Bab 2. Suka Nguntit

1651 Kata
Bella memilih kursi berseberangan jauh dari kursi Ivan. Sedangkan, laki-laki berambut cepak rapi itu tidak bereaksi apapun, tidak seperti laki-laki yang sedang ingin mendekati calon istrinya. Hanya mata Ivan terus menatap ke arah Bella, menatap seperti menemukan mangsa yang akan segera dilahapnya. Gadis kecil yang wajahnya selalu cantik bagi Ivan. Matanya yang coklat bersinar indah,hidung mungil mancung, bibir pink natural terlihat tanpa polesan lipstick. Rindu dirinya melihat lesung pipt di sebelah kanan Bella jika wanita itu tersenyum. Andai saja tidak sedang berpura-pura mungkin Ivan akan langsung memeluknya saat ini juga. ‘Kamu semakin cantik, Ella.’ ‘Huf, dasar papan. Rata bener itu muka tanpa reaksi, tapi ngeliatin aku kayak mau diterkam. Hihh serem amat sih. Muka ganteng, tau-taunya kanibal lagi.’ Merasakan aura Bella yang tidak nyaman karena tatapannya, Ivan mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Aku sudah memesan beberapa makanan sebelum kamu datang. Semoga selera kamu cocok dengan masakan di sini.” “Hem. Terserah kamu aja. Makin cepat selesai, makin cepat aku pulang ke rumah. Aku ke sini karena paksaan mami, aku yakin kamu juga sama kan. Jadi jalaninya saja dan setelah itu kita langsung tolak perjodohan ini.” Mendengar komentar Bella, Ivan diam kembali sembari menggeser dan mengetik sesuatu di tablet elektroniknya. ‘Kenapa gua gugup gini yah di depan Ella. Mending gua liat laporan bentar deh, daripada salah ngucap. Mana judes banget lagi main langsung nolak.’ Tidak lama, beberapa jenis makanan sudah tersedia. Mulut Bella ternganga melihat banyaknya makanan yang dihidangkan di atas meja. “Ini hanya buat kita berdua? Banyak banget.” “Ayo, di makan.” “Kamu ada ngundang tamu juga? Ini kebanyakan kalau buat berdua.” Ivan meletakkan lagi sumpitnya di atas piring, memperlihatkan wajah tidak senang, tangannya bersedekap di depan dadaanya. Mereka makan di restoran Chinese Food dengan hidangan dimsum. Karena Ivan memesan ruangan VIP, ia harus memesan dengan jumlah minimal yang ditentukan pihak restoran. “Yah, di makan saja dulu. Jangan langsung komentar ataupun protes. Tiap porsi cuma isi tiga, bukan porsi kelurahan. Enggak habis tinggal minta bungkus terus bawa pulang, besok tinggal di panasin. Hidup itu jangan dibuat ribet, dibikin simple aja. Makan yuk, laper nih.” Ivan sadar kalau dirinya sudah berkata sedikit ketus ke Bella, hal ini ia lakukan untuk menutupi rasa gugupnya dan berakhir dengan cara bicaranya seperti seorang diktaktor. ‘Ih, jutek banget sih! Belum jadi suami aja udah juedes, gimana nanti. Main perintah aja.’ “Kok, diam. Ayo, dimakan. Aku enggak mau kamu pulang dalam kondisi lapar, lagian badan kamu itu kurus banget. Pasti kebanyakan diet nih. Nanti bawa pulang juga buat Tante Sintia dan anak-anak kamu.” Ingin sekali Bella mengambil mangkuk dan melemparnya ke wajah Ivan. Menahan kegeramannya, Bella mengambil sumpit dengan kasar, mengambil siomai yang sudah terhidang dan melahap siomai utuh ke dalam mulutnya tanpa menyadari kalau makanan itu masih sangat panas. “Huf, aw, huh, aduh lidahku!” Ivan sempat ingin beranjak saat melihat lidah Bella terbakar karena siomai yang masih panas itu. Tapi ia urungkan dengan menguatkan hatinya. Alih-alih menghilangkan rasa khawatir, Ivan malah merasa lucu melihat tingkah Bella say ini, ia menahan senyumnya dan tetap memasang mode wajah datar. “Makanya, kalau makan itu berdoa dulu. Habis itu dirasakan dulu masih panas apa ngak, jangan main caplok aja. Kasian kan lidah kamu.” Bella menegak minumannya untuk meredam rasa terbakar di lidahnya, belum lagi rasa malu karena bertingkah konyol yang menyebabkan dirinya sendiri merugi. Wajahnya terasa panas, dan pastinya semburat merah sedang memenuhi pipinya karena benar-benar menahan malu. “Orang kesusahan, bukannya di tolong, malah diceramahin. Bagaimana bisa jadi suami. Baru begini aja, reaksi kamu kayak orang ngak pedulian. Huf!” “Memangnya kamu sudah setuju mau menikah sama aku?” “Ish, siapa juga yang mau! Jangan kamu pikir, aku ke sini karena mau nikah sama kamu. Kalau kamu ngaca, muka kamu itu datar banget kayak manusia papan!” Ivan terkekeh mendengar julukan baru yang diberikan Ella. Melihat wajah cemberut Ella, ia semakin gemas untuk menggodanya terus. “Papan itu tergantung kualitas, aku ini termasuk papan dari kayu berkualitas tinggi dan ngak gampang rayapan.” “Aduh, sumpah yah. Ternyata kamu itu over kepedean deh.” Ivan tidak menanggapi lagi perdebatannya dengan Bella. Ia memilih diam dan menikmati makan malamnya. Garis senyum di bibirnya tersimpul naik, merasa bahagia walaupun pertemuan mereka dipenuhi dengan argumentasi. Selera makan Bella justru meluap karena menahan kesal, makanan yang tadinya di kira tidak akan habis, justru hampir separuhnya di lahap Bella. Ivan terkekeh sampai bahunya bergetar melihat tingkah menggemaskan calon istrinya. “Katanya makanan buat se-RT, ternyata habis juga. Malah yang ngabisin kamu loh. Hebat juga kantong perut kamu itu. Seneng juga lihat perempuan yang ngak pake gengsian kalau makan di depan laki-laki.” “Iya. Gara-gara kamu bikin kesel, daripada makan orang, mending makan yang jelas bisa di makan.” “Hii. Serem banget, ternyata calon istri aku seorang kanibal.” ‘Lah, kan g duluan yang bilang dia kanibal. Kenapa jadi gua yang dituduh kanibal sama dia.’ “Heh! Kamu tuh yang kayak hamster, mau aja dinikahin tanpa kenal dulu siapa pasangannya. Jangan-jangan kamu ngak normal, mau aja dijodohin sama siapapun. Curiga nih kalau kamu itu sebenarnya perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki.” Merasa emosi dengan komentar pedas Bella sedari tadi, Ivan berdiri dari duduknya, melangkah mendekati Bella dengan tatapan setajam elang, lalu membungkukkan tubuhnya sedikit sehingga hidung mereka nyaris bertabrakan. Tindakan Ivan seperti menghipnotis Bella, apalagi Bella merasa perkataannya sudah keterlaluan sehingga ia tidak mampu mengelak saat Ivan semakin mendekat. Wajah Bella memucat dengan jantung yang mulai berdebar saat mata mereka saling menatap dari jarak dekat. “Kamu cantik, dan setau aku, kamu itu wanita lembut. Tapi ternyata mulut kamu pedas juga yah. Apa pengalaman hidup merubah kamu yang lembut jadi seperti sekarang, Ella?” Tersadar dan merasa tidak nyaman, Bella menoleh ke arah lain menghindari tatapan Ivan, kemudian suaranya melembut. “Kamu jangan begini, aku jadi enggak nyaman. Maaf kalau ucapan aku agak keterlaluan tadi.” Ivan mengangkat tubuhnya berdiri tegak sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, masih dengan tatapan menusuknya. “Nah, kalau ngomongnya kaya gitu, aku juga nyaman dekat kamu lamaan.” ‘Huh, dasar papan gilesan.’ Gerutu dalam hati Bella seraya mengepalkan tangannya menahan kekesalan karena merasa kalah. Baru saja Bella melemaskan tubuhnya yang menegang barusan, tiba-tiba, Ivan membungkuk lagi dan berbisik di telinga Bella. Kali ini tidak hanya membuat tegang kembali dirinya, namun bisikkan ditelinga Ivan turut meremangkan dirinya. “Kamu cantik meskipun lagi ngambek!” "Hah!" Belum sempat protes, Ivan segera berdiri dan menekan tombol untuk memanggil pelayan restoran unutk memesan beberapa makanan untuk dibawa pulang. Setelah selesai makan malam, Ivan memaksa mengantar Bella pulang. Suasana di dalam mobil hening, Bella melihat ke jendela di sampingnya, bermonolog sendiri, seakan berbicara dengan almarhum suaminya. ‘Sayang. Apa kamu marah kalau aku menikah lagi? Aku tahu kamu pernah berpesan agar aku bisa hidup mandiri dan mencari penggantimu secepatnya. Tapi apa harus secepat ini? Bagaimana dengan pikiran mamimu nanti?’ Saat berhenti di lampu merah, Ivan menoleh menatap Bella yang sedang melamun. ‘Andai kamu tahu, Ella. Betapa bahagianya aku hari ini bertemu lagi, bahkan saling berbicara setelah puluhan tahun kita terpisah. Andai saja kamu mengingat memori masa kecil kita, mungkin tidak akan serumit ini hubungan kita sekarang.’ Ivan menepuk pelan bahu Bella, membuat Bella terhentak kaget dan akhirnya menghadiahi Ivan tatapan sinis dari Bella. “Kamu melamun, sampai enggak sadar di panggil.” “Kapan manggilnya? Suara aja enggak ada.” “Kata orang jaman dulu, ayam melamun saja bisa kesambet, apalagi kamu, nanti bisa di deketin sama setan gelap.” “See-tann-nyaa itu yah kamu.” Bella mengucapkannya dengan menahan kegeraman. “Kenapa sih, kamu galak banget sama aku. Hem? Memang aku salah ngingetin kamu?” “Cape ah, ngomong sama cowok enggak peka. Beda banget sama Jackson.” “Jackson itu almarhum suami kamu?” “Yes, dia laki-laki paling sempurna buatku. Ganteng, rajin bekerja, sangat perhatian sama aku dan pastinya enggak datar kaya kamu ini.” Mata Ivan menatap sekaan ingin menelan Bella, ia merasa tersinggung dibanding-bandingkan dengan Jackson. 'Sabar, Van. Sabar. Tahan emosi.' Lampu merah berganti lampu hijau, Ivan segera melajukan lagi mobilnya sambil mengalihkan percakapan tentang almarhum suami Bella.. “Kita belum bahas tentang pernikahan kita, loh. Nanti kalau di tanya mami kamu, gimana?” “Loh, Aku belum bilang, yah, mau nikah sama kamu.” “Aku juga ngak bilang setuju. Tapi ini menyangkut urusan keluarga. Buatku, mau atau enggak mau, keputusan akhirnya tetap harus nikah juga. Aku enggak mau kecewain almarhum Papiku. Dia sudah banyak berkorban demi aku.” Bella menoleh terkejut mendengar ucapan Ivan.. “Papi kamu juga sudah almarhum? Kok bisa kebetulan sama denganku?” ‘Coba ingat lagi, Ella. Kenapa Papi kita sampai meninggal.’ Ivan menghela nafas menahan kegeraman di hatinya, namun, ia juga tidak bisa memaksa Bella untuk mengingat masa trauma mereka saat itu yang menyebabkan hubungan mereka sempat terputus, bahkan Bella melupakan dirinya dan kejadian tersebut sejak itu. “Menurut aku, kita tetap menikah. Aku tidak akan memaksakan kehendak sebagai suami ke kamu, kalau kamunya belum siap. Hari ini aku mau kenalan sama anak-anak kamu. Kata Mami ku, mereka sangat ramah dan lucu.” “Terus, kamu terima saja status aku sebagai janda dengan dua anak? Kamu itu masih bisa menikah sama gadis yang masih perawan. Aku enggak mau yah, suatu hari nanti pas kita bertengkar, terus kamu ungkit-ungkit nikahin aku yang sudah menjanda.” Ivan tersenyum nakal menyeringai sambil menatap ke depan tanpa menjawab, pikirnya Bella pasti sudah tidak marah dengan perihal perjodohan mereka. “Kok malah senyam senyum sendiri, sih! Memang omongan aku ada yang lucu?” “Artinya kamu juga setuju dong kalau kita menikah, kan?” Bella membanting kecil bahunya kembali ke sandaran kursi, mendengus kasar. “Mau bagaimana lagi. Aku juga enggak bisa menolak kalau urusannya menyangkut nama baik Papi aku.” “Bagus deh kalau kamu sadar.” ‘Ish, nyebelin banget sih jawabnya.’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN