Part 14

2004 Kata
HAMPIR satu jam Lea bersimpuh dalam kegelisahan di depan ruangan tempat Eyang ditangani. Pikiran gadis itu berkecamuk. Antara takut, cemas dan khawatir menjadi satu. Raja ikut berjongkok dan mengusap pelan bahu Lea. Tak ada kalimat yang terlontar dari bibirnya, dan tak ada penolakan sama sekali dari Lea. Keluarga besar Adiwangsa ikut memadati lorong itu. Kedua orang tua Lea, Om Mahes dan Tante Dwi, juga Ergan, kakak lelaki Lea. Sementara keluarga Lili belum tiba. Mbak Rene dan suami serta kedua anaknya sudah kembali ke Australia begitu acara resepsi selesai tadi malam. Mbok Sar yang duduk di salah satu kursi tunggu menatap Lea dengan pandangan iba. Raja sadari itu. Wanita yang sudah puluhan tahun menjadi asisten rumah tangga keluarga Adiwangsa itu seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Begitu matanya beradu dengan mata Raja yang menatapnya penasaran, wanita bertubuh tambun itu langsung mengalihkan pandangannya dengan kikuk. Ada apa sebenarnya? Lili datang dengan Mama dan Papanya. Gadis itu langsung menuju kearah Lea dan memeluk sepupunya itu erat - erat. Raja sedikit menyingkir memberikan tempat bagi Lili untuk bebas memeluk Lea. Sementara tuan dan nyonya Saka Adiwangsa berbaur dengan sang kakak dan adiknya di ruang tunggu. Isakan Lea langsung pecah begitu gadis itu berada dalam rengkuhan Lili. Lili juga tak sanggup menahan airmatanya. Merekalah selama ini yang paling tahu kondisi Eyang... Mereka bertigalah-Lea, Lili, dan Diandra- yang selama ini berada disamping Eyang... Dan merekalah yang paling menyayangi Eyang di dunia ini... Lea yakin itu! Bagaimana tidak? Lihat saja  orangtua mereka! Haydan Adiwangsa dan Risaka Adiwangsa yang terhormat itu bukannya mengkhawatirkan ibu mereka yang sedang berjuang di dalam ruangan sana, tapi malah sibuk membahas bisnis dan hal memuakkan lainnya di telinga Lea. Sedangkan para istri mereka sesekali ikut nimbrung pembicaraan suami mereka. Hanya Om Mahes dan Tante Dwi yang benar - benar khawatir dengan kondisi Eyang. Lea menghela napas lelah disela isakannya. Hatinya sangat sedih saat ini. Seharusnya sudah cukup ia terpukul karena keadaan Eyang, dan sekarang ia juga tak bisa menahan geram melihat keempat orang yang tak tahu situasi itu. Apa salahnya menunjukkan sedikit kekhawatiran dan simpati? Toh, Eyang adalah ibu kandung mereka. Ibu kandung! "Kamu tunggu sebentar disini, aku beli makanan untuk kamu, okay? Kamu belum makan siang dari tadi..." kata Raja seraya mengusap punggung Lea. Lea tak menjawab, hanya mengangguk mengiyakan. "Tolong jagain Lea sebentar ya Li..." Lili mengangguk pelan dan bergeser dari hadapan Lea ke samping sepupunya itu begitu Raja bangkit. Ekor matanya sempat menangkap sosok Raja yang menghampiri Mbok Sar dan membawa wanita bertumbuh tambun itu menyusuri lorong menjauhi tempat mereka berkumpul. Gadis itu penasaran, tapi tak mempermasalahkan sama sekali dan kembali menenangkan Lea. *** "Ada apa sebenarnya Mbok?" tanya Raja pada Mbok Sar begitu mereka tiba di taman rumah sakit. Raja tahu, Mbok Sar mengetahui sesuatu yang menyebabkan Eyang sampai collapse seperti itu. Mbok Sar memilin selendangnya dengan gugup. Wanita tua itu menunduk dalam takut - takut. Raja menghela napas. Sedikit canggung memikirkan bagaimana caranya agar Mbok Sar mau bicara jujur padanya. Mbok Sar sudah puluhan tahun menjadi orang kepercayaan Eyang dan keluarga Adiwangsa. Wanita itu pasti menyimpan banyak rahasia keluarga istrinya itu di kantongnya. "Mbok bisa kasi tahu saya apa yang terjadi?" tanya Raja lembut. Ia mulai menerapkan teori pendekatan psikologis pada wanita disampingnya. "Saya berhak tahu apa yang terjadi, Mbok! Ini berhubungan dengan Lea, istri saya. Mbok nggak lupa kan kalau saya juga bagian dari keluarga Adiwangsa sekarang? Saya nggak mau istri saya terus - terusan bersedih seperti sekarang..." lanjutnya. Raja menelan ludah, tak percaya kata - kata seperti itu keluar dari bibirnya. Mbok Sar menatap Raja dengan ragu - ragu. Ia tak terbiasa membicarakan prihal keluarga majikannya pada orang lain. Tapi ia kembali ingat, ini demi Lea. Noni Lea-nya. Dan seperti kata Raja tadi, pria muda itu adalah bagian dari keluarga Adiwangsa sekarang. "Emm... Anu, itu den..." "Ya?" "Nyonya begitu setelah berdebat dengan Tuan Haydan tadi..." Raja mengerutkan alis. "Maksud Mbok?" "Tuan Haydan sama nyonya rencananya pulang ke Swedia sore ini bertepatan dengan keberangkatan Noni sama Aden ke Jepang buat hanimun. Nyonya basa - basi nanya kenapa nggak nunggu den Ergan aja, den Ergan pulang ke Kanada kan besok pagi. Katanya biar sekalian. Tapi Tuan nolak dengan berbagai alasan. "Entah gimana ceritanya, tiba - tiba mereka ngebahas Non Lea. Tuan bilang, dia pulang juga karena terpaksa. Nyonya marah besar, selama ini Tuan dan Nyonya muda nggak pernah memperhatikan Non Lea, dianggap nggak ada. Kata Nyonya non Lea nggak cuma butuh uang, tapi juga kasih sayang. Harta nyonya lebih dari cukup buat menghidupi non Lea. "Trus... Trus Tuan tiba - tiba mengungkit kekurangan Non Lea. Katanya dia anak nggak diinginkan. Seharusnya Nona Rene sama den Ergan aja yang pantas jadi anaknya Tuan Haydan. Mereka nggak pernah mengecewakan orang tua. Begitulah kira - kira den, Mbok juga gak bisa nyampein detil ucapan Tuan dengan mulut Mbok sendiri, nggak sanggup rasanya. Kasihan Non Lea..." Raja terdiam mendengar penuturan Mbok Sar. Ia tak menyangka Papa dan Mama mertuanya itu sampai berbicara seperti itu pada Eyang tentang Lea. Selama ini Papa dan Mama mertuanya bersikap sangat baik dan manis di depannya. Lea pasti akan sangat sedih sekali jika ia sampai mengetahui tentang hal ini. "Tuan Haydan itu seperti duplikatnya Tuan besar, den. Tuan besar sewaktu masih hidup juga begitu. Persis sekali. Sama - sama egois dan mau menang sendiri. Padahal nyonya besar itu ibu kandungnya lho. Apa salahnya ngomong lemah lembut dan baik - baik begitu kan ya? Nyonya nggak pernah kasar kalau bicara." kata Mbok Sar lagi. Raja beringsut dari duduknya dan menatap Mbok Sar yang menyeka sudut matanya yang berair dengan selendang hijau lemonnya. "Kalau saya minta satu hal boleh nggak, mbok?" tanya Raja. Mbok Sar langsung menatap Raja antusias. "Kalau Lea tanya, mbok jangan cerita apa - apa, oke? Bilang aja Eyang kecapean gitu..." Mbok Sar langsung mengangguk. "Iya den, Mbok juga nggak mau Noni Lea tambah sedih, den Raja. Kasihan dia, selama ini dia sudah begitu tabah dengan cacian keluarganya." Raja tersenyum. "Makasih mbok..." Mbok Sar mengangguk. "Mbok Sar masuk dulu, saya mau beli makanan dulu buat Lea, kasian dia belum makan siang..." Mbok Sar bangkit dari duduknya setelah mengangguk dan pamit pada Raja. Raja menerawang langit siang menjelang petang rumah sakit itu. Cerah. Beberapa gumpal awan beriring dan membentuk pola cantik di atas sana. "Lo pasti kaget ngeliat gimana lucunya keluarga besar gue, kan?" sebuah suara membuat Raja dengan cepat menolehkan kepalanya. Disebelahnya sudah duduk Lili, sepupu iparnya itu yang entah datang dari mana sambil menenteng sebuah plastik besar. "Lea itu orang yang paling kuat yang pernah gue kenal, kak. Gue aja nggak akan pernah bisa jadi setegar dia kalau keluarga gue ngomongin dan cemoohin gue macem - macem..." Kata Lili. "Dia nggak pernah nangis karena cemoohan-cemoohan itu, seakan itu bukan apa - apa buat dia. Tapi dia akan murah ngeluarin airmatanya karena orang yang dia sayang. Nanti lo pasti ngerasain, cara Lea mencintai seseorang itu bener - bener luar biasa." Raja bungkam mendengar ucapan Lili. "Gue mohon banget sama lo, kak. Tolong bahagiain Lea walaupun lo gak cinta sama dia. Meskipun Om dan Tante gak peduli sama Lea, tapi Eyang, gue, Diandra, Om Mahes dan Tante Dwi sayang banget sama dia. "Gue tahu, cara Om Haydan terkesan kayak ngejual anak, tapi lo---" "Gue akan bahagiain Lea, Li. Tenang aja..." kata Raja tegas. Ia tak tahan mendengar lebih banyak tentang bagaimana perlakuan keluarga besar Adiwangsa pada istrinya. Lili tersenyum lebar. "Gue tau lo belum cinta sama sepupu gue, tapi gue akan percaya sama lo. Kalau sekali aja lo macem - macem, gue bakal suruh Diandra buat tendang hidung lo sampai patah! Lo tau Diandra itu atlet taekwondo nasional kan?" Raja bergidik mendengar ancaman Lili. Pria itu menatap Lili horor sambil mengusap - usap hidung mancungnya dengan penuh kasih sayang. Kalau hidung patah, ntar gak ganteng lagi gimana? Aih... Aset gue nih... Lili terbahak melihat reaksi Raja. "Lo badan aja yang gede, kak! Segitu aja takut. Diandra malah pernah nendang 'itu'nya temen cowok kita waktu masih SMA dulu gara - gara tuh cowok gak sengaja megang bokongnya. Tuh cowok sampai gak masuk sekolah seminggu loh karena dirawat di rumah sakit." Raja membulatkan matanya. "Hah? Beneran?" Lili mengangguk cepat. "Ya benerlah, ngapain gue boong coba? Dan lo juga gak bakal percaya kalau gue bilang siapa cowok itu!" "Siapa emangnya? Gue kenal?" tanya Raja tertarik. Lili menatap Raja beberapa detik kemudian berdecak. "Nggak usah gue kasi tau deh! Aib itu mah. Lagian kenapa kita jadi bahas Diandra? Ayo masuk kedalam. Lea pasti udah nungguin, tadi dia gue tinggal sama Kak Ergan dan Tante Dwi." "Lo masuk dulu, ntar gue nyusul. Gue mau beli makan dulu buat Lea." "Nggak usah, ini udah gue beliin." Lili mengacungkan kertas plastik disampingnya. "Gue beli waktu lo ngobrol sama mbok Sar tadi..." *** Tidak ada Jepang, dan tidak juga ada honeymoon. Lea dan Raja saat ini malah duduk terpekur di rumah sakit, menunggui sang Eyang yang belum juga kunjung membuka mata. "Maaf ya kak, kita batal ke Jepang nya." kata Lea. Gadis itu duduk disamping Raja di sofa kamar. Hanya ada Lea, Raja, dan Tante Dwi yang berada di kamar itu saat ini. Om Mahes sedang mengurus sesuatu di bagian administrasi. Lili ikut pulang dengan kedua orang tuanya dan berjanji akan datang kembali besok pagi, sementara Diandra yang tadi baru saja tiba sudah diseret kak Ergan entah kemana. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Itu tandanya sudah hampir sepuluh jam mereka berada di rumah sakit dan Eyang belum juga sadarkan diri. Lea sangat khawatir. Baru kali ini Eyang collapse sampai dua kali dalam waktu sebulan. Karena sesak napas pula. Lea tahu, Eyang memang pernah punya riwayat asma dulu, tapi sudah lama sekali tidak kambuh. Tapi saat ini penyakit yang Lea sangka sudah sembuh itu malah kembali menyerang Eyang. "It's okay, Eyang lebih penting dari Jepang, Aleah." kata Raja ringan. Pria itu sibuk dengan tablet di tangannya. Mengecek beberapa email yang masuk. "Ya, kayaknya kakak juga lagi banyak kerjaan..." kata Lea pelan. Raja mengangkat wajahnya dari layar tabletnya dan menatap Lea intens. "Kita bisa jalan - jalan lain kali Aleah. Setelah Eyang kamu sembuh dan pekerjaan aku bisa ditinggal, aku akan ambil cuti dua minggu dan bawa kamu jalan - jalan ke Jepang." Lea mengangguk. Ia tak marah sama sekali. Raja benar, Eyang lebih penting dari apapun saat ini. Hanya saja, kenyataan mereka batal ke Jepang membuatnya sedikit sedih. Ia sudah menantikan keberangkatan mereka sejak seminggu yang lalu saat Mommy Tya membelikan tiket honeymoon untuknya dan Raja. Ia sungguh penasaran karena baru kali ini akan menjejakkan kaki di negeri sakura itu. "Lagipula sekarang belum masuk musim semi disana, gak ada bunga sakura..." kata Raja lagi. Pria itu sudah kembali fokus dengan tabletnya. Lea mengernyit. Darimana kak Raja tahu aku mau lihat bunga sakura? Lea memperhatikan Raja yang tampak serius. Bibirnya perlahan tertarik membentuk senyum tipis melihat suaminya yang tampak berbeda malam ini. Raja tampak lebih hangat dan... entahlah... "Makasih ya kak, udah mau nemenin Lea jagain Eyang disini..." Kata Lea. "Hmm..." kata Raja. "Dari pada aku diomelin Mommy. Bikin sakit kepala..." Lea mengerjap tak percaya mendengar jawaban Raja. Jadi, dia bertahan disini dari tadi cuma karena takut diomelin Mommy? Bukan ikhlas dari lubuk hati sendiri, gitu? Emang ya, kalau dasarnya raja drama tetap aja raja drama! Nyesel ngomong dia hangat.... "Lea, Raja..." suara Tante Dwi merebut atensi pasangan suami istri yang duduk di sofa itu. "Kalian keluar makan dulu gih, udah malam loh ini!" kata Tante Dwi. "Nanti aja Tante, bareng Tante..." kata Lea. Ia tak tega membiarkan wanita cantik itu menunggui Eyang sendirian. "Jangan khawatirin Tante. Kalian duluan aja. Tante nungguin Om kamu. Nanti kalau kalian selesai kita gantian jagain Eyang. Raja, ajak Lea makan, ntar masuk angin loh. Kalian makan siangnya juga telat tadi kan?" kata Tante Dwi lagi. Raja mematikan tabletnya dan berdiri sambil menarik tangan Lea dengan semangat. "Oke Tan. Kita makan duluan. Raja juga udah laper. Ayo yang..." Lea berdiri dengan kesal karena paksaan dari Raja. Ia melihat sang Tante tersenyum simpul disana. Gadis itu mendengus. Pasti Tante bakal mikir Raja Mahendra ini pria romantis, manggil istrinya aja 'yang'... Yang...yang... yang apaan? Peyang maksudnya? Dasar Raja drama!  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN