Pagi merambat lambat ke seluruh penjuru penthouse. Langit Jakarta masih redup, tirai belum terbuka, dan suara dunia luar tak mampu menembus ketebalan suasana yang membeku dalam ruangan.
Lavinia duduk di tepi sofa panjang, satu kaki menumpang di atas lutut lainnya. Gaun tipis satin yang membungkus tubuhnya masih belum berganti sejak semalam. Di hadapannya, Seth sedang berlutut, membungkuk, memasangkan sepatu di kaki putih pucat milik perempuan itu dengan perlahan, hati-hati, seperti tengah menyentuh sesuatu yang lebih tinggi dari dirinya.
“Lambat sekali,” gumam Lavinia, tidak menatapnya.
“Saya tidak ingin menyakiti kulit Anda, Nona.”
“Kau tidak pernah menyakitiku, Seth,” bisiknya datar, matanya menyapu layar ponsel di tangan kiri.
“Kau hanya membuatku merasa ketagihan.”
Seth tidak menanggapi. Jemarinya terus mengikat tali sepatu dengan presisi. Sepasang sepatu hak tinggi hitam yang dipilih sendiri oleh Lavinia—karena menurutnya, tampilan d******i dimulai dari tumit yang menginjak siapa pun tanpa ampun.
“Kau melakukannya terlalu baik,” lanjutnya, kini menatap Seth dari balik helaian rambut panjangnya.
“Kau membuatku lupa kalau aku masih terikat dengan seorang suami pengecut.”
Seth diam. Tapi tubuhnya menegang sesaat.
Lavinia menyentuh dagunya. Menarik wajah lelaki itu untuk mendongak. Pandangan mereka bertemu.
“Kau ingin aku melupakan dia, bukan?” tanyanya pelan, tapi ada racun di balik ketenangan suaranya.
“Saya tidak berani meminta apa pun dari Anda, Nona.”
“Tapi kau menginginkannya.”
Seth menunduk lagi, bibirnya nyaris menyentuh lutut Lavinia. Helaan napasnya terdengar ragu, namun ia tidak bergerak mundur.
“Saya ingin melayani Anda,” jawabnya lirih. “Setiap bagian dari Anda.”
Lavinia tersenyum miring. Ia menyingkap sedikit gaunnya, memperlihatkan kulit di balik belahan kain.
“Aku tahu.”
Seth menunduk lebih dalam, mencium permukaan kaki Lavinia seperti memuji Dewi. Bibirnya nyaris tidak menyentuh kulit, namun tubuhnya gemetar seolah sedang memegang sesuatu yang suci dan terlarang.
“Aku suka kau diam seperti ini,” bisik Lavinia. “Kau tidak menggangguku dengan ilusi cinta atau janji. Kau hanya ada untuk tunduk. Dan membuatku merasa berkuasa.”
Seth tak menjawab. Ia mencium punggung kaki Lavinia sekali lagi, lebih lama kali ini. Lalu bergeming, menanti perintah berikutnya.
“Kau akan tetap di sini sampai aku kembali,” ucap Lavinia. Ia berdiri, menatap refleksinya di cermin besar, membetulkan rambutnya yang bergelombang jatuh.
“Dan jangan sentuh apa pun milikku. Bahkan udara pun hanya boleh kau hirup atas izinku.”
Seth berdiri perlahan, menunduk hormat.
“Saya akan menunggu.”
Lavinia berjalan melewatinya. Tumitnya mengetuk lantai marmer dengan ritme seperti irama eksekusi. Di ambang pintu, ia berhenti dan menoleh sedikit.
“Dan, Seth.”
“Ya, Nona?”
“Kalau kau benar-benar ingin jadi lelaki terakhir yang kupanggil, belajarlah untuk tak jatuh cinta padaku.”
Seth membeku di tempatnya. Tapi matanya tetap tak berpaling dari punggung Lavinia yang menjauh, menyisakan aroma parfum mawar putih dan jejak bayangan yang tidak bisa dikejar siapa pun, bahkan oleh setia paling fanatik.
***
Hari itu, kantor Mahendra Group nyaris membeku dalam senyap tak kasat mata. Jam menunjukkan pukul sembilan lebih dua belas menit ketika langkah-langkah yang terlalu tenang namun menusuk mulai terdengar dari arah lift eksekutif. Seluruh lobi lantai atas seperti menahan napas.
Lavinia Adine Mahendra muncul dalam balutan gaun putih gading yang hanya bisa dikenakan oleh perempuan yang tahu pasti dirinya tak tersentuh. Satu pundaknya terbuka, kulit pucatnya bersinar di bawah cahaya lampu gantung kristal.
Gaun itu jatuh dengan potongan yang presisi di tubuhnya, menyapu lantai seperti kabut. Leher jenjangnya dihiasi kalung berlian putih kecil yang menggantung angkuh di tulang selangka, seolah setiap cahaya ruangan hanyalah alat untuk menyorot kemegahan dirinya.
Rambutnya dikuncir rendah, membiarkan beberapa helai membingkai wajahnya yang simetris dan dingin. Mata tajamnya menyapu sekeliling, menebar aura yang membuat siapa pun menunduk, bahkan sebelum ia membuka mulut.
Di pergelangan tangan kirinya melingkar jam tangan perak Cartier klasik, sementara tumit sepatunya—Yves Saint Laurent, hitam mengilap—berbunyi seperti eksekusi ketika menyentuh lantai marmer kantor. Ia tampak seperti sesuatu yang keluar dari halaman majalah adibusana, atau lebih tepatnya, dari altar para dewa. Dingin. Suci. Mematikan.
Dan hari itu, Lavinia Adine Mahendra memilih untuk tidak hanya terlihat seperti dewi, tapi juga turun ke dunia fana membawa badai.
Aurelia baru saja keluar dari ruang rapat saat pandangannya bertumbuk dengan sosok itu. Jantungnya mencelos begitu melihat Lavinia berjalan lurus ke arahnya. Napasnya tercekat. Ia tahu dari foto-foto di Google, dari arsip majalah bisnis, dari potongan artikel gaya hidup. Tapi tak satu pun dari gambar itu mempersiapkannya untuk kehadiran nyata Lavinia.
Tangan Aurelia refleks merapikan blouse putihnya yang sudah sedikit kusut karena duduk terlalu lama. Ia mundur satu langkah ke pinggir, mencoba memberi jalan, namun Lavinia justru berhenti tepat di depannya.
Hening menggantung selama dua detik yang terasa seperti seabad.
Lavinia mengamati wajah Aurelia, seperti juri yang menilai objek ujian. Matanya turun sedikit ke arah leher, lalu ke kerah blouse, lalu kembali naik.
"Aku pernah mencium bau parfum murahan ini di kemeja Elvano," ucapnya pelan, nyaris berbisik, tapi cukup untuk menusuk. Senyumnya tipis, tak mengandung rasa ramah sedikit pun.
“Jadi, kau yang mencakarnya semalam?”
Aurelia membeku. Ia tak menjawab. Tidak tahu harus membela diri atau menyangkal. Bibirnya terbuka sedikit, tapi suara tak kunjung keluar.
Lavinia mengangkat dagunya sedikit, senyum mengejek itu masih bertengger di sudut bibir merahnya yang sempurna.
“Aku tidak akan marah hanya karena kau murahan. Tapi ketahui batasmu,” ucapnya, kali ini lebih tenang namun beracun.
“Aku bisa saja menendang kalian berdua dari sini dengan hak tinggi YSL-ku. Dan aku tidak akan berkeringat sedikit pun untuk itu.”
Aurelia menunduk, pipinya memanas. Seluruh tubuhnya gemetar. Tidak karena rasa bersalah, tapi karena diserang begitu tiba-tiba oleh perempuan yang selama ini hanya hidup dalam bayang-bayang Elvano. Perempuan yang tidak pernah disentuh, namun namanya tersemat di cincin kawin yang masih dipakai sang CEO.
Lavinia.
Lavinia menyipitkan mata.
“Tidak ada yang mengajarkanmu cara berdiri tegak saat dihina?” bisiknya pelan, suaranya lirih namun memukul seperti cambuk.
“Atau kau memang suka tunduk seperti pelayan hotel setelah check-out?”
Aurelia mengepalkan jemarinya yang gemetar. Napasnya mulai tak teratur.
Lavinia tertawa kecil, dingin dan malas. Ia menoleh ke arah ruangan Elvano, kemudian kembali menatap Aurelia.
“Kalau dia bilang padamu aku tidak pernah ingin disentuhnya, percayalah. Aku tak sudi,” katanya, tajam.
“Tapi itu tidak berarti kau menang. Kau hanya remah. Dan remah hanya dibersihkan. Bukan dipertahankan.”
Kemudian, dengan langkah lambat dan penuh keangkuhan, Lavinia berjalan melewati Aurelia. Ia tidak menoleh lagi. Suara tumitnya bergaung panjang di koridor.
Aurelia berdiri mematung. Tangannya dingin. Napasnya tersendat. Tapi matanya berkaca-kaca bukan karena takut. Ada amarah yang perlahan tumbuh. Bukan terhadap Lavinia. Tapi terhadap dirinya sendiri karena tak bersuara. Karena terlalu gemetar untuk melawan. Karena untuk sesaat, ia merasa kalah.
Sementara itu, di balik pintu kaca kantor Elvano, sang CEO berdiri membelakangi jendela, memandangi kedatangan Lavinia lewat pantulan kaca. Senyumnya tak terbaca. Tapi dari caranya meremas pelan tepi meja, jelas hari ini bukan hari biasa.
Dan badai baru saja dimulai.