Chapter 2

1003 Kata
"Kamu egois!" Kalimat itu nyatanya tidak bisa hilang dari ingatanku, selalu terngiang dan membekas bersamaan dengan luka lebam di pipi dan keningku yang belum kunjung hilang meski sudah lima hari berlalu.  "Mati saja! Bunuh! Hancurkan mereka!" Bisikan yang entah dari mana datangnya, terus mengomporiku. Menuntunku untuk mengakhiri kesakitan yang tidak ada ujungnya dengan cara bunuh diri. Memotong pergelangan tangan dengan pisau atau menegak beberapa obat dari warung, seperti yang pernah kulakukan dulu, saat semua orang memandang rendah aku hanya gara-gara warna kulitku yang sawo matang cenderung busuk. Tidak seperti kakak perempuanku yang putih bersih bak porselen. "Tidak!" Aku berusaha menghalau bisikan itu dengan memukul-mukul kepalaku. Namun, nihil. Bisikan itu bahkan semakin bertingkah berbarengan dengan kegiatan jari-jariku yang menari di atas ponsel. Membuka galeri, lalu tampaklah hasil screen shoot isi percakapan antara Raga dengan gadis ikan itu. [Aku mau main ke Tasik. Ongkosin, ya?] [Ya... ya...?] [Atuh ih...] Benar dugaanku. Raga sepertinya sudah gila dan mungkin akan segera menjadi penghuni Rumah Sakit Jiwa jika dalam beberapa hari kedepan tidak segera sadar. Lihat saja! Bagaimana mungkin suami yang mengaku alim ini lebih memilih perempuan yang suka merengek ketimbang istri yang sudah melahirkan dan mengurus keperluannya selama dua puluh empat jam tanpa gaji. [Sakit apa, Neng, kok bisa pulang?] [Gejala tipes. Kebanyakan makan pedas.] [Makannya jangan banyak pedas. Cepat sembuh, Neng.] [Istirahat yang cukup. Tidur. Good night.] Satu buah kontak tanpa nama yang tanpa sengaja kubuka kembali menampilkan pesan penuh perhatian dari Raga. Masih mantan murid Raga yang beberapa bulan lalu sudah lulus dan sudah berstatus mahasiswa. Mungkin masih dianggap normal bagi sebagian orang. Tapi, tidak untukku. Raga tidak pernah seperhatian itu padaku, dan Raga juga sudah tidak pernah Lego memanggilku dengan sebutan "Neng" yang pernah menjadi panggilan sayangnya untukku. Aku sudah tidak kuat lagi membaca pesan-pesan Raga. Kututup galeri ponselku berbarengan dengan dipanggilnya namaku oleh petugas rumah sakit. Iya, kali ini aku tengah berada di Rumah Sakit untuk memeriksakan kondisiku. Aku yang sudah tidak tahan dengan perubahan mood dan emosi yang selalu naik turun semenjak mengetahui perselingkuhan Raga, memutuskan untuk menemui psikiater. Ingin berkonsultasi supaya pikiranku kembali sehat. "Sejak kapan anda mulai berpikiran untuk mengakhiri hidup?" tanya asisten dokter psikiater pribadiku.  Aku terdiam. Lalu menatap ke sekeliling ruangan. Tidak hanya ada kami di sana. Beberapa pasien yang tengah registrasi dan dua mahasiswa magang terlihat sedang mengobrol dengan beberapa pasien lanjut usia membahas perkembangan kesehatan mereka. Sementara itu, aku yang merupakan pasien baru, masih harus mengisi beberapa data sembari melakukan dialog. Duduk di tengah ruangan dengan emosi yang siap meledak. "Ayo, bicara saja sama ibu! Ceritakan semuanya!" Aku menangis sesenggukan tatkala bayangan kelam memenuhi kepalaku. Masa kecilku yang penuh bully, masa remaja yang penuh tekanan, serta pernikahanku yang diwarnai penghianatan. "A-aku... hancur," hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku. Dan, baru lancar berbicara setelah perempuan dihadapanku menggenggam tanganku.  "Aku cape. Semua pengorbananku untuk Raga ternyata dibalas penghianatan. Dia bahkan memukulku saat aku berusaha bunuh diri. Padahal penyebab aku mau bunuh diri adalah dirinya. Dia tidak mau menceraikan aku, tapi tidak berani mengatakan gadis itu penggoda dan penghancur pernikahan kami. Apa yang harus kulakukan?" Aku tidak peduli dengan orang-orang yang menatapku dan tetap melanjutkan ocehanku sembari menangis. Aku juga membuka masker dan menunjukkan luka lebam berwarna biru keunguan di bawah mata kiri dan kening. "Aku ingin melanjutkan pernikahan karena kasihan pada anak-anak. Tapi... aku juga tidak bisa bohong setiap kali melihat Raga, emosiku selalu meluap-luap." "Tenang saja. Pikirkan baik-baik. Semua keputusan ada di tangan kamu. Kamu pasti menyayangi anakmu, tapi kamu juga berhak untuk bahagia. Ingat, semua keputusan pasti ada sisi negatif dan positifnya. Tapi, apapun pilihanmu akan selalu baik selama kamu ada di jalan Tuhan."  Aku sangat setuju dengan ucapan perempuan setengah baya di hadapanku. Aku harus bahagia. Aku tidak boleh hanya memikirkan anak-anak dan mengorbankan diriku untuk mereka. Maksudku, aku tidak harus kembali pada Raga untuk membahagiakan anak-anak. Masih ada cara lain. Dan, sepertinya aku akan menempuh jalan itu.  "I-ya." Aku sudah yakin dengan keputusanku saat berbincang tadi. Yakin akan mencari kebahagiaan dan segera bangkit dari rasa sakit ini. Tapi, sepertinya itu tidak mudah. Moodku berubah, sangat drastis, sesaat setelah bertegur sapa dengan salah satu pasien yang duduk mengantri disebelahku.  "Saya sudah sepuluh tahun berobat ke sini," jawab ibu paruh baya berkerudung merah jambu, yang duduk disebelah kiriku.  "Kalau saya sudah hampir lima belas tahun. Semoga hari ini dosisku tidak dinaikan lagi. Soalnya bapak kembali susah tidur." Kali ini aku mendengar jawaban dari seorang bapak berambut putih yang kuperkirakan berumur lima puluh ke atas. Gurat wajahnya terlihat sayu, tapi memiliki tubuh bugar untuk laki-laki seusianya. "Kalau, Eneng, sudah berapa lama?" kini giliran mereka yang bertanya. Hampir bersamaan. Dengan enggan, aku tersenyum. "B-baru... pertama kali," jawabku canggung. Setelah itu kami kembali terlibat obrolan yang sebagian besar aku hanya berperan sebagai pendengar. Mereka menceritakan awal mula menjadi pasien di sini. Kehilangan suami yang meninggal secara mendadak membuat ibu berkerudung merah jambu itu mengasingkan diri dari anak-anaknya. Mengunci diri di kamar hingga ditemukan pingsan. Lalu, seorang bapak yang merasa bersalah setelah kehilangan anaknya yang ternyata akibat keteledorannya.  Tuhan... Apakah aku akan bernasib sama seperti mereka? Menghabiskan sebagian sisa hidupku di sini?  Aku mengelus d**a. Berusaha menghilangkan kegundahan hati yang terus menggerogoti pikiranku dan mulai memberi efek buruk pada tubuh. Nafsu makanku hilang yang menyebabkan produksi asiku semakin berkurang. Begitu pula dengan berat tubuhku yang kuperkirakan sudah turun lima kilogram.  Kali ini aku benar-benar di titik terendah. Tidak lagi memiliki kepercayaan diri untuk melanjutkan hidup. Ingin rasanya aku menyeret mereka yang sudah menjadi penyebab depresiku. Harusnya gadis sialan itu dan Raga yang ada di sini. Bukan aku! "Tuhan, tolong balas rasa sakitku ini. Aku ingin melihat mereka menderita seperti halnya diriku. Atau paling tidak, aku ingin melihat mereka menyesali perbuatannya karena orang yang disayanginya mengalami hal sama sepertiku." Doa yang seharusnya tidak pernah terucap itu, kembali kuucapkan. Dan, kini statuski yang baik dan suka memaafkan sudah ganti. Aku jadi pendendam. Lebih dari itu, hatiku mati karena tidak sanggup menahan beban yang kupikul. Aku yang sekarang sering menghabiskan waktuku dengan hal tidak berguna. Berkenalan dengan banyak lawan jenis lewat sosial media dan dengan sengaja mencari perhatian dari mereka. Seperti mencari pembenaran atas rasa frustaskiku yang ingin bunuh diri. Itu wajar bagi penderita depresi dan satu-satunya yang harus disalahkan adalah Raga. Sendirian. [] ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN