01. Perempuan Lusuh

1172 Kata
Matahari bersinar terik di atas langit, suara cicada yang menempel di pohon berbunyi sangat nyaring. Seorang lelaki paruh baya berlari tergopoh-gopoh ke arah rumah panggung yang di terasnya duduk seorang pria berpakaian modis dengan laptop terbuka di meja hadapannya. Mendengar langkah seseorang yang tergopoh itu, atensi si pria teralihkan padanya.“Ada apa?” tanya si pria, suaranya terdengar berat dan tegas. “Tu-tuan…!” lelaki paruh baya itu berhenti di bawah tangga teras, napasnya terengah-engah. “Tuan Sakha… ada yang pingsan di ladang!” serunya susah payah. Berbanding terbalik dengan kepanikan lelaki itu, ekspresi di wajah Sakha justru tidak berubah. Sakha melipat layar laptopnya dengan hati-hati, kemudian berdiri dan mendekati salah satu pekerjanya itu. “Di mana dia?” tanya Sakha. Lelaki itu buru-buru menunjukkan jalan menuju ladang yang dia maksud. Sakha mengikutinya di belakang. Saat mereka sampai di ladang, terik sinar matahari semakin terasa menyengat. Di tengah ladang yang ditumbuhi jagung itu, berkumpul beberapa orang yang juga merupakan pekerja tani yang bekerja di ladang Sakha, mereka tampak mengerumuni sesuatu. “Hei, minggir-minggir! Ini Tuan Sakha sudah saya panggilkan,” seru lelaki yang tadi melapor. Lantas semua pasang mata tertuju pada Sakha yang berjalan mendekat, beberapa mata menatapnya terkejut. “Pak Ji! Kenapa manggil Tuan Sakha? Kamu ini, merepotkan saja! Tau ini siang bolong begini!” omel Inah, memukul pelan bahu Parji, lelaki itu masih ngos-ngosan, sibuk mengatur napasnya. “Habisnya… kasihan Ririn. Daripada membiarkannya di sini, panas-panasan, yang ada keadaannya malah makin memburuk, lebih baik kita panggil Tuan Sakha. Lagipula itu sudah menjadi salah satu tanggung jawabnya untuk memastikan kesehatan dan keselamatan pekerjanya,” Parji membalas ucapan Inah dengan suara pelan. Tepat setelah itu, Sakha sampai di dekat mereka dan langsung menatap ke bawah, ke seorang perempuan yang dibaringkan di atas tikar lusuh, cahaya matahari menerpanya, wajahnya pucat dan berkeringat deras, keningnya berkerut-kerut seperti seseorang yang kesakitan. “Bagaimana ini, Tuan? Rumahnya lumayan jauh dari sini, kita ndak tahu bagaimana harus membawanya pulang,” kata Parji. Tanpa pikir panjang, Sakha menjawab, “Biar saya yang bawa dia.” Jawaban itulah yang para pekerjanya tunggu, jelas terlihat dari kelegaan di wajah mereka sesaat setelah Sakha mengatakan demikian. Sakha berjongkok, menatap wajah perempuan itu untuk beberapa saat. Dia tampak lusuh sekali, pikir Sakha. Bajunya itu dulu pasti berwarna putih, tapi sekarang sudah cokelat dan ujungnya sedikit sobek. Dari lipatan pakaiannya, Sakha menduga dia mengenakan beberapa lapis pakaian. Wajah perempuan itu juga kotor karena debu dan pucat. Sakha menduga alasannya sampai pingsan begini adalah karena dehidrasi. Tanpa menunggu lebih lama, Sakha pun mengangkat tubuh wanita itu ke dalam gendongannya, dia sedikit terkejut karena ringannya tubuh itu, Sakha tidak menduganya karena tubuh perempuan itu tampak berisi. “Saya akan membawanya ke rumah, kalian lanjutkan saja pekerjaan kalian,” kata Sakha. “Baik, Tuan.” “Ya, Tuan.” “Terima kasih, Tuan.” Sakha mengangguk, kemudian berbalik dan melangkah pergi. Bekerja di tengah siang bolong seperti ini memang selalu berat, tapi Sakha sudah mengatur semua waktu dan dia tidak ingin terik matahari menjadi penghalang, dia bahkan memberikan upah lebih kepada para pekerjanya yang bekerja pada siang hari. Saat sampai di rumah peristirahatan yang tersembunyi di kebun dengan pepohonan rindang, Sakha baru menyadari bahwa tubuh perempuan di dalam gendongannya terasa panas sekali, padahal cahaya matahari sudah tidak terlalu mengenai mereka karena daun di pepohonan. Sakha masuk ke dalam rumah, membaringkan perempuan itu ke ranjang di salah satu kamar yang terdapat di sana. Kamar itu tidak pernah terpakai, kecuali kamar di sebelahnya yang biasanya Sakha gunakan untuk tidur siang saat menunggui pekerja di ladang. Sebenarnya, Sakha juga tidak tahu harus melakukan apa, jadi dia mengambil hapenya untuk menelepon seseorang. “Galih, sepulang kamu membeli benih, langsung ke rumah peristirahatan. Bawa mobil,” kata Sakha, setelah mendapatkan jawaban yang dia inginkan, Sakha mematikan hapenya lalu menatap perempuan itu. Sakha menyentuh dahi perempuan itu, terasa panas. Peluh terus saja mengalir di pelipisnya. Sakha berpikir apa yang harus dia lakukan, kemudian perhatiannya tertuju pada pakaian lusuh yang perempuan itu kenakan. Sakha menyentuhnya pelan, sedikit jijik karena kotor, tapi Sakha mencoba untuk mengabaikannya kemudian membuka kemeja yang perempuan itu kenakan. Dan benar seperti dugaannya, perempuan itu mengenakan baju berlapis-lapis, yang mau tidak mau harus Sakha lepas sampai menyisakan kaus berwarna putih bersih yang telah basah oleh keringat. Pantas saja ringan, tubuhnya kurus sekali, batin Sakha. Baju berlapis-lapis memang membuat tubuh si perempuan tampak lebih berisi. Sakha kemudian mengambil handuk kecil, membasahinya dengan air dingin, lalu mengelap peluh di wajah perempuan itu. Bulu mata yang panjang bergerak-gerak, kelopak mata terbuka, memperlihatkan manik mata hitam kelam yang langsung tertuju menatap mata Sakha. Sakha terhenyak sebentar, tangannya yang tadi bergerak langsung berhenti. “Kamu pingsan, saya mencoba membantu kamu,” kata Sakha, tapi sepertinya perempuan itu tidak mendengarnya. Saat Sakha hendak berucap lagi, mata perempuan itu kembali tertutup. Sakha terdiam menatapnya, kemudian melepas handuk di tangannya dan mengambil lagi hapenya. Menelepon Galih, menyuruh bawahannya itu untuk cepat. Tidak lama kemudian, Galih pun datang, betapa terkejutnya dia melihat bosnya berada di dalam kamar dengan seorang gadis berpenampilan lusuh dan kotor di ranjangnya. “Bawa gadis ini pulang,” Sakha berkata. Galih mematung di ambang pintu, mulutnya terbuka. Sakha mendelik tajam padanya. “Kamu mendengarku, Galih, bawa dia pergi.” “Apa yang sudah…” “Dia pingsan di ladang jagung sehingga aku harus menggendongnya sampai sini.” Dengan penjelasan singkat itu, Galih pun mendekat, memandang wajah perempuan itu. “Kamu mengenalnya?” tanya Sakha. Galih mengangguk. “Dia anak Pak RT yang tukang hutang itu,” jawab Galih. Sebenarnya Sakha tidak memerlukan jawaban yang seperti itu, tapi yang penting sekarang dia tahu kemana Galih harus membawa perempuan itu. Sakha baru saja hendak ke luar, tapi kemudian dia teringat akan sesuatu. “Sejak kapan anak perempuan pria itu bekerja di ladangku?” tanyanya heran. “Oh bukan, ini bukan si Mawar sama Melati, namanya kalau tidak salah Ririn.” Pantas saja, batin Sakha, dia tidak melihat perempuan lusuh ini saat terakhir kali dia berkunjung ke rumah Fahrul Jamal, Pak RT tukang hutang yang dibilang Galih itu. Karena setahu Sakha, Jamal hanya memiliki dua putri yang sangat cantik dan sering dijuluki sebagai kembang desa, siapa yang akan menduga bahwa gadis lusuh di hadapannya sekarang juga merupakan putri pria itu. “Kamu sudah menyampaikan pesanku pada Pak RT itu, kan?” “Sudah, Tuan, kemarin malam. Dia tampaknya agak syok, tapi juga tidak punya pilihan lain.” “Hm, baguslah.” “Ngh… Tuan.” “Apa?” Galih tampak ragu-ragu. “Apakah… Tuan sudah membicarakan perihal akan menikah lagi dengan nyonya-nyonya di rumah?” Karena pertanyaan Galih itu, Sakha menatapnya memicing. “Siapa yang menelepon kamu?” “Nyonya Henia, Tuan,” jawab Galih. “Hm, sejak kapan kamu jadi punya mulut ember begitu, Galih?” “Bu-bukan saya yang kasih tau, Tuan! Nyonya Henia bilang dia dengar desas-desusnya saja dari warga desa yang suka begosip.” Sakha terdiam untuk beberapa saat, bergumam, “Seharusnya saya tidak membawa mereka kemari.” Setelah mengucapkan itu, Sakha pun berlalu pergi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN