Baru saja beberapa saat yang lalu ia meratapi 'patah hati'nya, dan sekarang ia akan menikah dengan gadis yang sama, yang membuatnya patah hati. Ini benar-benar gila! Bahkan dalam fantasi terliarnya sekalipun ia tidak pernah membayangkan akan menikah di rumah sakit dalam keadaan kebingungan seperti ini.
Mario keluar dari kamar mandi dan bersamaan dengan itu, pintu kamar rawat Alex Origa terbuka. Di depannya berdiri seorang gadis dengan gaun satin panjang berwarna putih yang elegan. Rambutnya ditata sedemikian rupa dan dihias dengan bunga mawar putih, senada dengan nuansa kamar ini. Make up tipisnya menambah kecantikan alami gadis itu yang menguar dari dalam dirinya. Gadis itu terlihat sederhana dan sangat cantik.
Untuk sesaat Mario terpesona akan kecantikan Marina, ia seolah melihat bidadari yang baru turun dari surga. Ketika gadis itu melangkah melewatinya, barulah ia tersadar ketika mencium wangi mawar yang memenuhi indra penciumannya.
"Ehm, boleh kita bicara sebentar, Marina?" tanya Mario, berusaha terlihat datar.
Marina mengangguk, lalu berjalan mendahuluinya keluar lagi. Ia sudah bisa menebak apa yang akan Mario bicarakan, karena itu ia mengela napas panjang dan menyiapkan hati. Ia tidak bisa membayangkan kalau Mario akan menolaknya.
"Aku butuh penjelasan! Lelucon macam apa yang kau mainkan padaku?" desis Mario tajam setelah dirasa agak jauh dari kamar rawat Alex.
Gadis itu diam sejenak, berusaha menetralkan jantungnya yang berdebar tidak keruan, meskipun ia sudah menduga kalau hal ini akan terjadi. Semoga keputusannya kali ini tepat.
"Tidak ada permainan atau lelucon apa pun, Mario! Saat kau melihat ayahmu baru saja terlepas dari maut dan ia menginginkan pernikahanmu, apa yang akan kau lakukan? Sementara kau tahu kalau bisa saja pernikahan ini adalah keinginan terakhirnya?" ucap Marina serak dengan mata berkaca-kaca.
Mario terkesiap. Jadi, itu yang sebenarnya terjadi. Alex Origa sakit, dan Marina berusaha membahagiakan ayahnya. Kalau ia berada di posisi Marina, maka ia juga akan melakukan hal yang sama.
"Aku akan mengabulkan permintaannya," jawab Mario mantap.
"Itulah yang aku lakukan sekarang."
Mario menatap gadis itu dalam-dalam lalu menarik napas panjang dan menggenggam jemari Marina yang terasa dingin dan berkeringat.
"Ayo, kita lakukan!" kata Mario tegas sambil tersenyum lembut, membuat jantung Marina hampir melompat dari tempatnya.
Kau tidak membenciku? tanya Marina heran.
Aku menyukaimu, jawab Mario sambil tersenyum.
~oOo~
Mario tidak menyangka kalau sekarang statusnya sudah berubah menjadi seorang suami. Tepatnya sejak ia mengucapkan kalimat sakral itu di depan penghulu dan keluarganya beberapa jam yang lalu.
Kini gadis yang tertidur di pangkuannya ini sudah resmi menjadi istrinya. Entah kenapa, memandang wajahnya yang sedang tidur membuat hati Mario merasa damai. Kurasa ia akan sering melakukannya mulai sekarang.
Matanya mulai mengantuk, karena hari memang sudah larut malam. Akhirnya Mario merebahkan kepala ke sandaran sofa yang cukup lebar itu pelan-pelan agar Marina tidak terbangun.
Ya, malam pertama mereka memang dihabiskan di rumah sakit untuk menjaga Om Alex yang kini sudah menjadi papa mertuanya. Marina bersikeras untuk menginap meskipun kedua ayah mereka sudah melarang. Gadis itu memang keras kepala, tapi Mario tidak melarang untuk yang satu ini karena ia mengerti perasaan Marina yang mengkhawatirkan ayahnya.
Mario memandang sekeliling, semua keluarga kedua belah pihak sudah pulang dua jam yang lalu. Papa mertuanya tampak tertidur pulas di ranjang rumah sakit dengan senyum puas setelah melihat pernikahan putri bungsunya. Sementara daddynya tidur di kursi sebelahnya, Mario heran papa mertuanya tidak merasa terganggu dengan dengkuran keras daddynya. Lalu Davian, yang sekarang sudah menjadi kakak ipar Mario, memilih pulang daripada melihat Mario bersama adiknya. Wajahnya terlihat kesal dan frustrasi, mungkin ia akan mengerjainya sekali-sekali karena sudah berhasil mengintimidasinya. Dengan pemikiran itu, mata Mario perlahan terpejam.
Mario merasakan panas matahari menyorot wajahnya ketika seseorang menyibak gorden. Ia menggerakkan tubuh yang terasa kaku dan mati rasa akibat semalaman tidur di sofa dalam keadaan duduk bersandar yang tidak nyaman.
"Pasti tubuhmu sakit ya karena tidur begitu? Maafkan aku," ucap Marina dengan raut muka bersalah.
"Tidak. Tidak apa-apa, demi istriku tersayang, aku rela kok," Mario berusaha menghiburnya, dan ia bisa melihat rona merah di wajah istrinya yang polos tanpa make up.
Aku suka itu! Hmm, mungkin aku akan sering-sering mengucapkan kata romantis padanya, catat Mario dalam hati.
"Ehm, kalau kalian mau berciuman silakan saja. Papa tidak akan mengintip," kata Alex Origa sambil mengerling genit, membuat wajah kami bersemu merah.
Walaupun Mario ingin, tapi mana mungkin ia mencium Marina di depan papa mertuanya?
"Anu ... Cepat cuci mukamu, aku sudah membeli sarapan di kantin tadi. Kita makan sama-sama," kata Marina gugup.
Mario pun segera melesat ke kamar mandi, bersyukur karena memiliki istri seperti dia. Mendadak Marina terlihat begitu manis dan menggemaskan. Sangat berbeda dengan sikapnya belakangan ini.
Mungkin dia ingin belajar menjadi istri yang baik untuk suaminya, yaitu aku, Mario berargumen dalam hati.
Begitu ia keluar dari kamar mandi, seorang dokter seumuran daddynya sedang berbincang dengan papa mertuanya dan Marina.
"Ah, itu dia! Kemarilah, Nak." Alex Origa melambai padanya. "Kenalkan, ini Om Hendri, dokter sekaligus sahabat Papa dan Daddymu."
"Selamat atas pernikahanmu, maaf tidak bisa hadir. Om ada operasi penting semalam. Jadilah suami yang baik untuk Rin, Om sudah menganggapnya seperti putri Om sendiri," ucap Dokter Hendri sambil menepuk pundak Mario pelan.
"Baik, Om, saya akan berusaha. Terima kasih," Mario menjawab pelan, bingung harus bersikap. Ini kan pertama kalinya ia menjadi seorang suami.
"Kurasa kau sudah boleh pulang siang ini, Alex. Kesehatanmu membaik dengan cepat," Dokter Hendri kembali berkata sebelum keluar.
Tanpa sadar Mario bersorak dalam hati. Ia sangat senang dengan kabar itu, sehingga ia tidak perlu tidur di sofa sialan itu lagi dan bisa menikmati malam pertamanya yang tertunda. Tanpa sadar Mario terkekeh pelan.
"Bisakah kita mulai makan dan berhenti berpikir yang aneh-aneh?" sindir Marina, matanya mendelik tajam.
Mario hanya meringis, meraih sandwich dan menyesap capuccino dengan pelan. Ia sangat menikmati sarapan pertamanya sebagai seorang suami meskipun suasananya tidak seperti yang ia harapkan.
~oOo~
Akhirnya mereka sampai di apartemen Mario, setelah sebelumnya mengantar Alex Origa ke rumahnya. Marina bersikeras untuk menjaga papanya, tapi Alex Origa lebih dulu melarangnya. Mario mengusulkan pada Marina untuk tinggal di apartemennya sebelum kembali ke rumah keluarga Origa besok pagi, dan dia menyetujuinya.
Ah, kurasa dia juga sependapat denganku untuk menghabiskan waktu berdua saja. Haha ...
"Di mana dapurnya? Aku akan memasak makan malam," Marina berkata begitu masuk ke apartemen.
"Kau bisa memasak?" tanya Mario takjub.
"Sedikit," jawabnya enteng, "Yang penting bisa dimakan, bukan?"
Mario mengangguk setuju dan membawanya ke dapur yang sangat jarang sekali digunakan. Ia memang lebih suka memesan makanan atau makan di luar karena tidak punya waktu untuk memasak. Lagi pula, ia memang tidak bisa masak. Rasanya bahagia sekali ada seorang istri yang akan memasak untuknya setiap hari.
"Apa kau vegetarian?" pertanyaan Marina membuyarkan lamunan Mario.
"Tidak. Aku pemakan segalanya," jawab Mario seadanya.
"Bagus, karena aku tidak suka pada model yang hanya makan sayuran karena takut gemuk," komentar Marina sarkastis sambil mengeluarkan daging dari lemari es.
"Aku rajin berolahraga, tahu! Jadi, tidak masalah aku makan sebanyak apa pun," kata Mario bangga.
Suasana makan malam itu terasa menyenangkan, rasanya semuanya lengkap. Tidak seperti ketika pria itu makan dengan pacar-pacarnya sebelumnya.
"Jadi, yang mana kamarmu?" tanya Marina setelah selesai mencuci piring bekas makan tadi.
"Kamar kita, Sayang." Mario menunjuk sebuah pintu dengan ukiran stainless yang maskulin.
"Kalau begitu aku tidur di kamar yang lain. Di sini ada dua kamar, bukan?"
"Apa?" Mario terbelalak. Ia tidak salah dengar, kan? "Kenapa begitu? Bukankah kita sudah sah jadi suami istri?"
"Aku tahu, aku akan berusaha menjadi istri yang baik, kecuali hal 'itu'," Marina menahan malu ketika mengucapkannya.
Apa?! Jadi, ia tinggal satu rumah dengan istrinya tapi tidak akan melakukan hal 'itu'? What the hell! Seharusnya sejak awal Mario curiga karena Marina langsung setuju ia ajak tinggal di sini.
~oOo~