"Niar!" ujar Saras terkaget.
===============================
Bagian ini dihilangkan atas permintaan pembaca dan atas izin penulis karena menampilkan kekerasan seksual terhadap anak.
Ayo Selamatkan anak untuk masa depan yang lebih baik.
=======≠============
This section has been removed at the request of the reader and with the author's permission for presenting s****l violence against children.
Let's Save children for better future.
======================
.
Pagi menjelang, angin dingin yang menyusuri lembah menusuk setiap kulit siapa saja yang diterpanya. Matahari mulai mengintip dari ufuk timur sehingga langit berwarna biru gelap mulai memperindah cakrawala.
Aku terbangun dan bersiap menuju ke kebun untuk menebas beberapa tanaman liar yang mengganggu pertumbuhan kopi-kopiku. Sesaat, kuintip ke dalam kamar, Saras dan Niar masih meringkuk kedinginan di dalam kamar. Kulanjutkan aktifitasku dengan memikul sebuah keranjang untuk membawa biji kopiku ke gudang nantinya.
Seperti biasanya, aku selalu memilih biji kopi yang siap masak. Memetik biji kopi setiap pagi memang biasa dilakukan oleh mendiang kakekku. Katanya, kita dapat mengetahui kelembaban bijinya ketika pagi. Tak butuh waktu lama untuk memenuhi keranjangku. Setelah penuh, akupun kembali menuju rumahku.
Tanah yang basah membuat kaki-kakiku bergidik, seakan aku ingin berlari dan menyeduh bubuk kopi yang sudah digiling.
Sesampainya disana, Saras dan Niar sudah terbangun dan duduk diteras rumah menantiku. Tatapan mereka bagai orang asing terutama Niar. Tatapan mata yang membuat hatiku tak enak. Berbeda dengan tatapan sang Ibu yang masih tersipu malu. Aku berpikir mungkin karena kejadian semalam mereka seperti itu.
"Kalian mau makan?"
Saras mengangguk, namun tidak dengan Niar. Ia langsung berdiri dan berlari masuk kerumah. Kulihat Ia memasuki kamarnya dan menutup pintu dengan sedikit membantingnya. Saras yang mengetahui itu langsung berdiri untuk mencoba mengejar putrinya yang sedang marah. Saras setengah berlari ke arah pintu yang sudah tertutup rapat.
"Niar, Niar, buka nak?" Ujarnya seraya menggedor-gedor pintu kayu itu.
Aku yang keheranan, mendekat ke arah Saras dan berbisik, "Sudahlah, nanti juga keluar sendiri kalau Ia lapar--- Kita akan makan ayam pagi ini?" Aku mengucapkan itu dengan suara sedikit lantang agar Niar tergoda untuk keluar kamar.
Aku melangkah menuju dapur di halaman belakang dan disusul oleh Saras. Wajahnya murung dan selalu menunduk ketika ia mulai menyalakan api dari kayu bakar.
"Mana ayamnya?" ujarnya.
Aku menoleh, "Tak ada ayam disini. Kalau mau makan daging, kita harus berburu."
Kulihat Ia berpaling dan menghela nafasnya. Aku hanya terfokus dengan sepotong ubi yang siap untuk dibakar.
"Maaf soal semalam," kataku membuka percakapan diantara kami.
"Hmn," Saras bergumam dan sejenak menyelaraskan hembusan nafasnya. "Tak apa, Niar sudah sering melihatku seperti itu."
"Oh, ya. Kapan pertama kali Ia melihatmu seperti itu?"
"Saat Ia masih berusia 1,5 tahun."
"Apa? Bagaimana bisa Ia melihatmu seperti itu di usia sebelia itu." Kataku keheranan.
"Tuntutan pekerjaan," sejenak Saras terdiam. "Pekerjaan membuat perhatianku terbagi, antara mengurusnya dan melayani para pria hidung belang."
"Hmn, ya... ya..." Aku menyetujui dan mengangguk saja dengan pernyataannya itu. "Lalu, bagaimana Ia bisa melihatmu, Ceritakan?"
Saras lalu melirik genit kepadaku, tatapan dari bola mata berwarna kecoklatan dengan bulu mata yang lentik membuat darahku berdesir. Semakin lama, sosoknya semakin menarik perhatianku. Bukan hanya dari tubuhnya yang aduhai, tetapi dari parasnya yang selalu membayangiku.
Lalu, Saras meneruskan ceritanya.
"Saat itu, Ia tidur disampingku ketika seorang pria--- menggelitik daerah kewanitaanku dengan lidahnya."
"Terus?" Akupun semakin penasaran dengan ceritanya.
"Ya, Ia terbangun saat mendengar desahanku."
"Enak berarti? hehehe," aku terkekeh mengejeknya.
Ia tersenyum sambil menepuk bahuku.
Suara gemuruh petir dari kejauhan mulai terdengar. Musim penghujan sudah hampir tiba di negeri ini. Aku dan Saras duduk seraya menunggu ubi bakar jatah makan siang kami.
"Hujan akan tiba!" Ujarku pelan seraya menyapukan pandangan kearah langit yang mulai diliputi awan gelap.
"Ya, mungkin saja," katanya. Sejenak, kami berdua terdiam tak ada yang bisa dibicarakan. Namun, setelah lama berdiam berdua, Saras mulai berbicara.
"Apakah kau tak punya Istri?"
"Tidak, aku masih terlalu muda untuk beristri. Lagian tak ada perempuan disini."
"Hmn," Ia bergumam seraya menatap jilatan api yang berkobar membakar Ubi kayu.
"Tapi tak apa sekarang, kan ada kamu?" Godaku kepadanya.
Saras hanya tersenyum tersipu seraya mencondongkan tubuhnya kearahku. Sehingga rambutnya yang tergerai menyentuh kulitku. Sepertinya Ia mencoba menggodaku. Dengan penuh keberanian, Kulingkarkan tanganku di pundaknya. Saras hanya diam saja ketika kutarik tubuhnya kearah tubuhku.
Saras mencoba menghindar dariku, tapi kutarik lagi lebih kuat sehingga tubuhnya bersandar di bahuku. Aku tahu, hindarannya itu hanya basa-basi saja.
"Hei, ubinya sudah matang," ujarnya seraya mendorong beberapa kayu yang telah menjadi arang itu.
Aku tak peduli, kuarahkan bibirku mengecup lehernya yang jenjang. Lalu, kugesekan ujung bibirku dengan kulit lehernya. Sehingga tak lama kemudian, Ia melengkuh. Lengkuhan yang sama, seperti setiap malam saat kita mulai bertemu.
Desiran angin tak terhiraukan oleh kulitku. Angin menghitam meninggalkan secercah cahaya di cakrawala yang bergemuruh. Rintikan tangisan langit mulai menetes menyentuh tanah. Udara dingin menusuk di siang hari, namun dinginnya udara tak pengaruh dengan kami berdua.
Sensasi yang meloncat-loncat itu telah tiba dipikiranku. Bagai sebuah gaung yang menghening di sela-sela tebing. Badanku gemetar terperanjat oleh apa yang ada dihadapanku. Ia, wanita yang selama ini memperkenalkan dirinya sebagai Saras, telah merenggut jiwa dan ragaku. Bagai kuncup bunga yang mekar di tengah padang pasir. Ia hadir membawa berbagai rasa, entah cinta, hasrat ataupun nafsu. Setiap kali bercinta dengannya, aku tak pernah merasa puas. Selalu ingin lagi, lagi, dan lagi.
Dirinya yang telah terkulai diatas tanah, berlambarkan kain yang sementara ini menjadi penutup tubuhnya yang sintal. Tak terasa, kejantananku dipenuhi oleh cairan yang berasal dari surga para pria. Entah berapa kali, Ia mengeluarkan cairan itu seiring dengan peluh yang mengucur dari tubuh kami berdua.
Derasnya hujan, menandai pergulatan kami di dalam sebuah gudang penyimpanan kopi bekas milik kakekku. Diriku hanyut dalam setiap hentakan yang merobek dan mengoyak rahimnya. Hentakan itu, seharusnya menjadikan titik nadir rasa kesakitan dalam tubuhnya, namun bahasa tubuhnya bicara berbeda. Seakan dirinya menginginkanku melakukan lagi dan lagi, tanpa ada henti.
Nafas kami saling beradu dan memburu saat kulumat bibirnya yang gincu. Beradab atau tidak, lidah kami saling melilit. Bagai dua ekor ular bertautan yang tak rela dilepaskan. Aroma masam dari tubuhnya, tak membuatku melepaskan kecupanku menyusuri lehernya. Aku bagai seekor singa yang menerkam mangsa yang malang, namun mangsaku ini seakan rela dengan segala perlakuanku.
Mendadak, diriku terhentak dengan kedutan nikmat dari ujung kejantananku. Sensasi yang menggerus menjadi satu setiap rasa di tubuhku. Darah serasa berkumpul di ubun-ubunku. Teriakan dan desahannya terasa samar diiringi oleh gemuruh petir dan rintikan hujan. Badanku bergetar dan memanas bagai terselimut oleh bara api yang besar.
Tak pelak, aku tumbang diatas pelukannya. Tubuhku mengejang menimpa tubuh yang penuh peluh itu. Nafas menderu panjang tak beraturan. Kurasakan setiap detik kucuran cairan yang mengucur melalui rahimnya. Sedikit kurasakan denyutan yang seperti memijat kejantananku yang baru saja menunjukannya kejantanannya.
Dengan sisa tenaga dan dayaku. Aku berbisik, "enak?"
Ia hanya menjawab dengan anggukan kecil saja. Anggukan yang membuat dagunya menyentuh bahuku. Kurasakan hembusan nafasnya yang mendesis tanda Ia tersenyum lebar. Seakan aku telah memberikan sebuah kenikmatan ganjil yang belum pernah Ia rasakan sebelumnya.
Kurebahkan badanku disampingnya, seraya memandangi wajah dan tubuhnya yang tak terbungkus apapun. Kulihat, dadanya bergerak naik turun membusung seiring dengan deru nafasnya yang mulai normal.
"Semangat sekali kau hari ini?" tanyanya diselingi senyum simpul kepadaku.
"Mungkin karena terbawa suasana hujan." Ujarku seraya melayangkan tangan kananku ke buah dadanya yang sekal. Jamariku sedikit bermain di area pusatnya yang mencuat kemerahan. Saras mendengus nikmat sambil meletakan tangan kirinya diatas punggung tangan kananku. Mungkin untuk menjaga tanganku tetap disana atau menjaga agar tanganku tak melukai dirinya.
Jemariku terus bermain memutar dengan gemasnya di area yang mengkal itu. Dengusannya bertambah semakin gencar dengan deruan angin nafasnya yang menyentuh kulitku. Melihat bahasa tubuhnya, kurebahkan tubuhku sedikit kebawah sehingga kepalaku sejajar dengan dadanya yang indah.
Tanpa perintah lagi, kulancarkan bibirku kearah p****g susunya yang memerah dan mengeras. Saras mendongak dan mendesah nikmat.
"Aiiisshhh."
Kujulurkan lidahku menyapu secara cepat gundukan daging kecil tempat keluarnya air s**u itu. Daging kecil itu mengeras dan lentur ketika ujung lidahku bergerak cepat. Tak pelak, tangan kanannya melingkar di kepalaku, sehingga aq bersandar di bahunya. Jemarinya meremas rambutku dan menekan kepalaku agar hisapanku semakin kuat. Ia pun meracau tak begitu jelas ditelingaku.
"Teee...ruussss, Eee... naaaakkk! Aaahhh."
Tanganku kananku tak henti-hentinya memberikan sensasi di p****g kirinya yang sama mencuatnya dengan yang kanan. Serasa keras dan lentur, bagai sebuah mainan karet yang dimainkan anak kecil. Sekarang aku tahu, mengapa anak kecil suka dengan benda mainan orang dewasa ini. Buktinya, putrinya tak henti-hentinya menyusu padanya.
Badannya menggeliat dan mengejang. Dadanya membusung dan tanganya menekan kepalaku ke arah dadanya yang empuk. Kejangan tubuhnya diiringi dengan teriakan yang tertahan. Kepalanya mendongak dan matanya terlihat memutih. Ia bagai merasakan sensasi yang sama ketika aku menghentak rahimnya tadi.
Waktu terasa berhenti dan hujan tak lagi turun. Tubuhnya memanas seiring dengan peluh keringat yang seperti embun di pagi hari. Kedua kakinya tertutup dan bergesekan satu sama lain, seakan Ia menikmati gesekan antara lubang kenikmatannya. Aroma anyir tercium di hidungku ketika Ia berteriak keras disertai dengan gerakan kedua pahanya yang terbuka secara mendadak.
"Aaaakkkhhhh!"
Lalu, diantara kedua selangkangannya itu, menyemprot sebuah cairan putih yang bening, namun tak seperti a******i atau air kencing. Cairan itu menyemprot keras keras selama tiga kali, yang pertama keras, yang kedua pelan, dan yang terakhir hanya luberan yang membasahi bulu-bulu halusnya saja.
Kurasakan tubuhnya memanas dan bergetar. Nafasnya kembali teratur dan tenggorokannya sedikit tersedak. Aku melepaskan hisapan pada putingnya dan bertanya padanya, "Kenapa?"
Ia tak menjawab, tapi tersenyum dan mengecup pipiku. Kulihat pipinya memerah tersipu. Matanya memandangku seakan aku seorang pangeran yang menyelamatkannya dari penjahat.
"Padahal cuma dihisap, kok kejang seperti itu?" tanyaku lagi seraya mengusap bongkahan kedua bukit kenyal itu.
"Aku tak tahan jika ada yang memainkan dadaku." Jawabnya.
"Jadi, aku mainkan lagi ya...!" Dengan segera, kutancapkan gigiku di bagian yang kenyal itu. Ia pun menepis, namun tepisan itu hanyalah tepisan palsu untuk menggodaku atau untuk meningkatkan gairahku.
Siang hari sampai sore tiba, aku dengan gencarnya memainkan kedua p****g s**u itu secara bergantian. Entah berapa kali, Ia mengejang dengan teriakan tertahan. Namun aku tetap melakukan pekerjaanku untuk merangsang dirinya. Tapi yang aku heran, Ia sepertinya menginginkan lagi dan lagi, seakan kebosanan tak pernah ada dalam dirinya. Saat kuhisap, Ia selalu melengkuh dan menegang kembali. Dan cairan itu selalu memuntah dari lubang kenikmatannya. Aku yang jalang, tak henti-hentinya memaksanya untuk menegang kembali. Sampai malam tiba.
Malam menjelang, suara serangga malam menghibur telinga kami dalam santap malam kami. Tak ada yang istimewa, hanya ubi yang direbus di atas tungku dan segelas teh yang masing-masing berada di tangan. Mereka berdua, Saras dan Niar, makan dengan lahapnya. Sepertinya, mereka tak makan selama beberapa hari.
Saras, melahap ubinya dengan potongan besar. Wajar saja, seharian tenaganya terkuras merasakan desahan dan kejangan atas perlakuanku. Niar, gadis kecil Saras, seharian ia mengurung dirinya di kamar. Mungkin ia tertidur ketika hujan turun.
Perilaku mereka membuat aku terkekeh ketika melihat Niar tersedak oleh ubi dengan potongan yang lebih besar dari kerongkongannya.
Aku semakin simpatik pada mereka walaupun perasaan yang campur aduk menggelayut di benakku. Pikiran antara nafsu dan kasihan. Manakah yang harus aku dahulukan? Terutama kepada Niar, seharusnya Ia bermain dengan anak sebayanya. Sekarang Ia terjebak antara hubungan gelap antara aku dan ibunya.
Aku ingat, Niar suka makan daging, jadi aku berencana untuk berburu malam ini. Kelinci hutan selalu keluar sarang ketika hujan reda untuk menguras lubang sarangnya yang lembab.
Langit malam begitu cerah, karena hujan mengguyur desa dari pagi hingga siang. Aku melihat mereka berdua memasuki pintu kamar, sesaat setelah aku berangkat menuju gelapnya hutan.
Cahaya temaram dari obor menerangi jalan setapak menuju hutan dimana kelinci-kelinci hutan beranak pinak dengan bebasnya, karena binatang pemangsa jarang terlihat disini. Hanya sekitar setahun yang lalu, seorang warga kebetulan bertemu dengan seekor harimau, setelah itu tak terdengar kabar ada hewan buas lagi di hutan dekat desaku ini.
Busur panah tergenggam erat di tanganku dan anak panah berserta tempatnya tersemat di punggungku. Tak lupa, aku membawa golok kalau sewaktu-waktu ada binatang buas yang menerkam dan aku tak sempat menarik busurku.
Tanah begitu lembab dan dedaunan bergerak mengikuti arah angin. Hutan ini adalah tempat bermainku semasa kecil, jadi aku masih ingat dimana letakku walau hanya obor yang menerangi jalanku. Setelah tak lama berjalan, aku menemukan sebuah pondokan kayu diatas pohon jati yang besar. Sebenarnya bukan pondokan, hanya papan yang dahulu dibuat olehku dan teman-temanku. Papan itu disusun menyerupai sebuah pijakan di atas pohon. Dahulu kami membuat dinding dengan anyaman bambu, namun dinding itu telah rusak tergerus oleh waktu. Sekarang pondokan itu berubah menjadi markas tempat berburu.
Aku yang cekatan dengan mudah memanjat pohon dan sudah berdiri di atas pijakan papan diatas pohon. Kupasang obor itu di dekat genangan air tak jauh dari pohon tempatku memanjat. Genangan itu berguna untuk menarik kelinci yang keluar untuk minum di malam hari. Biasanya, disaat malam hari, kelinci betina besar akan keluar disaat kelinci jantan mengurus anak-anaknya.
Setelah lama menunggu, tak ada pergerakan dari manapun. Aku heran, kenapa kelinci-kelinci ini? Biasanya mereka melompat kesana kemari dari balik semak dan menuju ke oborku. Kelinci juga suka sekali dengan udara hangat obor. Namun, tak disangka. Seekor rusa yang terpisah dari induknya mendekat genangan air. Aku tahu itu rusa, karena dari caranya berlari menimbulkan suara hentakan seperti lompatan.
Kuatur nafasku serendah mungkin, agar tak menimbulkan rasa curiga terhadap buruanku. Benar tebakanku, seekor rusa betina, berdiri mendekati obor yang menyala temaram. Hewan memang jarang sekali melihat api kecil seperti ini, Rusa itu melihat seakan terkagum dengan nyala obor yang kutancapkan dekat genangan air. Rusa itu berjalan perlahan mendekati genangan dan menjulurkan lehernya ke arah genangan air. Sejenak sang Rusa menikmati kesegeran air yang melaju memasuki kerongkongannya.
Aku yang melihat kesempatan ini, tak menyia-nyia kannya. Segera kutarik busur panah berikut anak panahnya.
Lalu, anak penah melesat menembus kegelapan dan menusuk leher Rusa yang sempoyongan. Segera, aku bergeges turun dari pohon dan berlari sambil membawa golok. Dengan sekali tusukan di d**a, Rusa itu telah mati.
Nafasku terengah antara senang dan tegang. Buruan yang jarang sekali di dapat oleh pemburu sekalipun. Akhirnya aku mendapatkannya. Rusa itu begitu berat, sehingga aku harus menyeretnya menuju rumahku. Aku bersyukur karena tempat buruanku tak begitu jauh.
Dengan sekuat tenaga, aku berjalan tertatih menyeret tubuh Rusa malang buruanku. Lalu, aku letakkan Rusa itu dekat dengan gudang. Aku menggantungnya dan mengasapinya agar bau Rusa tak tercium oleh binatang buas. Bisa gawat jika ada harimau mendekat karena aku menyimpan daging Rusa.
Aku meneguk air dari sebuah kendi tempat minumku. Rasanya begitu segar sesegar daging Rusa buruanku. Aku puas dengan hasil buruan malam ini, mungkin ini limpahan berkah karena aku menolong dua orang yang kesusahan.
Peluh menetes di sekujur tubuhku yang kekar. Peluh buah dari usaha berburuku malam ini, ataulebih tepatnya keberuntunganku malam ini. Udara yang dingin serasa tak berpengaruh padaku. Aku melangkahkan kakiku kearah sumur, untuk sejenak membasahi badanku yang penuh keringat.
Air dingin mengguyur seluruh tubuhku bagaikan air terjun yang menyentuh bebatuan. Rasanya begitu menyegarkan ketika air melewati setiap lekuk tubuhku yang kekar dengan d**a yang bidang. Tak peduli, berapa ember aku habiskan. Yang pasti tubuhku dengan perasaanku seolah bergerak seirama. Pikiranku diliputi rasa bahagia karena buruanku cukup besar. Disamping itu, esok pasti ada yang lebih bahagia dari aku.
Perasaanku berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Dulu, sebelum aku bertemu dengan Saras dan Niar. Aku selalu mementingkan diriku sendiri. Tak ada yang perlu dipikirkan kecuali mempertahankan perkebunan kopi milik kakekku. Bahkan saat aku ke kota, aku selalu mementingkan keperluanku. Seperti membeli peralatan, bahan makanan, pakaian, dan tentunya menukar biji kopi terbaikku dengan sekantung Kepeng. Semua aku lakukan sendiri sejak nenekku meninggal. Saat nenekku masih hidupun, aku selalu melakukannya sendiri.
Pikiranku hanyut dalam ingatan masa laluku yang tak begitu menarik ketika aku selesei membersihkan badanku. Lalu, aku keluar dan bersiap untuk tidur. Malam masih sangat gelap diterangi cahaya lampu sentir yang temaram. Aku terbaring di ruang tamu beralaskan tikar dan sendirian.
Lagi-lagi, pikiranku melayang memikirkan wanita yang sedang terlelap bersama putrinya di kamar. Aku bermaksud membangunkannya, namun aku urungkan niatku karena kasihan padanya. Siang tadi, hujan menjadi saksi percintaan kami yang memanas di dalam gudang. Dari siang sampai hampir petang, aku membuat dirinya kelojotan dan mengerang tak tertahankan.
Semua itu buah dari kebaikanku menolongnya ketika berada di kota Ardaka. Tak kusangka, Ia telah memberikan tubuhnya kepadaku, secara cuma-cuma. Berbeda dengan gadis lain di kota, mereka selalu meminta bayaran 1 kepeng emas jika ingin berkencan. Tentu saja, 1 kepeng emas itu sama dengan 2 karung biji kopiku. Kuhargai biji kopiku 5 kepeng perak atau 50 kepeng perunggu. Itu harga yang cukup wajar di pasaran, mengingat segelas kopi seduh hanya 3 kepeng perunggu. Terlebih lagi, kopiku harus di tumbuh dan dikeringkan dulu, sebelum siap seduh.
Perasaanku kembali melayang, ketika suara serangga seakan bernyanyi, menyanyikan lagu di kala malam yang tenang. Aku teringat, ketika aku b******u dengan Saras di kereta kudaku. Sungguh, pengalaman yang tak kulupakan untuk saat ini.
Aku bangkit dari pembaringanku dan terduduk berselimut sarung yang menutupi tubuhku dari hawa dingin dan nyamuk yang menyerang. Aku menatap pintu kamar dengan cahaya temaram mengintip dari sela-sela kayu yang longgar. Aku berdiri dan melangkah pelan menuju pintu tempat Saras dan Niar terlelap.
Kudorong pelan pintu itu, dan mataku memincing ke arah dua kaum hawa yang tertidur berpelukan. Saras, berbaring memunggungi pintu seraya memeluk buah hatinya yang terlelap disampingnya. Maksud hati ingin menutup pintu lagi, malah aku membuka pintu itu. Karena, Deraian rambut Saras yang menyelip di sela belikatnya, membuatku tergoda. Inginku berbaring disampingnya, seraya mengecup bagian punggung, serta lehernya. Inginku melingkarkan tanganku dan meremas kedua bukit kembarnya yang selalu menggodaku.
Perlahan tapi pasti, kumelangkah mendekati dirinya. Kujularkan tanganku mengusap lengannya yang mulus tanpa penghalang apapun. Lalu, menyikap rambut yang tergerai di lehernya. Leher yang jenjang, yang beberapa hari ini menjadi sasaran empuk nafsuku. Perlahan aku berjongkok dan mendekatkan wajah serta hidungku mengendus leher itu. Aromanya begitu khas dan menggodaku. Perlahan kukecup pelan, Ia tetap tak bereaksi apapun. Hanya desahan nafas yang pelan dan terdengar samar.
Dari balik katupan bibirku, muncullah lidahku yang siap memberikan sensasi tak terucapkan. Kusapukan lidahku, menyentuh seluruh bagian lehernya. Layaknya ular yang akan menelan mangsanya. Dari mulai pangkal hingga ujung lehernya kujamahi dengan lidahku.