Bab 4

1030 Kata
Senja mengendap pelan di balik tirai-tirai tipis sutra kelabu. Kamar Lavinia Adine Mahendra di penthouse apartemennya seperti museum seni yang didesain untuk menyembah kecantikan yang memancarkan rasa dingin, mewah, terkurasi. Tidak ada yang berantakan, tidak ada yang manusiawi. Hanya Lavinia, duduk di chaise longue warna wine red, membiarkan gaun malamnya yang longgar menampakkan pahanya sebelah kanan. Sepasang Louboutin hitam masih menggantung di jemarinya, seolah baru saja dilepas, tapi enggan berpisah dari kulit kakinya yang pucat sempurna. Seth berdiri di dekat jendela. Tubuhnya tegap. Kemeja putihnya sudah tanpa jas, kancing atas terbuka sedikit, dan satu tangan menyelip santai ke saku celana. Ia tak berbicara, tak bergerak, hanya menatap pantulan bayangan Lavinia di kaca. Menunggu isyarat. Seperti biasa. Suara Lavinia pecah di antara keheningan lembut. "Seth, aku mulai bosan." Nada suaranya tidak naik. Tidak memelas. Hanya datar, tapi mengandung ketegangan yang membuat udara di sekelilingnya ikut tegang. Ia memutar tubuhnya sedikit, mata tajamnya mengarah pada lelaki itu. "Apa menurutmu wanita dilahirkan hanya untuk mengenyangkan suaminya?" tanyanya, seolah itu diskusi filosofis padahal bukan. Ini tantangan. Ini retorika yang menyengat. Seth menoleh perlahan. Tidak terburu-buru. Matanya seperti malam tanpa bintang. "Tidak, Nona," jawabnya pelan tapi tegas. "Anda berhak menolak itu." Lavinia menyeringai tipis. Ia menggeliat di sofanya, menarik satu bantal beludru ke pelukannya dan mengusap tepinya dengan jari, seolah membelai kekosongan. "Menurutmu, apakah aku tidak cukup membuat seseorang tiba-tiba menjadi liar?" Seth menelan napasnya. Ia mengenal pertanyaan ini. Ia tahu jawabannya bukan hanya verbal, tapi sikap. Dan ia bersikap. Langkahnya mendekat, pelan, mantap. Ia menunduk sedikit, tapi matanya tetap terangkat, menatap wajah Lavinia tanpa berani terlalu lama. Hormat, tapi penuh ketertarikan yang ditekan. "Nona lebih dari cukup untuk itu." Lavinia tertawa pendek, dingin, tapi ada api licik di sana. Ia menyilangkan kaki, memperlihatkan telapak kaki kirinya yang kini telanjang, sementara sepatu sebelah masih bergantung di kaki kanan. "Kalau begitu," bisiknya, suaranya seperti angin tipis yang menghantam d**a, "cium kakiku, Seth." Suasana berubah. Waktu melambat. Udara menjadi pekat oleh sesuatu yang tak terlihat. Kuasa, ketundukan, fantasi yang meledak tanpa suara. Seth menunduk. Perlahan. Tidak ragu, tapi tidak terburu-buru. Seolah mencium kaki Lavinia bukan tugas, tapi ritual sakral. Ia berlutut di depan wanita itu. Tangannya tidak menyentuhnya. Ia tidak meminta izin untuk memegang. Ia hanya menunduk dan dengan penuh kesadaran, menempelkan bibirnya ke punggung kaki Lavinia. Lembut. Hormat. Hening. Lavinia menutup mata. Menyeruput sensasi superioritas yang tak bisa dibeli dengan kekayaan. Tubuh Seth membungkuk, wajahnya diam sebentar di sana, seolah mencium lebih dari sekadar kulit. Seolah memeluk takdirnya sendiri. Ketundukannya. Kekagumannya. Rasa inginnya yang tak pernah ia nyatakan dengan kata. Lavinia membuka mata, menatap ke arah jendela. Malam mulai turun. Lampu-lampu kota menyala satu per satu. "Kadang aku ingin kau tak hanya mencium kakiku, Seth," ujarnya datar, "tapi juga mencekik siapa pun yang menganggap aku lemah." Seth mengangkat kepalanya perlahan. "Katakan siapa, Nona. Saya akan melakukannya tanpa suara." Dan Lavinia tersenyum. Bukan karena romantis. Tapi karena dunia ini terlalu lemah untuk menahan dua sosok seperti mereka. *** Malam belum larut, tapi suasana di penthouse Lavinia sudah seperti dunia yang terlepas dari waktu. Lampu gantung dari kristal Murano memantulkan cahaya keemasan ke dinding-dinding pucat. Musik klasik dari speaker tersembunyi mengalun lembut. Debussy, atau mungkin Chopin, Lavinia tak benar-benar peduli. Ia lebih tertarik pada suara detak waktu yang bergulir di bawah kakinya, tunduk di telapak tangannya. Ia duduk di kursi bar yang tinggi, bersandar malas, mengenakan robe satin warna ivory yang setengah terbuka. Kulit pahanya menyembul lembut saat ia menyilangkan kaki, satu lengan menopang kepalanya, sementara tangan satunya mengambil potongan kecil croissant isi almond dari piring porselen di hadapannya. Seth berdiri tak jauh darinya, di sisi meja dapur marmer yang dingin. Ia mengenakan kemeja hitam malam ini, lengan digulung sampai siku. Seolah hanya akan menyajikan minuman, padahal kehadirannya lebih dari itu. Ia adalah pelindung, pemuja, pemuas, pengikut yang tak pernah jauh dari garis perintah. Lavinia mengunyah kecil, lambat, nyaris seperti enggan. Ia menggigit potongan pastry renyah itu, tapi hanya separuh masuk ke mulutnya. Aromanya nikmat, teksturnya lembut, rasa manis almond berpadu mentega. Namun ia mendadak malas. Tak ingin menelan. Terlalu repot. Terlalu manusiawi. Ia menatap Seth. "Sayangnya, aku sudah kenyang," katanya sambil mengerling, potongan makanan itu masih di antara lidah dan langit-langit mulutnya. Seth mengangkat alis sedikit, waspada. Lavinia menyeringai. "Tapi akan sayang kalau dibuang. Bukankah begitu, Seth?" Seth tak menjawab. Ia tahu Lavinia sedang bermain. Ia tahu ini bukan tentang makanan. Lavinia turun perlahan dari kursinya. Berjalan mendekat, langkahnya nyaris tak bersuara di atas marmer. Ia berhenti hanya satu inci dari tubuh Seth. Jarak yang terlalu dekat untuk formalitas. Tapi justru tempat favorit Lavinia untuk menunjukkan siapa yang memegang kendali. Tangannya terangkat ke dasa Seth, menyentuh ringan kancing teratasnya. "Buka mulutmu." Suara itu lembut. Tapi tak ada ruang untuk penolakan di dalamnya. Seth memandang matanya sejenak, lalu membuka mulut, perlahan. Dengan pasrah. Dengan kesadaran penuh. Lavinia mencondongkan tubuhnya perlahan. Jarak di antara mereka mengecil hingga hampir tak bersisa. Tangannya terangkat, bertumpu ringan di bahu Seth, menjaga keseimbangan sekaligus memberi jeda yang tak benar-benar ia perlukan. Ia menunduk, wajahnya nyaris bersisian dengan wajah pria itu, dan untuk sejenak, waktu seperti tertahan. Dengan gerakan tenang dan terukur, Lavinia membuka bibirnya tanpa terburu, tanpa suara. Ia menyentuhkan potongan kecil makanan ke bibir Seth lebih dulu, nyaris seperti sebuah tawaran diam-diam. Hangat, lembut, dan begitu pribadi. Bukan sekadar memberi, tapi menyampaikan sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan ucapan. Dengan pelan, potongan itu berpindah, tak tergesa, seolah seluruh dunia telah melambat demi menyaksikan peristiwa yang tak biasa ini. Seth tak bergerak. Ia hanya menerima, diam-diam menelan lebih dari sekadar rasa. Dalam kebisuan itu, kedekatan mereka tak lagi perlu penjelasan. Tidak menyentuh. Tidak meraba. Hanya berdiri tegap, bibir sedikit terbuka, menelan perlahan rasa manis dari pastry dan aroma wanita di hadapannya. Matanya tertutup sesaat. Napasnya dalam. Lavinia menjauh perlahan setelahnya. Satu sentimeter. Dua. Bibirnya masih lembap, tapi matanya sudah kembali beku. Ia menyeka sudut bibirnya dengan ujung jarinya sendiri. Sekilas. Mengunci mata Seth. "Kau sangat patuh, Seth," katanya nyaris berbisik. "Membuatku berpikir kau akan menelan lebih dari sekadar sisa makananku jika aku meminta." Seth menahan napas. Tak membantah. Tak menyerah. Hanya berdiri di sana, dengan mulut yang baru saja mencicipi jejak Lavinia. Sebuah pengingat bahwa ia hanya ada sejauh perintah wanita itu diucapkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN