans membuat Andria tersenyum.                   “Oke. Jaga hatimu dan jaga dirimu juga, Frans. Aku akan menelepon setibanya aku di Washington,” sahut Andria.                   “Aku mencintaimu.” Frans segera mencium bibir Andria. Melumatnya dengan lembut.                   “Aku juga mencintaimu,” sahut Andria setelah mereka berciuman.                   Frans begitu manis jika seperti ini dan tak adanya amarah dalam diri pria itu. Mungkin jika Frans tak pernah berlaku kasar padanya, Andria tentu dengan senang hati menerima saja saat Frans meminta pernikahan mereka dipercepat tanpa berfikir lama.                   Setelah berpelukan singkat. Frans melepaskan Andria untuk masuk ke ruang tunggu VIP setelahnya ia langsung keluar dari bandara. Frans dan Andria tak menyadari, bahwa sedari tadi ada Nate di dalam ruang VIP mengamati mereka dengan emosi yang sepertinya mampu untuk membakar habis bandara JFK New York. ****                   Nate masih diam. Emosinya masih membumbung tinggi karena melihat drama yang terjadi tadi antara Andria dengan tunangannya hingga ia bahkan tak menyapa Andria yang sudah duduk di seberangnya. Saat ini mereka sudah lama pesawat menuju Washington D.C . Nate masih terus mencoba mengontrol emosinya walaupun sangat sulit apalagi ketika memori Frans mencium bibir Andria mampir di otaknya. Saat itu ia ingin sekali menarik Andria dan menghajar Frans habis-habisan karena berani mencium bibir yang sudah diklaim oleh Nate sebagai miliknya.                   Andria bukan tak menyadari ada yang aneh pada bosnya sedari tadi saat mereka bertemu di ruang tunggu hingga duduk di pesawat, namun ia mencoba untuk tidak peduli dan melanjutkan membaca majalah yang tadi tersedia di meja di hadapannya. Ia tak tahu sama sekali bahwa ia dan Nate akan menggunakan pesawat pribadi. Awalnya ia memang bingung mengapa Nate tak memintanya memesan tiket pesawat, yang ada di pikirannya saat itu adalah mungkin Nate telah meminta Mrs Anderson untuk memesan tiket karena memang job desk Andria hanya mendata telepon yang masuk, mendata kembali janji temu Nate, dan pergi ke pantry untuk membuat kopi atau teh –tergantung permintaan Nate.                   Penerbangan yang memakan waktu 4 jam 20 menit menjadi seabad bagi Nate. Jika saja tak ada Andria di dalam pesawat, ia mungkin sudah berteriak kencang dan menghancurkan apapun yang ditangkap matanya karena emosinya pada Frans sangat sulit untuk dipadamkan.                   Setelah pesawat landing, tanpa mengucapkan sepatah kata pun Nate langsung beranjak dan turun dari pesawat. Andria dengan sigap mengikuti Nate. Ia ingin sekali menyapa Nate tapi ia takut salah berucap dan bahkan semakin menyulut emosi Nate sehingga dari bandara nasional Reagan Washington hingga sampai di The Jefferson Hotel, mereka diam seribu bahasa.                   Bukan masalah bagi Andria untuk diam lebih dari 5 jam. Namun masalahnya adalah aura yang terpancar dari tubuh bosnya membuat ia sama sekali tak nyaman. Niatnya untuk menelepon Frans setelah ia sampai pun terpaksa ditunda karena tak enak dengan Nate.                   “Apa jadwal ku hari ini?” Nate akhirnya bersuara saat mereka berdua berada di dalam lift.                   “Pertemuan pukul tujuh malam di restoran dalam hotel ini, Sir,” jawab Andria sedikit syok karena tiba-tiba Nate mengajaknya bicara. Beruntungnya ia sempat membaca jadwal Nate yang diberikan Mrs Anderson kemarin sebelum wanita paruh baya itu pulang.                   “Standby di depan pintu kamarku sebelum pukul 7, Miss Delanna,” ucap Nate datar dan segera pergi meninggalkan Andria saat pintu lift terbuka.                   Andria menghela nafas lega dan berjalan menuju kamar hotel yang kuncinya telah diberikan tadi oleh resepsionis. Ia seperti menahan nafas selama perjalanan dari new york ke washington. Benar-benar memacu adrenalinnya dan membuatnya tertekan. ****                   Baru kali ini ia dipermainkan oleh seorang wanita, dan yang terparah adalah wanita itu merupakan sekretarisnya yang sangat polos dan benar-benar bukan tipe wanita yang selama ini Nate kencani. Ia pun menebak dengan pasti bahwa Andria sama sekali tak tahu apa yang terjadi pada Nate selama penerbangan hingga perjalanan menuju hotel.                   Nate segera beranjak dari kasur dan melepas semua pakaiannya. Ia berjalan dengan lunglai menuju kamar mandi dan menyalakan shower. Ia butuh merilekskan pikirannya dan memutuskan bahwa mandi di bawah kucuran air shower adalah pilihan terbaik yang ia miliki.                   Dulu mungkin Nate akan memilih klab malam atau meniduri satu wanita untuk melampiaskan kekesalannya, namun sekarang ia tak bisa melakukan hal itu. Karena setiap ia dekat dengan wanita dan membawanya ke tempat tidur, wajah yang selalu hadir dalam benaknya adalah wajah Andria dan itu sukses membuatnya frustasi.                   Pria itu pun harus mengeluarkan seluruh pengendalian dirinya untuk menahannya untuk tidak menarik wanita itu ke pojokan tadi dan menghabisi bibir wanita itu hingga tak ada lagi jejak Frans disana. Demi Tuhan ia ingin sekali melakukan hal itu hingga ia sadar bahwa Andria terlalu polos untuk diperlakukan seperti itu.                   Pukul setengah tujuh malam Nate sudah rapi mengenakan kaus polo berwarna putih dan celana panjang bahan berwarna hitam. Pertemuan bisnis yang diadakan di restoran hotel ini sebenarnya adalah pertemuan Nate dengan Killian. Sebenarnya tanpa Andria pun Nate bisa mengurus semuanya sendiri namun ia memang memiliki tujuan lain sehingga membawa Andria ikut serta.                   Ketukan pada pintu kamar hotelnya membuat Nate tersentak dan segera berjalan dan menemukan Andria yang mengenakan pakaian kantor berdiri di hadapannya. Nate tak dapat menyembunyikan senyumnya membuat Andria mengerutkan keningnya.                   “Kau tak perlu menggunakan pakaian seformal itu, Andria. Ini adalah pertemuan bisnis yang santai sekaligus makan malam. Aku sarankan kau mengganti pakaianmu. Mungkin yang cukup membuatmu nyaman,” seru Nate sembari memperhatikan Andria dari atas hingga bawah sambil terkekeh pelan.                   Pipi Andria bersemu merah karena malu. Ia sepertinya lupa membaca seperti apa pertemuan bisnis yang akan di hadiri oleh Nate dan dirinya. “O-oh. Kalau begitu saya permisi untuk kembali ke kamar, Sir,” ucap Andri tanpa bisa menghilangkan nada gugup dan malunya. Ia bahkan menundukan kepalanya karena tak berani menatap Nate.                   “Baiklah. Aku akan menunggu mu di lobi hotel,” sahut Nate dan segera Andria kembali ke kamarnya secepat kilat. ****                   Sedari tadi Nate tak bisa mengalihkan pandangannya dari Andria. Saat wanita itu berjalan keluar dari lift untuk menemuinya di depan lobi, Nate hampir yakin bahwa ada bidadari tak bersayap yang membakar habis tubuh Nate hingga tak bersisa. Pria itu tak menyangka, Andria dalam balutan maxi dress berwarna putih tulang berbahan brokat amat sangat mempesona dan membuatnya....... b*******h dan itu gila.                   Pria itu harus menelan salivanya berulang kali untuk menetralisir kerja tubuhnya. Killian yang memperhatikannya sedari tadi pun hanya menggelengkan kepala dan terkekeh pelan. Ia tak menyangka Nate akan jatuh sedalam-dalam nya kepada Andria yang notabennya adalah sekretaris Nate sendiri.                   “Kau benar-benar parah,” Killian berkomentar sembari tertawa dan menggelengkan kepala saat Andria izin untuk pergi ke toilet.                   “Akui saja bahwa wanita itu memang indah, Killian,” sahut Nate sambil tersenyum karena benaknya terus membayangkan Andria dengan maxi dress putih tulangnya.                   “Ya, memang. Kau mau tahu apa yang kupikirkan saat pertama kali melihatnya?” tanya Killian pada Nate. Pria itu hanya menaikkan alisnya sebelah sembari menarik gelas red wine dan meminumnya.                   “Dia masih perawan,” sambut Killian yang sukses membuat Nate tersedak. “Easy, bro.”                   “Tak mungkin dia masih perawan, Killian. Ia bahkan memiliki tunangan,” seru Nate. Walaupun ia benci mengakui Andria sudah memiliki tunangan namun ia tetap membeberkannya pada Killian.                   “Bercanda  kau,” seru Killian sambil tertawa.                   Nate menggelengkan kepala. “Aku serius, Killian,” ujar Nate bersamaan dengan kembalinya Andria.                   Killian tersenyum penuh pesona pada Andria, membuat wanita itu tersipu malu sedangkan Nate mendengus kesal. Ia percaya Killian tak akan merampas wanita ‘buruannya’.                   “Jadi, Andria cantik. Apa kau sudah memiliki kekasih? Tunangan? Atau suami?” tanya Killian to-the-point membuat pipi Andria tambah memerah dan Nate gemas untuk menciumnya.                   “Aku sudah memiliki tunangan, Sir,” sahut Andria malu-malu.                   Killian berpura-pura kaget dan memasang wajah terluka. “Oh benarkah? Sayang sekali,” sahutnya. “Kalau begitu, kapan kalian akan menikah?” tanya Killian membuat Nate melirik tajam pada Killian.                   “Kami belum memutuskan kapan tepatnya, tapi sepertinya tahun ini, Sir,” jawab Andria membuat Nate mengepalkan jemarinya tanpa sadar. Sedangkan Killian yang melihat sikap defensif Nate hanya tertawa.                   “Oh begitu? Tak keberatan kalau kau mengundangku?”                   “Tentu saja, Sir” sahut Andria cepat.                   “Baiklah, Mr Donovan sepertinya cukup sampai di sini pertemuan kita karena hari sudah malam dan kami baru saja tiba jika kau mengizinkan kami harus istirahat.” Nate segera menghentikan pembicaraan mengenai pernikahan karena benar-benar menyulut emosinya.                   Killian hanya tertawa tapi kemudian menganggukan kepalanya. “Baiklah, Mr Mikaelson. Suatu kehormatan bagi saya karena anda datang langsung ke sini. Terima kasih banyak,” seru Killian dan bangkit berdiri. Kemudian matanya menatap Andria. “Selamat tidur, cantik. Mimpi yang indah.” Ucapan itu sukses membuat Andria lagi-lagi tersipu.                   Mereka kemudian berpisah di lobi. Nate segera berjalan menuju lift diikuti oleh Andria. Di dalam lift suasana sangat hening. Nate berdeham, “Jangan sampai kau terpesona oleh Killian Donovan, Andria.”                   “Y-ya, Sir. Tentu saja tidak,” sahut Andria namun wajahnya tetap saja memerah.                   Ketika pintu lift terbuka, mereka berjalan beriringan menuju kamar yang memang Nate pesan bersebelahan. “Selamat malam, Andria,” ujar Nate datar.                   Andria menganggukan kepala setelah menggesek kartu pada pintu dan membukanya. “Dan kau dengan balutan maxi dress mu terlihat mempesona malam ini,” puji Nate sambil tersenyum misterius dan membuat Andria tersentak kaget.                   “T-terima kasih, Sir dan selamat malam.” Buru-buru Andria menutup pintu dan bersandar di pintu.                   Jantungnya berdegup dengan kencang hanya karena pujian dari Nate. Astaga, ingat Andria kau sudah memiliki tunangan dan akan segera menikah. Ingat juga bahwa bosmu itu playboy dan laki-laki b******k. Andria mengingatkan dirinya namun sepertinya itu hanya angin lalu karena justru benak Andria kembali membayangkan Nate dengan kaus polo dan celana hitamnya membuat Andria ingin pingsan karena tak mampu menahan pesona Nate. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN